Jalankan Tradisi Nenek Moyang, Pakai Kain Ihram Selama 28 Hari
A
A
A
Berpegang pada kebiasaan nenek moyang di kampung halaman, sejumlah jamaah haji Indonesia memilih untuk berniat haji ifrad. Mereka mengenakan pakaian ihram dalam waktu cukup lama, sekitar 28 hari, selama di Tanah Suci.
Jamaah haji Indonesia umumnya mengambil niat haji tamatu, yakni menunaikan umrah wajib terlebih dahulu baru kemudian melaksanakan haji. Haji jenis ini dipilih karena meringankan. Meski terkena denda (dam), mereka tak harus terus-menerus mengenakan kain ihram sejak kedatangan di Tanah Suci hingga selesai melaksanakan haji.
Namun sekelompok jamaah haji asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), memilih mengambil haji ifrad. Menunai kan haji terlebih dahulu baru kemudian menjalankan umrah wajib. Tidak ada kewajiban membayar dam bagi mereka yang menjalankan haji jenis ini. Namun ada konsekuensi yang harus ditanggung, yakni memakai kain ihram dan harus menjaga diri dari laranganlarangan ihram dalam waktu yang cukup lama.
“Kalau dihitung, semua 28,5 hari sampai melontar (jumrah) aqabah nanti,” kata Syairi, war ga Desa Aik Prapa, Kecamar an Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, beberapa waktu lalu. Menurut jamaah haji kloter 1 Embarkasi Lombok (LOP) ter sebut, dirinya berangkat dari Lom bok pada 7 Juli 2019. Dia turun di Madinah dan baru berangkat ke Mekkah pada 15 Juli 2019.
Sejak berangkat ke Mek kah itu dia bersama 18 orang lainnya dari desa yang sama mengenakan kain ihram dan berniat haji ifrad di Bir Ali. Mereka tidak melepas kain ihram dan terjaga dari hal-hal yang diharamkan hingga selesai hajinya. “Setelah melontar (jumrah) aqabah, kita tahalul, terus kita tawaf ifadah pada 10 Zulhijah. Setelah selesai kita buka ihram, setelah tahalul pun kita bisa buka ihram dan kita pergi tawaf ifadahnya,” tutur Syairi.
Apa yang dilakukan Syairi dkk cukup berat. Tidak hanya soal memakai kain ihram secara terus-menerus, tapi juga menjaga diri dari laranganlarangan ihram. Misalnya larangan berkata-kata kotor, mencukur rambut, menggunting kuku, mengenakan pakaian berjahit, menggunakan harumharuman, berburu, melakukan khitbah dan akad nikah, berhubungan intim, dan mencumbu istri.
“Alhamdulillah kita bisa menjaga, saya baru ganti kain ihram sekali,” kata Syairi yang membawa dua setel kain ihram. Syairi mengakui cukup berat menjalankan haji ifrad. Namun ini adalah tradisi dari nenek moyang di kampungnya. Selain itu, saat pertama kali, Nabi Muhammad juga melaksanakan haji ifrad.
Baru setelahnya Rasul mengambil haji tamatu. Karena itu dia sudah meniatinya sejak mendaftar haji 10 tahun lalu. Ada tiga hal yang paling dijaga oleh Syairi dan kawankawannya selama berihram, yakni berbohong, berkelahi, dan berjimak. Menurutnya, ketiga hal itu bisa merusak haji, ibadahnya tidak diterima Allah SWT.
“Kalau yang lain-lain, kita bisa ganti dengan dam, kalau menggaruk rambutnya jatuh, boleh kita ganti dengan dam isyaah, (bayar) 1 riyal atau 2 riyal,” katanya. Cara membayar dam ini, kata Syairi, adalah dengan mem berikan uang itu kepada siapa saja ketika melakukan kesalahan saat ihram.
Misalnya kepada tukang sapu atau pe ngemis di Kota Mekkah atau Madinah. Meski memakai kain ihram, hal itu tidak membatasi aktivitas Syairi dan kawan-kawannya. Dia setiap hari ke Masjidilharam setelah asar dan baru pulang ke hotel seusai salat isya. Terkadang berangkat pukul 01.00 dini hari dan baru kembali seusai salat subuh.
“Alhamdulillah saya bersama enam rombongan saya disatukan dalam satu kamar. Ketua kloter juga membo leh kan, beliau hanya meng ingat kan soal laranganlarangan ihram, utamanya menjelang wukuf,” katanya. Dia berharap terus diberi kesehatan dan mendapatkan mendapat rida dari Allah. “Semoga Allah mengasih kita haji mabrur,” katanya. (Abdul Malik Mubarak)
Jamaah haji Indonesia umumnya mengambil niat haji tamatu, yakni menunaikan umrah wajib terlebih dahulu baru kemudian melaksanakan haji. Haji jenis ini dipilih karena meringankan. Meski terkena denda (dam), mereka tak harus terus-menerus mengenakan kain ihram sejak kedatangan di Tanah Suci hingga selesai melaksanakan haji.
Namun sekelompok jamaah haji asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), memilih mengambil haji ifrad. Menunai kan haji terlebih dahulu baru kemudian menjalankan umrah wajib. Tidak ada kewajiban membayar dam bagi mereka yang menjalankan haji jenis ini. Namun ada konsekuensi yang harus ditanggung, yakni memakai kain ihram dan harus menjaga diri dari laranganlarangan ihram dalam waktu yang cukup lama.
“Kalau dihitung, semua 28,5 hari sampai melontar (jumrah) aqabah nanti,” kata Syairi, war ga Desa Aik Prapa, Kecamar an Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, beberapa waktu lalu. Menurut jamaah haji kloter 1 Embarkasi Lombok (LOP) ter sebut, dirinya berangkat dari Lom bok pada 7 Juli 2019. Dia turun di Madinah dan baru berangkat ke Mekkah pada 15 Juli 2019.
Sejak berangkat ke Mek kah itu dia bersama 18 orang lainnya dari desa yang sama mengenakan kain ihram dan berniat haji ifrad di Bir Ali. Mereka tidak melepas kain ihram dan terjaga dari hal-hal yang diharamkan hingga selesai hajinya. “Setelah melontar (jumrah) aqabah, kita tahalul, terus kita tawaf ifadah pada 10 Zulhijah. Setelah selesai kita buka ihram, setelah tahalul pun kita bisa buka ihram dan kita pergi tawaf ifadahnya,” tutur Syairi.
Apa yang dilakukan Syairi dkk cukup berat. Tidak hanya soal memakai kain ihram secara terus-menerus, tapi juga menjaga diri dari laranganlarangan ihram. Misalnya larangan berkata-kata kotor, mencukur rambut, menggunting kuku, mengenakan pakaian berjahit, menggunakan harumharuman, berburu, melakukan khitbah dan akad nikah, berhubungan intim, dan mencumbu istri.
“Alhamdulillah kita bisa menjaga, saya baru ganti kain ihram sekali,” kata Syairi yang membawa dua setel kain ihram. Syairi mengakui cukup berat menjalankan haji ifrad. Namun ini adalah tradisi dari nenek moyang di kampungnya. Selain itu, saat pertama kali, Nabi Muhammad juga melaksanakan haji ifrad.
Baru setelahnya Rasul mengambil haji tamatu. Karena itu dia sudah meniatinya sejak mendaftar haji 10 tahun lalu. Ada tiga hal yang paling dijaga oleh Syairi dan kawankawannya selama berihram, yakni berbohong, berkelahi, dan berjimak. Menurutnya, ketiga hal itu bisa merusak haji, ibadahnya tidak diterima Allah SWT.
“Kalau yang lain-lain, kita bisa ganti dengan dam, kalau menggaruk rambutnya jatuh, boleh kita ganti dengan dam isyaah, (bayar) 1 riyal atau 2 riyal,” katanya. Cara membayar dam ini, kata Syairi, adalah dengan mem berikan uang itu kepada siapa saja ketika melakukan kesalahan saat ihram.
Misalnya kepada tukang sapu atau pe ngemis di Kota Mekkah atau Madinah. Meski memakai kain ihram, hal itu tidak membatasi aktivitas Syairi dan kawan-kawannya. Dia setiap hari ke Masjidilharam setelah asar dan baru pulang ke hotel seusai salat isya. Terkadang berangkat pukul 01.00 dini hari dan baru kembali seusai salat subuh.
“Alhamdulillah saya bersama enam rombongan saya disatukan dalam satu kamar. Ketua kloter juga membo leh kan, beliau hanya meng ingat kan soal laranganlarangan ihram, utamanya menjelang wukuf,” katanya. Dia berharap terus diberi kesehatan dan mendapatkan mendapat rida dari Allah. “Semoga Allah mengasih kita haji mabrur,” katanya. (Abdul Malik Mubarak)
(don)