Menteri LHK Tegaskan Jokowi Selalu Perhatikan Masyarakat Adat
A
A
A
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan, seluruh masyarakat adat tidak boleh ragu kepada pemerintah dan khususnya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang betul-betul menyayangi masyarakat hukum adat di Indonesia ini.
Dasar hukum dan pijakan konstitusional yang kuat sudah ada dan juga telah adanya pengakuan secara resmi oleh negara pada 30 Desember 2016 setelah Indonesia Merdeka lebih dari 70 tahun, dan telah dirintis operasionalisasinya.
Hal ini dikatakan Siti Nurbaya saat mewakili Presiden dalam Perayaan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus bertempat di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (10/8/2019).
"Tampak sangat jelas diaktualisasikan oleh Presiden dan pemerintah, seperti secara simbolik pada upacara resmi kenegaraan di Istana Negara dipakai pakaian adat. Begitu pula pada upacara resmi peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni," ujar Siti Nurbaya.
Presiden Jokowi sendiri tengah berada di luar negeri untuk kunjungan kenegaraan. Siti Nurbaya bercerita, dirinya melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang hal berkenaan dengan masyarakat hukum adat.
"Bapak Presiden selalu bilang, masyarakat hukum adat adalah kawan-kawan saya, begitu kata Bapak Presiden, Jadi saya menangkap kesan bahwa Bapak Presiden menyayangi masyarakat hukum adat kita," kata Siti.
Selanjutnya Siti Nurbaya menjelaskan, tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga disebut sebagai 'Masyarakat Hukum Adat' atau 'Masyarakat Tradisional'. Ini bukan hanya fenomena khusus Indonesia, tapi bersifat global dengan disahkannya The UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples pada 13 September 2007 dalam Sidang Umum PBB.
Dikatakan Siti, adalah kenyataan bahwa demikian banyak masyarakat hukum adat yang telah ada selama ratusan tahun, kemudian dibangun negara bangsa. Masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya.
"Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan negara bangsa adalah entitas-entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai penduduk suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya," kata Siti.
"Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka cepat atau lambat, secara tertutup atau terbuka, akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama," sambungnya.
Dijelaskan Siti, seyogyanya posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu negara bangsa, karena didasarkan pada faham kebangsaan dan asas kedaulatan rakyat. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan.
Lebih jauh dikatakan Menteri Situ, bisa dilihat original intent seperti dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (asli) diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara.
"Harus diakui bahwa masih ada kendala konseptual yang cukup menghambat upaya untuk secara sistematik menindak-lanjuti original intent para Pendiri Negara kedalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional," jelasnya.
"Hal ini disebabkan antara lain karena kurang berkembangnya pengetahuan terhadap perkembangan masyarakat hukum adat. Paling tidak hingga tahun 2008 sebagaimana disebutkan oleh Prof Saafrudin Bahar. Dan kita beruntung karena sejak lebih kurang dua tahun lalu sudah ada Pusat Studi Hukum Adat yang sudah di bangun di UGM Yogyakarta," tandas Siti Nurbaya.
Dasar hukum dan pijakan konstitusional yang kuat sudah ada dan juga telah adanya pengakuan secara resmi oleh negara pada 30 Desember 2016 setelah Indonesia Merdeka lebih dari 70 tahun, dan telah dirintis operasionalisasinya.
Hal ini dikatakan Siti Nurbaya saat mewakili Presiden dalam Perayaan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus bertempat di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (10/8/2019).
"Tampak sangat jelas diaktualisasikan oleh Presiden dan pemerintah, seperti secara simbolik pada upacara resmi kenegaraan di Istana Negara dipakai pakaian adat. Begitu pula pada upacara resmi peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni," ujar Siti Nurbaya.
Presiden Jokowi sendiri tengah berada di luar negeri untuk kunjungan kenegaraan. Siti Nurbaya bercerita, dirinya melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang hal berkenaan dengan masyarakat hukum adat.
"Bapak Presiden selalu bilang, masyarakat hukum adat adalah kawan-kawan saya, begitu kata Bapak Presiden, Jadi saya menangkap kesan bahwa Bapak Presiden menyayangi masyarakat hukum adat kita," kata Siti.
Selanjutnya Siti Nurbaya menjelaskan, tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga disebut sebagai 'Masyarakat Hukum Adat' atau 'Masyarakat Tradisional'. Ini bukan hanya fenomena khusus Indonesia, tapi bersifat global dengan disahkannya The UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples pada 13 September 2007 dalam Sidang Umum PBB.
Dikatakan Siti, adalah kenyataan bahwa demikian banyak masyarakat hukum adat yang telah ada selama ratusan tahun, kemudian dibangun negara bangsa. Masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya.
"Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan negara bangsa adalah entitas-entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai penduduk suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya," kata Siti.
"Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka cepat atau lambat, secara tertutup atau terbuka, akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama," sambungnya.
Dijelaskan Siti, seyogyanya posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu negara bangsa, karena didasarkan pada faham kebangsaan dan asas kedaulatan rakyat. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan.
Lebih jauh dikatakan Menteri Situ, bisa dilihat original intent seperti dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (asli) diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara.
"Harus diakui bahwa masih ada kendala konseptual yang cukup menghambat upaya untuk secara sistematik menindak-lanjuti original intent para Pendiri Negara kedalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional," jelasnya.
"Hal ini disebabkan antara lain karena kurang berkembangnya pengetahuan terhadap perkembangan masyarakat hukum adat. Paling tidak hingga tahun 2008 sebagaimana disebutkan oleh Prof Saafrudin Bahar. Dan kita beruntung karena sejak lebih kurang dua tahun lalu sudah ada Pusat Studi Hukum Adat yang sudah di bangun di UGM Yogyakarta," tandas Siti Nurbaya.
(maf)