Sektor Pertanian Pengungkit Pertumbuhan Ekonomi
A
A
A
Darmawan SetyobudiKepala Subbagian Analisis Data Biro Perencanaan,Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian
PADA periode 2012–2018, pertumbuhan ekonomi nasional (PDB nasional atas dasar harga konstan 2010) cenderung mengalami penurunan dari 5,56% ke 5,17%. Dalam tiga tahun terakhir, melambatnya pertumbuhan ekonomi global menyebabkan berkurangnya permintaan dan transaksi ekspor-impor dengan negara-negara mitra dagang Indonesia. Perang dagang antara Amerika dan China ikut memperparah situasi ini.
Namun pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan secara umum justru naik dari 3,85% menjadi 3,91%. Pada periode tersebut PDB sektor pertanian, kehutanan, dan perikan telah naik 25% dari Rp1.039 triliun ke Rp1.307 triliun yang merefleksikan peningkatan produksi sektor ini.
Peningkatan terbesar pada 1 tahun terakhir terjadi pada tanaman hortikultura (6,99%) dan perikanan (5,2%) yang bahkan melampaui pertumbuhan PDB nasional (5,17%). Peningkatan PDB ini mencerminkan peningkatan produksi dan nilai tambah yang terjadi dalam kurun waktu tersebut.
PDB pertanian terbesar disumbang oleh tanaman perkebunan (3,30%) dan tanaman pangan (3,03%). Hal ini dapat dipahami, mengingat tanaman perkebunan merupakan andalan ekspor, sedangkan besarnya PDB tanaman pangan didorong oleh kebutuhan konsumsi domestik yang juga sangat besar.
Melansir data BPS, tercatat produksi padi 2014 mencapai 70,8 ton gabah kering giling (GKG). Angka tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 meningkat menjadi 75,4 ton, 2016 (79,35 ton) 2017 (81,14 ton), dan pada 2018 naik lagi menjadi 83,04 ton GKG.
Sementara itu, total nilai ekspor komoditas pertanian pada 2015 mencapai Rp403,8 triliun dan pada 2016 tercatat Rp384,9 triliun. Nilai ekspor pada 2015 dan 2016 ini kurang maksimal karena terjadi bencana kekeringan sebagai dampak El Nino dan bencana banjir sebagai dampak La Nina.
Namun pada 2017, ekspor pertanian melonjak menjadi Rp475,9 triliun dan pada 2018 mencapai Rp499,3 triliun. Alhasil, nilai ekspor sejak 2015 hingga 2018 mencapai Rp1.764 triliun atau terjadi peningkatan sebesar 29,7%.
Ada beberapa komoditas pertanian yang impornya mengalami penurunan, seperti beras umum, jagung pakan ternak, bawang merah, dan cabai segar, turun hingga 100% dari 2014 hingga 2018.
Mengenai hal ini, Ketua Umum KTNA Nasional Winarno Tohir menilai, peningkatan ekspor produk pertanian Indonesia sukses besar dalam menekan angka impor. Dulu, katanya, Indonesia pernah melakukan impor untuk bawang merah, bahkan sekarang bisa membalikkan keadaan dengan peningkatan ekspor pada 2018 dan 2019.
Winarno menyebut, berbagai kebijakan dan program yang Menteri Pertanian Amran Sulaiman lahirkan selama ini, sangat dirasakan manfaatnya oleh petani seluruh Indonesia. Selain itu, investasi dan kemudahan perizinan juga menjadi kebijakan sehingga memudahkan para eksportir melakukan kegiatannya.
Kinerja sektor pertanian yang menarik juga diperhatikan, yakni mampu menurunkan inflasi bahan makanan atau pangan dari tahun ke tahun. Lihat saja, jika pada 2014 laju inflasi bahan makanan mencapai 10,57%, pada 2015 turun drastis di angka 4,93%. Pada 2016 naik tipis di angka 5,69%, tapi pada 2017 menukik di angka 1,26%. Penurunan laju inflasi bahan makanan pada periode 2014–2017 ini merupakan pertama dalam sejarah pembangunan pertanian di Indonesia.
Dari sisi nilai investasi pertanian juga mengalami peningkatan. Pada 2013 nilai investasi pertanian tercatat Rp29,3 triliun. Angka ini meningkat pada 2014 yang mencapai Rp44,8 triliun, 2015 (Rp43,1 triliun), 2016 (45,4 triliun), 2017 (45,9 triliun), dan 2018 melejit di angka Rp61,6 triliun. Jika diakumulasikan nilai investasi pertanian sejak 2013–2018 mencapai Rp241 triliun atau meningkat sekitar 110,2%.
Neraca Perdagangan Sektor Pertanian
Secara umum sektor pertanian (meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan) dapat mempertahankan surplus neraca perdagangan pada periode 2012–2018, meskipun cenderung turun nilainya. Laju rata-rata pertumbuhan volume ekspor pada periode tersebut mencapai 6,3%, sedikit lebih tinggi dari laju volume impornya, yakni 5,9%.
Surplus di sektor ini terutama disumbang oleh subsektor perkebunan yang nilainya mencapai USD22,7 juta pada 2018. Di sisi lain, pada kurun waktu 2012–2018 pun terjadi tren kenaikan PDB tanaman pangan dari Rp263 triliun menjadi Rp 298,2 triliun.
Misalnya untuk padi sebagai komoditas tanaman pangan utama, produksinya meningkat dari 69 juta ton pada 2012 menjadi 81 juta ton pada 2018 atau tumbuh rata-rata 3% per tahun. Ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi kenaikan produksi nasional, kenaikan permintaan/kebutuhan pangan jauh lebih tinggi lagi.
Kenaikan permintaan pangan ini sejalan dengan bonus demografi berupa meningkatnya populasi usia produktif yang diprediksi akan terus terjadi hingga 2036. Sementara itu, upaya peningkatan produksi pangan terhambat dengan tren konversi lahan pertanian yang terus terjadi.
Misalnya untuk padi, meskipun indeks pertanaman dapat diperbaiki, produktivitas cenderung tetap pada kisaran 5,2 ton/ hektare (ha), sementara itu sekitar 600.000 ha lahan baku sawah berkurang pada periode 2016–2018. Investasi pada sektor pertanian bersumber dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Kontribusi investasi PMDN pada sektor pertanian terhadap PDB nasional mengalami peningkatan dari 5,4% pada 2013 menjadi 10,3% pada 2018. Pada 2012 total nilai investasi PMDN proyek di sektor pertanian hanya sekitar Rp9,6 triliun.
Jumlah ini meningkat lebih tiga kali lipat pada 2018 menjadi Rp31,2 triliun. Peningkatan ini lebih besar dari peningkatan total investasi PMDN pada kurun waktu yang sama. Pada kurun tersebut investasi PMA juga meningkat dari USD1,2 miliar menjadi USD1,7 miliar.
Ini menunjukkan tren daya tarik sektor pertanian terhadap investasi swasta dalam dan luar negeri yang semakin tinggi. Kontribusi PMA pada sektor pertanian terhadap PDB nasional juga meningkat pada kurun waktu yang sama.
Pada 2014, PMA mengalami kenaikan menjadi USD 2,2 miliar, kemudian turun kembali hingga 2017 menjadi USD1,6 miliar. Pada 2018 hingga triwulan dua PMA yang masuk di sektor ini tercatat USD976 juta.
Pada periode 2013-2007 realisasi investasi baik PMDN maupun PMDA lebih banyak terfokus pada subsektor perkebunan daripada tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini memungkinkan subsektor perkebunan menyumbangkan PDB dan surplus neraca perdagangan terbesar.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis tersebut, dinamika kinerja makro sektor pertanian periode 2012–2018 tidak terlepas dari kinerja makro perekonomian nasional. Oleh karena itu, perbaikan kinerja sektor pertanian perlu dilakukan oleh Kementrian Pertanian bekerja sama dengan para pemangku kepentingan lainnya.
Meskipun PDB sektor pertanian terus tumbuh pada periode tersebut, kontribusinya terhadap PDB nasional cenderung menurun dan nilainya relatif kecil dibandingkan penyerapan tenaga kerjanya. Peningkatan produktivitas tenaga kerja pertanian dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi generasi muda terdidik di sektor ini.
Strategi yang dapat dilakukan adalah transformasi digital dan penerapan teknologi praktis di bidangon-farmataupunoff-farmserta memberi insentif pengembangan pertanian organik. Generasi milenial cenderung tertarik pada bisnis yang terintegrasi, memanfaatkan teknologi, dan ramah lingkungan.
Teknologi digital juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pasar dengan informasi simetrik sehingga petani dapat mengakses harga yang lebih baik. Peningkatan kapasitas teknis dan manajerial para petani khususnya petani muda juga perlu terus dilakukan. Penyiapan sumber daya manusia, khususnya kaum muda terdidik di sektor pertanian dan infrastruktur digital juga akan menjadi salah satu daya tarik investasi untuk modernisasi sektor ini.
Sementara itu, berkurangnya lahan baku sawah akibat alih fungsi lahan perlu diantisipasi dengan pencetakan dan optimasi pemanfaatan lahan baku sawah baru, konsolidasi lahan pertanian (consolidated farming), penguatan kelembagaan petani, serta penerapan kebijakan untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan yang lebih ketat. Undang-Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan peraturan turunannya perlu diimplementasikan dengan memperbaiki kontrol dan koordinasi antarpemangku kepentingan.
Perlu dirumuskan kebijakan insentif untuk pemanfaatan lahan menganggur dan disinsentif/ sanksi bagi pihak yang menelantarkan lahan pertanian. Pengembangan riset tentang benih/bibit dan teknologi/sistem produksi perlu terus dilakukan untuk memperbaiki produktivitas ataupun indeks pertanaman.
PADA periode 2012–2018, pertumbuhan ekonomi nasional (PDB nasional atas dasar harga konstan 2010) cenderung mengalami penurunan dari 5,56% ke 5,17%. Dalam tiga tahun terakhir, melambatnya pertumbuhan ekonomi global menyebabkan berkurangnya permintaan dan transaksi ekspor-impor dengan negara-negara mitra dagang Indonesia. Perang dagang antara Amerika dan China ikut memperparah situasi ini.
Namun pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan secara umum justru naik dari 3,85% menjadi 3,91%. Pada periode tersebut PDB sektor pertanian, kehutanan, dan perikan telah naik 25% dari Rp1.039 triliun ke Rp1.307 triliun yang merefleksikan peningkatan produksi sektor ini.
Peningkatan terbesar pada 1 tahun terakhir terjadi pada tanaman hortikultura (6,99%) dan perikanan (5,2%) yang bahkan melampaui pertumbuhan PDB nasional (5,17%). Peningkatan PDB ini mencerminkan peningkatan produksi dan nilai tambah yang terjadi dalam kurun waktu tersebut.
PDB pertanian terbesar disumbang oleh tanaman perkebunan (3,30%) dan tanaman pangan (3,03%). Hal ini dapat dipahami, mengingat tanaman perkebunan merupakan andalan ekspor, sedangkan besarnya PDB tanaman pangan didorong oleh kebutuhan konsumsi domestik yang juga sangat besar.
Melansir data BPS, tercatat produksi padi 2014 mencapai 70,8 ton gabah kering giling (GKG). Angka tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 meningkat menjadi 75,4 ton, 2016 (79,35 ton) 2017 (81,14 ton), dan pada 2018 naik lagi menjadi 83,04 ton GKG.
Sementara itu, total nilai ekspor komoditas pertanian pada 2015 mencapai Rp403,8 triliun dan pada 2016 tercatat Rp384,9 triliun. Nilai ekspor pada 2015 dan 2016 ini kurang maksimal karena terjadi bencana kekeringan sebagai dampak El Nino dan bencana banjir sebagai dampak La Nina.
Namun pada 2017, ekspor pertanian melonjak menjadi Rp475,9 triliun dan pada 2018 mencapai Rp499,3 triliun. Alhasil, nilai ekspor sejak 2015 hingga 2018 mencapai Rp1.764 triliun atau terjadi peningkatan sebesar 29,7%.
Ada beberapa komoditas pertanian yang impornya mengalami penurunan, seperti beras umum, jagung pakan ternak, bawang merah, dan cabai segar, turun hingga 100% dari 2014 hingga 2018.
Mengenai hal ini, Ketua Umum KTNA Nasional Winarno Tohir menilai, peningkatan ekspor produk pertanian Indonesia sukses besar dalam menekan angka impor. Dulu, katanya, Indonesia pernah melakukan impor untuk bawang merah, bahkan sekarang bisa membalikkan keadaan dengan peningkatan ekspor pada 2018 dan 2019.
Winarno menyebut, berbagai kebijakan dan program yang Menteri Pertanian Amran Sulaiman lahirkan selama ini, sangat dirasakan manfaatnya oleh petani seluruh Indonesia. Selain itu, investasi dan kemudahan perizinan juga menjadi kebijakan sehingga memudahkan para eksportir melakukan kegiatannya.
Kinerja sektor pertanian yang menarik juga diperhatikan, yakni mampu menurunkan inflasi bahan makanan atau pangan dari tahun ke tahun. Lihat saja, jika pada 2014 laju inflasi bahan makanan mencapai 10,57%, pada 2015 turun drastis di angka 4,93%. Pada 2016 naik tipis di angka 5,69%, tapi pada 2017 menukik di angka 1,26%. Penurunan laju inflasi bahan makanan pada periode 2014–2017 ini merupakan pertama dalam sejarah pembangunan pertanian di Indonesia.
Dari sisi nilai investasi pertanian juga mengalami peningkatan. Pada 2013 nilai investasi pertanian tercatat Rp29,3 triliun. Angka ini meningkat pada 2014 yang mencapai Rp44,8 triliun, 2015 (Rp43,1 triliun), 2016 (45,4 triliun), 2017 (45,9 triliun), dan 2018 melejit di angka Rp61,6 triliun. Jika diakumulasikan nilai investasi pertanian sejak 2013–2018 mencapai Rp241 triliun atau meningkat sekitar 110,2%.
Neraca Perdagangan Sektor Pertanian
Secara umum sektor pertanian (meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan) dapat mempertahankan surplus neraca perdagangan pada periode 2012–2018, meskipun cenderung turun nilainya. Laju rata-rata pertumbuhan volume ekspor pada periode tersebut mencapai 6,3%, sedikit lebih tinggi dari laju volume impornya, yakni 5,9%.
Surplus di sektor ini terutama disumbang oleh subsektor perkebunan yang nilainya mencapai USD22,7 juta pada 2018. Di sisi lain, pada kurun waktu 2012–2018 pun terjadi tren kenaikan PDB tanaman pangan dari Rp263 triliun menjadi Rp 298,2 triliun.
Misalnya untuk padi sebagai komoditas tanaman pangan utama, produksinya meningkat dari 69 juta ton pada 2012 menjadi 81 juta ton pada 2018 atau tumbuh rata-rata 3% per tahun. Ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi kenaikan produksi nasional, kenaikan permintaan/kebutuhan pangan jauh lebih tinggi lagi.
Kenaikan permintaan pangan ini sejalan dengan bonus demografi berupa meningkatnya populasi usia produktif yang diprediksi akan terus terjadi hingga 2036. Sementara itu, upaya peningkatan produksi pangan terhambat dengan tren konversi lahan pertanian yang terus terjadi.
Misalnya untuk padi, meskipun indeks pertanaman dapat diperbaiki, produktivitas cenderung tetap pada kisaran 5,2 ton/ hektare (ha), sementara itu sekitar 600.000 ha lahan baku sawah berkurang pada periode 2016–2018. Investasi pada sektor pertanian bersumber dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Kontribusi investasi PMDN pada sektor pertanian terhadap PDB nasional mengalami peningkatan dari 5,4% pada 2013 menjadi 10,3% pada 2018. Pada 2012 total nilai investasi PMDN proyek di sektor pertanian hanya sekitar Rp9,6 triliun.
Jumlah ini meningkat lebih tiga kali lipat pada 2018 menjadi Rp31,2 triliun. Peningkatan ini lebih besar dari peningkatan total investasi PMDN pada kurun waktu yang sama. Pada kurun tersebut investasi PMA juga meningkat dari USD1,2 miliar menjadi USD1,7 miliar.
Ini menunjukkan tren daya tarik sektor pertanian terhadap investasi swasta dalam dan luar negeri yang semakin tinggi. Kontribusi PMA pada sektor pertanian terhadap PDB nasional juga meningkat pada kurun waktu yang sama.
Pada 2014, PMA mengalami kenaikan menjadi USD 2,2 miliar, kemudian turun kembali hingga 2017 menjadi USD1,6 miliar. Pada 2018 hingga triwulan dua PMA yang masuk di sektor ini tercatat USD976 juta.
Pada periode 2013-2007 realisasi investasi baik PMDN maupun PMDA lebih banyak terfokus pada subsektor perkebunan daripada tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini memungkinkan subsektor perkebunan menyumbangkan PDB dan surplus neraca perdagangan terbesar.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis tersebut, dinamika kinerja makro sektor pertanian periode 2012–2018 tidak terlepas dari kinerja makro perekonomian nasional. Oleh karena itu, perbaikan kinerja sektor pertanian perlu dilakukan oleh Kementrian Pertanian bekerja sama dengan para pemangku kepentingan lainnya.
Meskipun PDB sektor pertanian terus tumbuh pada periode tersebut, kontribusinya terhadap PDB nasional cenderung menurun dan nilainya relatif kecil dibandingkan penyerapan tenaga kerjanya. Peningkatan produktivitas tenaga kerja pertanian dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi generasi muda terdidik di sektor ini.
Strategi yang dapat dilakukan adalah transformasi digital dan penerapan teknologi praktis di bidangon-farmataupunoff-farmserta memberi insentif pengembangan pertanian organik. Generasi milenial cenderung tertarik pada bisnis yang terintegrasi, memanfaatkan teknologi, dan ramah lingkungan.
Teknologi digital juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pasar dengan informasi simetrik sehingga petani dapat mengakses harga yang lebih baik. Peningkatan kapasitas teknis dan manajerial para petani khususnya petani muda juga perlu terus dilakukan. Penyiapan sumber daya manusia, khususnya kaum muda terdidik di sektor pertanian dan infrastruktur digital juga akan menjadi salah satu daya tarik investasi untuk modernisasi sektor ini.
Sementara itu, berkurangnya lahan baku sawah akibat alih fungsi lahan perlu diantisipasi dengan pencetakan dan optimasi pemanfaatan lahan baku sawah baru, konsolidasi lahan pertanian (consolidated farming), penguatan kelembagaan petani, serta penerapan kebijakan untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan yang lebih ketat. Undang-Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan peraturan turunannya perlu diimplementasikan dengan memperbaiki kontrol dan koordinasi antarpemangku kepentingan.
Perlu dirumuskan kebijakan insentif untuk pemanfaatan lahan menganggur dan disinsentif/ sanksi bagi pihak yang menelantarkan lahan pertanian. Pengembangan riset tentang benih/bibit dan teknologi/sistem produksi perlu terus dilakukan untuk memperbaiki produktivitas ataupun indeks pertanaman.
(kri)