Hukuman Kebiri Dinilai Tidak Beri Dampak Apapun bagi Korban
A
A
A
JAKARTA - Hukuman kebiri yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Mojokerto kepada Muhammad Aris (20) terdakwa kasus pemerkosaan 9 anak di Mojokerto, Jawa Timur menimbulkan pro dan kontra. Lalu, bagaimana hukuman kebiri ini bekerja?
Dihimpun dari laman depkes.go.id, hukuman kebiri bisa diartikan menjadi dua tindakan, yakni berupa pemotongan testis atau berupa suntikan zak kimia atau dikenal dengan istilah kebiri kimia. Kebiri kimia adalah tindakan menyuntikkan bahan kimiawi antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak kejatahan seksual dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosterone.
Hukuman kebiri ini, ternyata juga memberikan efek bagi tubuh manusia, berdasarkan para pakar atau ahli andrology dan ahli kejiwaan tindakan kebiri akan mengganggu hormon seseorang dimana akan mengurangi libido.
Koordinator Pelayanan Hukum Ending Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia, Rio Hendra justru menganggap hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual bukan menjadi jalan keluar untuk mengatasi masalah kejahatan seksual anak. Pasalnya, kejahatan seksual anak timbul dari berbagai faktor yaitu psikologis, biologis dan sosial.
“Hukuman kebiri hanya menambah beban negara serta menimbulkan kesengsaraan medis pada pelaku,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (27/8/2019).
Meskipun keputusan PN Mojokerto diapresiasi banyak pihak termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, hukuman ini dianggap dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual.
Namun, Rio justru menilai hukuman kebiri yang dijatuhkan oleh PN Mojokerto lebih menitikberatkan pada pemberatan pidana bagi pelaku dari pada memikirkan penanggulangan kejahatan kekerasan seksual dan jaminan pemulihan dan pemenuhan hak restitusi bagi korban.
“Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual apakah perkosaan, incest atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya jarang sekali mendapatkan apa yang dia sebut dengan deserving of legal protection and remedies,” tutur Rio.
Dia pun mengkritisi jika hukum kebiri yang diterapkan justru belum mengakomodir keadilan bagi korban yang mengalami gangguan psikologi. “Pada kasus ini tampak semua pihak mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh PN Mojokerto, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, namun dari keterangan Menteri PPPA di media, beliau tidak sedikitpun menyinggung terkait pemenuhan hak-hak korban serta pemulihannya,” jelas Rio.
ECPAT Indonesia, kata Rio melihat hak-hak korban serta pemulihannya masih dinomorduakan. Serta menganggap pemberian hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual anak sebenarnya tidak berdampak apapun bagi korban.
“Sudah seharusnya negara lebih memprioritaskan pemberian pemulihan dan restitusi terhadap korban disamping penghukuman berat terhadap pelakunya. Karena korbanlah yang sebenarnya perlu mendapat perhatian lebih atas kasus-kasus kejahatan seksual anak,” tutupnya.
Dihimpun dari laman depkes.go.id, hukuman kebiri bisa diartikan menjadi dua tindakan, yakni berupa pemotongan testis atau berupa suntikan zak kimia atau dikenal dengan istilah kebiri kimia. Kebiri kimia adalah tindakan menyuntikkan bahan kimiawi antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak kejatahan seksual dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosterone.
Hukuman kebiri ini, ternyata juga memberikan efek bagi tubuh manusia, berdasarkan para pakar atau ahli andrology dan ahli kejiwaan tindakan kebiri akan mengganggu hormon seseorang dimana akan mengurangi libido.
Koordinator Pelayanan Hukum Ending Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia, Rio Hendra justru menganggap hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual bukan menjadi jalan keluar untuk mengatasi masalah kejahatan seksual anak. Pasalnya, kejahatan seksual anak timbul dari berbagai faktor yaitu psikologis, biologis dan sosial.
“Hukuman kebiri hanya menambah beban negara serta menimbulkan kesengsaraan medis pada pelaku,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (27/8/2019).
Meskipun keputusan PN Mojokerto diapresiasi banyak pihak termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, hukuman ini dianggap dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual.
Namun, Rio justru menilai hukuman kebiri yang dijatuhkan oleh PN Mojokerto lebih menitikberatkan pada pemberatan pidana bagi pelaku dari pada memikirkan penanggulangan kejahatan kekerasan seksual dan jaminan pemulihan dan pemenuhan hak restitusi bagi korban.
“Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual apakah perkosaan, incest atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya jarang sekali mendapatkan apa yang dia sebut dengan deserving of legal protection and remedies,” tutur Rio.
Dia pun mengkritisi jika hukum kebiri yang diterapkan justru belum mengakomodir keadilan bagi korban yang mengalami gangguan psikologi. “Pada kasus ini tampak semua pihak mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh PN Mojokerto, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, namun dari keterangan Menteri PPPA di media, beliau tidak sedikitpun menyinggung terkait pemenuhan hak-hak korban serta pemulihannya,” jelas Rio.
ECPAT Indonesia, kata Rio melihat hak-hak korban serta pemulihannya masih dinomorduakan. Serta menganggap pemberian hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual anak sebenarnya tidak berdampak apapun bagi korban.
“Sudah seharusnya negara lebih memprioritaskan pemberian pemulihan dan restitusi terhadap korban disamping penghukuman berat terhadap pelakunya. Karena korbanlah yang sebenarnya perlu mendapat perhatian lebih atas kasus-kasus kejahatan seksual anak,” tutupnya.
(kri)