Pendekatan Sosial-Budaya dalam Keamanan Nasional

Selasa, 27 Agustus 2019 - 09:01 WIB
Pendekatan Sosial-Budaya...
Pendekatan Sosial-Budaya dalam Keamanan Nasional
A A A
Mokhamad Reza
Pemerhati Konflik dan Sosial-Budaya,
Sarjana Antropologi Sosial UI, Magister Damai dan Resolusi Konflik, Universitas Pertahanan, Alumnus Naval Postgraduate School, USA

Sejarah mencatat, proses Pemilu 2019 ini semakin meneguhkan adanya upaya sistematis mengerdilkan identitas keindonesiaan menjadi sekadar penggolongan antarpendukung presiden. Perbedaan pilihan politik sontak menjadi hal yang bukan hanya tak biasa, namun juga menimbulkan ketegangan sosial. Bahkan lebih jauh lagi, membentuk polarisasi identitas yang tidak hanya konyol, namun juga memberangus kualitas demokrasi Indonesia.

Bayangkan, beragam identitas pada diri seseorang dinihilkan menjadi hanya dua golongan yang sebenarnya sama konservatifnya, yaitu Islam konservatif, yang melekat pada koalisi Prabowo beserta pendukungnya dan nasionalisme konservatif, yang melekat pada koalisi Jokowi beserta pendukungnya.Sementara itu, pertarungan ide, gagasan dan program layaknya esensi dari sebuah kontestasi pemilu mengendap digilas polarisasi tersebut. Polarisasi ini mulai mencair pasca-Budi Gunawan (BG), kepala Badan Intelijen Negara (BIN), berhasil atas perannya mempertemukan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo, kemudian dilanjutkan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Atas peran sentral itu, BG mendapat apresiasi dari para elite politik, baik dari koalisi Joko Widodo maupun koalisi Prabowo Subianto.

Kedua pertemuan antarelite tersebut menjadi simbol rekonsiliasi yang selama ini dianggap sulit terwujud. Tidak hanya itu, pertemuan ini juga menjadi kompas penunjuk arah jalan pulang bagi para pendukung yang selama ini tersesat dalam labirin polarisasi antargolongan selama Pilpres 2019.

Namun, belakangan muncul kritik bahwa peran tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang kepala BIN. Sebenarnya kritik ini muncul lebih karena kekhawatiran elite politik atas dugaan adanya kesepakatan politik, khususnya mengenai pembagian jabatan politik pascapemilu. Dugaan yang selain prematur, juga membuat elite politik gerah sekaligus cemas terhadap nasib kursinya di kabinet.

Padahal, berhasilnya peran BG adalah bukti bahwa elite politik gagal membangun rekonsiliasi pascapemilu. Justru langkah BG mengingatkan kita semua pada akhirnya proses pemilu hanyalah kontestasi politik rutin dalam sebuah negara demokrasi. Selain itu, langkah ini berhasil membenamkan para aktor eksploitasi sentimen identitas untuk membelah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Kerentanan Struktur Masyarakat Majemuk

JS Furnivall adalah ilmuwan yang pertama kali memperkenalkan konsep masyarakat majemuk (plural society) dalam penelitiannya di Asia Tenggara. Menurut Furnivall (1948), masyarakat majemuk mudah terbelah akibat belum mantapnya kehendak bersama (common will). Senada dengan itu, Amartya Sen (2006) menyatakan bahwa masyarakat majemuk ibarat kumpulan entitas yang hanya berdampingan, namun belum terikat secara emosional-kultural sebagai sebuah kesatuan.

Lebih lanjut, Suparlan (2001) memberi catatan mengenai ciri mencolok dari kemajemukan masyarakat Indonesia, yaitu penekanan pada pentingnya identitas primordial yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti, serta penggunaan identitas primordial sebagai acuan utama dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, individu dalam masyarakat cenderung lebih loyal pada basis primordial mereka. Permasalahan struktural inilah yang coba dieksploitasi dalam momentum Pemilu 2019 lalu.

Sementara itu, Sammy Shooha (1978) melihat dinamika sosial-budaya pada masyarakat majemuk rentan terhadap ancaman perpecahan. Masyarakat majemuk mudah dipecah agar tidak bersatu atau disatukan agar mudah dieksploitasi. Sejarah mencatat, selama penjajahan, masyarakat Indonesia dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras, dan golongan. Klinken (2003) menegaskan, pembelahan dilakukan secara sistematis oleh agen-agen khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn melalui politik "Colijnialism" atau yang dikenal dengan politik devide et impera.

Sayangnya, upaya pembelahan terus bertahan pasca-Indonesia merdeka melalui diembuskannya sentimen primordialisme yang kerapkali mengemuka dan menjadi komoditas dalam konstestasi politik. Berdasarkan kondisi tersebut, maka sudah selayaknya kepekaan terhadap dinamika sosial-budaya juga mendapat tempat dalam analisis keamanan nasional pada masyarakat majemuk Indonesia.

Pendekatan Sosial-Budaya

Kerry Patton (2010), dalam bukunya Sociocultural Intelligence: A New Discipline in Intelligence Studies, menjelaskan bahwa kebanyakan orang cenderung berpikir intelijen selalu identik dengan informasi kekuatan militer. Sekalipun hal ini merupakan komponen penting dalam intelijen, namun bukanlah satu-satunya. Berbagai komponen lainnya seperti sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan juga memiliki bobot strategis yang tidak kalah penting.

Dalam hal ini, menarik untuk dicatat bahwa pada awalnya kebutuhan pendekatan sosial-budaya pada masa lalu diperkuat oleh semangat kolonialisme Eropa dan Amerika. Friedland (2006) menyatakan bahwa terdapat kesadaran dari kolonial tentang pentingnya pehaman terhadap dinamika sosial-budaya masyarakat koloni demi memudahkan kepentingan kolonial. Lebih jauh lagi, kebutuhan inilah yang turut mendorong awal pembentukan studi kewilayahan (area studies) pada banyak universitas di berbagai negara Eropa dan Amerika pada masa itu.

Edward Said (1987) menjelaskan proses ini dalam gagasannya yang momumental mengenai orientalisme. Menurutnya, orientalisme dapat dilihat dalam kapasitasnya sebagai "seperangkat institusi" yang menjajah wilayah koloni melalui dominasi intelektual, sejarah, dan sosial-budaya. Singkatnya, kita bisa melihat orientalisme sebagai gaya kolonial untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka.

Lebih lanjut, pendekatan sosial-budaya dalam keamanan nasional juga menemukan relevansinya berkaitan dengan pergeseran paradigma terhadap ancaman yang bersifat konvensional berupa fisik dan militer, menjadi ancaman nonmiliter yang multidimensional. Ketika ancaman militer hadir dalam bentuk agresi, okupasi, spionase, dan lainnya. Ancaman nonmiliter bekerja pada tataran nilai, hadir menyusup dalam keseharian kita yang berupaya melemahkan identitas keindonesiaan hingga dapat bereskalasi mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Untuk itu, Indonesia tidak dapat menafikan pendekatan sosial-budaya dalam keamanan nasional berkaitan dengan kerentanan masyarakat Indonesia yang majemuk, serta tren menguatnya politisasi sentimen primordial yang terjadi pada setiap kontestasi pemilu. Pendekatan sosial-budaya perlu menjadi salah satu komponen strategis dalam analisis keamanan nasional di Indonesia.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0884 seconds (0.1#10.140)