Kurban dan Solidaritas Sosial
A
A
A
Lebaran Idul Adha atau Hari Raya Kurban yang dirayakan umat Islam se-Tanah Air kemarin adalah ibadah yang mengandung banyak makna. Ibadah ini tidak hanya berdimensi vertikal, yakni hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, melainkan juga berdimensi horizontal, yakni ajang untuk memperkuat hubungan yang harmonis antarsesama manusia.
Dalam dimensi vertikal, ibadah kurban mengajarkan kita untuk memiliki sifat patuh, tunduk, dan berserah diri atas apa yang menjadi perintah Allah swt. Kepatuhan dan ketaatan seperti ini telah diteladankan Nabi Ibrahim As saat diperintahkan menyembelih anaknya, Ismail, yang kemudian atas kuasa-Nya sembelihan tersebut diubah menjadi seekor domba.
Umat Islam kemudian meneladani sikap Ibrahim dan Ismail ini, juga sebagai wujud kepatuhan dan ketaatan dalam rangka meningkatkan derajat ketakwaan sebagai hamba Allah Sang Pencipta. Ketakwaan dalam berkurban merupakan kunci kepasrahan dan totalitas pengabdian kita sebagai hamba.
Dalam dimensi vertikal, ibadah kurban juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepekaan yang tinggi terhadap sesama. Apalagi jika menengok ke sekeliling kita, masih banyak orang yang kekurangan pangan. Masih banyak di antara kita yang hidupnya dalam kemiskinan sehingga membutuhkan uluran tangan. Mereka yang miskin ini jumlahnya jutaan orang.
Mengacu pada data penduduk miskin Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2019, saat ini tercatat 25,14 juta jiwa atau 9,41% dari total 260 juta penduduk Indonesia masih hidup miskin. Mereka ini kelompok yang benar-benar berada pada posisi paling bawah dalam strata ekonomi masyarakat.
Momentum kurban ini seyogianya jadi kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan bantuan tersebut. Bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ini waktunya berbagi kegembiraan. Daging dari hewan yang disembelih yang kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan ini adalah manifestasi atas sikap peduli kepada sesama.
Karena berkurban dilandasi dengan dengan nilai-nilai cinta kasih, keikhlasan, dan persaudaraan, seharusnya momentum Hari Raya Kurban ini menjadi ajang untuk menumbuhkan sikap positif.
Kita tahu hari-hari ini kita sebagai sesama anak bangsa banyak diuji. Tidak sedikit di antara kita yang kini ikatan emosionalnya renggang. Ada sikap saling memusuhi, saling menjatuhkan, saling tidak peduli yang kian mengeras lalu secara perlahan membuat kita saling curiga dan tidak percaya satu sama lain.
Jika ditelisik, umumnya sekat psikologis tersebut tercipta karena masalah yang seharusnya sepele, yakni perbedaan pilihan politik. Ironisnya, tak jarang sikap-sikap negatif seperti itu masih terus terpelihara hingga kini meskipun peristiwa politiknya sendiri sudah lama berakhir. Pada titik inilah makna dari ibadah kurban, terutama ditinjau dari dimensi horizontal, menemukan konteksnya.
Lantaran momentum kurban berangkat dari semangat keikhlasan, sepatutnya kita juga ikhlas untuk menghilangkan perseteruan dan menumbuhkan kebersamaan. Sikap seperti ini penting karena bangsa kita memerlukan persatuan dan soliditas dalam upaya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi bangsa. Tanpa persatuan yang solid, niscaya kita akan mudah dipecah dan diadu domba. Akibatnya kita sebagai bangsa akan sulit berkembang dan maju, terutama dari sisi ekonomi.
Ibadah kurban juga memiliki spirit pemerdekaan hamba dari segala karakter kebinatangan yang ada pada dirinya. Manusia sangat dekat dengan sifat rakus, tamak, ingin menang sendiri, memperkaya diri tanpa peduli kesulitan orang lain. Hari-hari ini kita sudah sering disuguhi berita penangkapan pejabat, terutama kepala daerah karena kasus suap.
Sudah puluhan kepala daerah yang menjadi tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka ini sesungguhnya adalah orang yang memiliki materi yang sangat cukup. Namun, karena hegemoni nafsu kebinatangan menguasainya, yang muncul adalah sifat rakus dan tamak. Maka dari itu penting untuk mengambil hikmah dari ibadah kurban karena itu juga termasuk simbol penyembelihan sifat dan karakter negatif yang dimiliki manusia.
Dengan disyariatkannya kurban, umat Islam dilatih mempertebal keimanan, ketakwaan, dan rasa kemanusiaan serta mengasah kepekaan terhadap masalah sekitar. Ibadah kurban sekaligus melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki kesalehan sosial.
Dalam dimensi vertikal, ibadah kurban mengajarkan kita untuk memiliki sifat patuh, tunduk, dan berserah diri atas apa yang menjadi perintah Allah swt. Kepatuhan dan ketaatan seperti ini telah diteladankan Nabi Ibrahim As saat diperintahkan menyembelih anaknya, Ismail, yang kemudian atas kuasa-Nya sembelihan tersebut diubah menjadi seekor domba.
Umat Islam kemudian meneladani sikap Ibrahim dan Ismail ini, juga sebagai wujud kepatuhan dan ketaatan dalam rangka meningkatkan derajat ketakwaan sebagai hamba Allah Sang Pencipta. Ketakwaan dalam berkurban merupakan kunci kepasrahan dan totalitas pengabdian kita sebagai hamba.
Dalam dimensi vertikal, ibadah kurban juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepekaan yang tinggi terhadap sesama. Apalagi jika menengok ke sekeliling kita, masih banyak orang yang kekurangan pangan. Masih banyak di antara kita yang hidupnya dalam kemiskinan sehingga membutuhkan uluran tangan. Mereka yang miskin ini jumlahnya jutaan orang.
Mengacu pada data penduduk miskin Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2019, saat ini tercatat 25,14 juta jiwa atau 9,41% dari total 260 juta penduduk Indonesia masih hidup miskin. Mereka ini kelompok yang benar-benar berada pada posisi paling bawah dalam strata ekonomi masyarakat.
Momentum kurban ini seyogianya jadi kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan bantuan tersebut. Bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ini waktunya berbagi kegembiraan. Daging dari hewan yang disembelih yang kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan ini adalah manifestasi atas sikap peduli kepada sesama.
Karena berkurban dilandasi dengan dengan nilai-nilai cinta kasih, keikhlasan, dan persaudaraan, seharusnya momentum Hari Raya Kurban ini menjadi ajang untuk menumbuhkan sikap positif.
Kita tahu hari-hari ini kita sebagai sesama anak bangsa banyak diuji. Tidak sedikit di antara kita yang kini ikatan emosionalnya renggang. Ada sikap saling memusuhi, saling menjatuhkan, saling tidak peduli yang kian mengeras lalu secara perlahan membuat kita saling curiga dan tidak percaya satu sama lain.
Jika ditelisik, umumnya sekat psikologis tersebut tercipta karena masalah yang seharusnya sepele, yakni perbedaan pilihan politik. Ironisnya, tak jarang sikap-sikap negatif seperti itu masih terus terpelihara hingga kini meskipun peristiwa politiknya sendiri sudah lama berakhir. Pada titik inilah makna dari ibadah kurban, terutama ditinjau dari dimensi horizontal, menemukan konteksnya.
Lantaran momentum kurban berangkat dari semangat keikhlasan, sepatutnya kita juga ikhlas untuk menghilangkan perseteruan dan menumbuhkan kebersamaan. Sikap seperti ini penting karena bangsa kita memerlukan persatuan dan soliditas dalam upaya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi bangsa. Tanpa persatuan yang solid, niscaya kita akan mudah dipecah dan diadu domba. Akibatnya kita sebagai bangsa akan sulit berkembang dan maju, terutama dari sisi ekonomi.
Ibadah kurban juga memiliki spirit pemerdekaan hamba dari segala karakter kebinatangan yang ada pada dirinya. Manusia sangat dekat dengan sifat rakus, tamak, ingin menang sendiri, memperkaya diri tanpa peduli kesulitan orang lain. Hari-hari ini kita sudah sering disuguhi berita penangkapan pejabat, terutama kepala daerah karena kasus suap.
Sudah puluhan kepala daerah yang menjadi tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka ini sesungguhnya adalah orang yang memiliki materi yang sangat cukup. Namun, karena hegemoni nafsu kebinatangan menguasainya, yang muncul adalah sifat rakus dan tamak. Maka dari itu penting untuk mengambil hikmah dari ibadah kurban karena itu juga termasuk simbol penyembelihan sifat dan karakter negatif yang dimiliki manusia.
Dengan disyariatkannya kurban, umat Islam dilatih mempertebal keimanan, ketakwaan, dan rasa kemanusiaan serta mengasah kepekaan terhadap masalah sekitar. Ibadah kurban sekaligus melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki kesalehan sosial.
(maf)