Deforestasi Mengancam jika RUU Pertanahan Disahkan

Selasa, 13 Agustus 2019 - 15:18 WIB
Deforestasi Mengancam jika RUU Pertanahan Disahkan
Deforestasi Mengancam jika RUU Pertanahan Disahkan
A A A
JAKARTA - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Jikalahari khawatir, jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan jika menjadi UU justru akan menjadi ancaman bagi keberadaan hutan.

Hal ini dikatakan oleh Koordinator LSM Jikalahari, Made Ali. Menurutnya, pandangan tersebut muncul setelah Jikalahari melakukan penelaahan atas RUU Pertanahan yang tengah dibahas di DPR.

"Menunjukkan bila menjadi undang-undang, dampaknya akan terjadi deforestasi besar-besaran dengan cara melakukan pembakaran hutan dan lahan serta melegalkan kejahatan kehutanan 378 korporasi sawit, yang lahannya kembali terbakar sepanjang 2019 hingga 6 juta warga Riau kembali terpapar polusi asap," kata Made Ali, Selasa (13/8/2019).

Made Ali menjelaskan, bisa dibayangkan jika 1,8 juta kawasan hutan anggaplah hutan alam tersisa 1 juta hektare, lahan seluas itu akan segera digunduli oleh korporasi. Lalu dibakar karena biayanya murah. Habitat flora dan fauna yang selama ini hidupnya di hutan alam, mereka akan punah secara cepat.

"Jika ini terjadi, Presiden Jokowi telah melanggar sendiri komitmen berupa moratorium sawit, moratorium hutan. Dua kebijakan itu sebagai wujud komitmen presiden jokowi di Paris Agreement yang telah menjadi UU No 16 tahun 2016," ucapnya.

"Yaitu komitmen nasional hendak menurunkan emisi berupa; pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan Indonesia," sambungnya.

Termasuk kata dia, menghentikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan cara merestorasi gambut, akan sia-sia. Sebab menurutnya, sebagian besar 378 korporasi itu berada di atas lahan gambut.

"Itu artinya, Jokowi akan melegalkan tindakan korporasi itu merusak gambut. Jikalahari telah menelaah RUU Pertanahan versi draf awal, draf versi Juni 2019 dan versi Juli 2019. Versi Juni dan Juli 2019 adalah versi penuh kegelapan, karena dibahas tersembunyi dan tertutup rapat hingga publik tidak tahu perkembangannya," ungkapnya.

Dari penelaahan itu sambung Made Ali, Jikalahari menemukan pasal-pasal yang tidak pro pelestarian hutan dan berdampak pada pembakaran hutan dan lahan.

"Pertama, Pasal 146 berbunyi, dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau Tanah yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri," jelasnya.

Pasal ini kata dia, jelas menguntungkan 378 korporasi sawit illegal dalam kawasan hutan. Dia kuasai lahan melebihi HGU yang berada dalam kawasan hutan atau tanah dalam kawasan hutan yang belum punya hak atas tanah, status HGU-nya ditetapkan Menteri ATR/BPN.

"Status apa? Illegal atau legal? memindahkan konflik tenurial (lahan) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Terlihat dalam Pasal 33 Ayat 5 dan Ayat 6," ucapnya.

"Lalu ketiga, pemaksaan melegalkan kejahatan kehutanan atau menghilangkan tindak pidana kehutanan bisa dilakukan dengan status HGU dari Menteri ATR dan BPN (lihat Pasal 146 dan 33)," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7719 seconds (0.1#10.140)