Inovasi dan Kemajuan Bangsa
A
A
A
Kemajuan sebuah bangsa salah satunya ditentukan oleh seberapa besar inovasi yang tercipta. Namun inovasi saja tidak cukup. Diperlukan inovasi yang membumi dan bisa dikomersialkan.
Karena itu diperlukan kerja sama yang intens antara perguruan tinggi, lembaga penelitian dengan swasta agar hasil penelitian atau inovasi yang tercipta benar-benar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Tema di atas menjadi fokus perhatian Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat memberikan pidato pada puncak Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-24 di Denpasar, Bali, Rabu (28/9/2019) lalu. Apa yang diutarakan oleh JK memang layak menjadi renungan kita semua.
Terutama sejauh mana hasil pencapaian inovasi para peneliti kita? Bagaimana posisi inovasi kita di tingkat global? Yang tak kalah penting, apakah hasil inovasi yang tercipta sudah bisa memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat? Berbagai pertanyaan di atas layak kita cermati bersama agar keberadaan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi benar-benar berfungsi optimal untuk menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
Yang jelas, bila kita menengok data yang dirilis dari Global Innovation Index, kita memang sudah sepatutnya prihatin. Bagaimana tidak, Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 120 negara. Kita kalah jauh dengan negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Singapura di peringkat kelima dunia, sedangkan Malaysia bisa bertengger di angka 30.
Data di atas sekaligus menjadi bukti bahwa kita tertinggal jauh dari negara lain soal capaian inovasi. Sehingga tak ada cara lain bahwa fakta ini harus dijadikan momentum untuk berbenah, terutama bagaimana menumbuhkan semangat inovasi bagi masyarakat Indonesia.
Berbagai kebijakan memang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggenjot para peneliti untuk terus berkarya. Namun, yang masih harus menjadi perhatian bersama adalah masih minimnya hasil penelitian yang bisa dijual atau dipasarkan.
Selama ini banyak hasil penelitian hanya berakhir di rak-rak perpustakaan tanpa memberikan hasil konkret bagi masyarakat luas. Pemerintah boleh beralibi apapun terkait masih minimnya hasil inovasi para peneliti kita. Namun, fakta-fakta di atas tidak bisa dibantah bahwa pemerintah harus lebih serius untuk mendorong munculnya inovasi anak negeri.
Dalam periode kedua ini, pemerintahan Joko Widodo sudah benar untuk fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Karena hanya dengan SDM yang berkualitas, ketertinggalan tersebut bisa kita kejar. Dengan jatah kuota anggaran 20% APBN di bidang pendidikan, seharusnya kita mampu untuk meningkatkan kualitas SDM.
Ada sejumlah langkah yang perlu diambil pemerintah untuk mendorong tumbuhnya inovasi-inovasi dari anak negeri. Pertama, mengalokasikan dana pendidikan 20% tersebut secara tepat guna. Selama ini, pemanfaatannya dinilai kurang tepat sasaran. Sehingga belum bisa memberikan sumbangsih yang nyata bagi peningkatan kualitas pendidikan kita.
Kedua, meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen. Guru dan dosen merupakan tonggak utama dalam mencetak generasi-generasi unggul. Sehingga keberadaan para guru memang harus terus mendapat perhatian pemerintah khususnya soal kesejahteraannya.
Kita lihat karena kurang sejahtera, banyak guru yang tidak fokus dalam mengajar. Karena mereka harus juga mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang terus meningkat dari tahun ke tahun.Terkait hal ini kita bisa mencontoh Malaysia dan Singapura. Guru dan dosen di negara jiran tersebut sangat sejahtera.
Hasilnya? Bisa kita lihat kedua negara tersebut mampu berkembang sangat pesat. Tanpa penghargaan yang cukup terhadap guru akan sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas SDM.
Ketiga, penyediaan buku yang murah. Buku mahal merupakan salah satu penghambat rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Sehingga pemerintah perlu memberikan insentif agar harga buku dan kertas bisa murah termasuk juga kertas untuk surat kabar.
Peningkatan kualitas SDM nantinya akan berbanding lurus dengan berkembangnya inovasi-inovasi yang tercipta dari anak bangsa. Yang perlu sekali didorong mulai saat ini adalah bagaimana para peneliti tersebut bisa menciptakan inovasi yang bisa dipasarkan atau dikomersialisasi. Tanpa itu, hasil inovasi tidak bisa maksimal karena tidak bisa dinikmati masyarakat.
Karena itu, sudah saatnya perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian membangun kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak swasta untuk menciptakan inovasi yang bisa dijual. Pemerintah sebagai regulator sudah seharusnya mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya kerjasama yang konkret antara peneliti dengan pihak swasta tersebut. Di era kemajuan teknologi seperti saat ini justru semakin terbuka lebar bagi kita untuk menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Karena itu diperlukan kerja sama yang intens antara perguruan tinggi, lembaga penelitian dengan swasta agar hasil penelitian atau inovasi yang tercipta benar-benar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Tema di atas menjadi fokus perhatian Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat memberikan pidato pada puncak Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-24 di Denpasar, Bali, Rabu (28/9/2019) lalu. Apa yang diutarakan oleh JK memang layak menjadi renungan kita semua.
Terutama sejauh mana hasil pencapaian inovasi para peneliti kita? Bagaimana posisi inovasi kita di tingkat global? Yang tak kalah penting, apakah hasil inovasi yang tercipta sudah bisa memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat? Berbagai pertanyaan di atas layak kita cermati bersama agar keberadaan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi benar-benar berfungsi optimal untuk menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
Yang jelas, bila kita menengok data yang dirilis dari Global Innovation Index, kita memang sudah sepatutnya prihatin. Bagaimana tidak, Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 120 negara. Kita kalah jauh dengan negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Singapura di peringkat kelima dunia, sedangkan Malaysia bisa bertengger di angka 30.
Data di atas sekaligus menjadi bukti bahwa kita tertinggal jauh dari negara lain soal capaian inovasi. Sehingga tak ada cara lain bahwa fakta ini harus dijadikan momentum untuk berbenah, terutama bagaimana menumbuhkan semangat inovasi bagi masyarakat Indonesia.
Berbagai kebijakan memang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggenjot para peneliti untuk terus berkarya. Namun, yang masih harus menjadi perhatian bersama adalah masih minimnya hasil penelitian yang bisa dijual atau dipasarkan.
Selama ini banyak hasil penelitian hanya berakhir di rak-rak perpustakaan tanpa memberikan hasil konkret bagi masyarakat luas. Pemerintah boleh beralibi apapun terkait masih minimnya hasil inovasi para peneliti kita. Namun, fakta-fakta di atas tidak bisa dibantah bahwa pemerintah harus lebih serius untuk mendorong munculnya inovasi anak negeri.
Dalam periode kedua ini, pemerintahan Joko Widodo sudah benar untuk fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Karena hanya dengan SDM yang berkualitas, ketertinggalan tersebut bisa kita kejar. Dengan jatah kuota anggaran 20% APBN di bidang pendidikan, seharusnya kita mampu untuk meningkatkan kualitas SDM.
Ada sejumlah langkah yang perlu diambil pemerintah untuk mendorong tumbuhnya inovasi-inovasi dari anak negeri. Pertama, mengalokasikan dana pendidikan 20% tersebut secara tepat guna. Selama ini, pemanfaatannya dinilai kurang tepat sasaran. Sehingga belum bisa memberikan sumbangsih yang nyata bagi peningkatan kualitas pendidikan kita.
Kedua, meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen. Guru dan dosen merupakan tonggak utama dalam mencetak generasi-generasi unggul. Sehingga keberadaan para guru memang harus terus mendapat perhatian pemerintah khususnya soal kesejahteraannya.
Kita lihat karena kurang sejahtera, banyak guru yang tidak fokus dalam mengajar. Karena mereka harus juga mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang terus meningkat dari tahun ke tahun.Terkait hal ini kita bisa mencontoh Malaysia dan Singapura. Guru dan dosen di negara jiran tersebut sangat sejahtera.
Hasilnya? Bisa kita lihat kedua negara tersebut mampu berkembang sangat pesat. Tanpa penghargaan yang cukup terhadap guru akan sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas SDM.
Ketiga, penyediaan buku yang murah. Buku mahal merupakan salah satu penghambat rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Sehingga pemerintah perlu memberikan insentif agar harga buku dan kertas bisa murah termasuk juga kertas untuk surat kabar.
Peningkatan kualitas SDM nantinya akan berbanding lurus dengan berkembangnya inovasi-inovasi yang tercipta dari anak bangsa. Yang perlu sekali didorong mulai saat ini adalah bagaimana para peneliti tersebut bisa menciptakan inovasi yang bisa dipasarkan atau dikomersialisasi. Tanpa itu, hasil inovasi tidak bisa maksimal karena tidak bisa dinikmati masyarakat.
Karena itu, sudah saatnya perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian membangun kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak swasta untuk menciptakan inovasi yang bisa dijual. Pemerintah sebagai regulator sudah seharusnya mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya kerjasama yang konkret antara peneliti dengan pihak swasta tersebut. Di era kemajuan teknologi seperti saat ini justru semakin terbuka lebar bagi kita untuk menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
(nag)