Menyoroti Rektor Impor

Rabu, 07 Agustus 2019 - 08:05 WIB
Menyoroti Rektor Impor
Menyoroti Rektor Impor
A A A
Jejen Musfah
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Wasekjen PB PGRI

RENCANA pemerintah untuk mengimpor rektor menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Tujuan rektor impor itu adalah menaikkan peringkat universitas Indonesia di level dunia. Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga, semisal Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Sesungguhnya faktor utama ketertinggalan universitas-universitas Indonesia dibanding universitas negara lainnya bukan karena kompetensi rektor yang rendah, melainkan mutu dosen, mahasiswa, iklim akademik kampus, dan fasilitas riset kampus.

Tugas rektor mengelola dosen, mahasiswa, dan fasilitas kampus agar berkinerja maksimal sesuai cita-cita universitas. Sebaik apa pun rektor, tidak akan mampu menaikkan peringkat universitas jika ketiga variabel tersebut lemah alias tidak berstandar internasional.

Ibarat kapasitas mesin mobil, universitas-universitas di Indonesia berkapasitas 1.000 cc, sedangkan universitas-universitas di luar negeri berkapasitas 2.500 cc. Siapa pun sopirnya atau rektornya, tidak akan mampu mengejar karena perbedaan kapasitas tersebut. Kapasitas tersebut ibarat perpaduan dosen, mahasiswa, iklim akademik, dan fasilitas kampus.

Dosen Riset

Rektor kita banyak yang kompeten. Banyak dari mereka lulusan dalam dan luar negeri. Prestasi akademik dan kemampuan manajerialnya bagus. Namun, mereka terkendala masalah internal kampus, di antaranya kondisi dosen dengan dua tipe berikut.

Pertama, dosen kompeten dalam riset yang jumlahnya sedikit. Mereka punya jaringan riset yang bagus. Dalam dan luar negeri. Mereka inilah yang kerap mendapatkan dana hibah riset dari dalam dan luar negeri. Biasanya mereka merupakan alumni kampus luar negeri.

Artikel hasil riset mereka yang terbit di jurnal dan disitasi akademisi dunia inilah yang menyumbang poin pemeringkatan universitas di Indonesia. Sebut saja Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Produktivitas mereka menjadi kunci menuju universitas kelas dunia. Masalahnya tadi, jumlah mereka sedikit. Belum lagi fasilitas, iklim akademik, dan kebijakan riset di Indonesia tidak ramah terhadap peneliti. Faktor administratif dan kecilnya dana misalnya, kerap dikeluhkan peneliti.

Akibatnya gairah meneliti turun. Kinerja riset dosen kita berbeda saat mereka berada di luar negeri dengan saat mereka di Indonesia. Lainnya, riset kita kerap berhenti pada artikel dan laporan. Hasil riset tidak dimanfaatkan industri untuk diproduksi sehingga berdampak luas.

Kecuali itu, betul bahwa data riset dan publikasi dosen kita meningkat tajam setiap tahun, tetapi riset dosen di negara lain jauh lebih tinggi. Langkah kita selalu berada di belakang langkah mereka.

Kedua, dosen yang tidak kompeten dalam riset yang jumlahnya banyak. Mereka minim bahkan nihil publikasi jurnal dan buku. Dosen ini tidak bisa serta-merta dituntut menaikkan kinerja riset dan publikasi ilmiahnya dalam waktu singkat.

Sulit bagi rektor menaikkan kinerja riset jika formasi dosen kedua ini mayoritas dibanding dosen pertama. Selain hambatan internal ini, rektor juga menghadapi hambatan eksternal seperti kebijakan pendanaan dan fasilitas riset di kampus.

Mahasiswa Asing

Di antara variabel kampus kelas dunia adalah jumlah mahasiswa asing. Utamanya di jenjang S-2 dan S-3 atau pascasarjana. Semakin banyak mahasiswa asing semakin bagus sebuah universitas. Hal ini menunjukkan rekognisi kampus Indonesia di mata masyarakat dan pemerintah asing.

Hal ini tidak mudah. Kampus kita harus siap dalam persiapan penguatan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Misal, ada dosen sebuah kampus negeri kesulitan menghadapi mahasiswa yang tidak memahami bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Transfer ilmu terkendala bahasa. Jadi, internasionalisasi tidak sesimpel adanya mahasiswa asing.

Dosen harus siap menghadapi dan mengisi kelas internasional. Kemampuan bahasa, metode mengajar, dan riset harus standar internasional. Fasilitas dan regulasi kelas internasional harus disiapkan. Juga pelayanan. Sudah siapkah kita?

Di sebuah kampus negeri misalnya, kelas internasional yang mahasiswanya dari Indonesia ditutup. Mahasiswanya protes. Yang bertahan pun tidak jelas distingsinya dengan kelas reguler. Apakah kita siap mengelola kelas internasional yang mahasiswanya asing?

Rasanya sulit mendapatkan kepercayaan mahasiswa asing jika kualitas dosen tidak didukung oleh fasilitas, kinerja riset, dan iklim akademik yang tinggi. Mereka akan datang ke sini bukan karena faktor rektor impor, tetapi kualitas universitas secara universal, di antaranya fasilitas belajar dan kinerja ilmiah para dosennya.

Alih-alih mengimpor rektor, sebaiknya pemerintah memperbaiki regulasi riset dan fasilitas kampus. Kesejahteraan dosen juga berpengaruh terhadap mutu riset. Mereka fokus melakukan riset karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi.

Dosen luar negeri kompeten dalam riset, didukung iklim akademik, fasilitas, jaringan kerja sama, dana riset, dan kesejahteraan, sehingga produktif dan kreatif. Sementara kita sebaliknya. Jika tidak segera diperbaiki secara simultan, rektor impor pun tidak akan mampu membawa universitas kita ke level dunia.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0719 seconds (0.1#10.140)