Saatnya Membersihkan BUMN

Jum'at, 02 Agustus 2019 - 08:00 WIB
Saatnya Membersihkan BUMN
Saatnya Membersihkan BUMN
A A A
MASYARAKAT kembali dikejutkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat badan usaha milik negara (BUMN) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini oknum salah satu direktur di PT Angkasa Pura II (AP II), juga beberapa pegawai PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti), tertangkap tangan oleh aparat lembaga antirasuah itu. Fenomena ini tak boleh dibiarkan. Harus ada kebijakan luar biasa untuk menghentikan korupsi di perusahaan pelat merah tersebut. BUMN tak akan bisa maju jika terus menjadi ajang penjarahan para oknum pejabatnya.

Seperti kita tahu bahwa kasus OTT tersebut menambah daftar panjang kasus korupsi yang terungkap di BUMN. Sebelumnya, beberapa direksi BUMN juga berurusan dengan aparat KPK di antaranya PT Krakatau Steel, PT Asuransi Jasindo, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT PAL, PT Pelindo II, dan PT Pertamina. Termasuk kasus suap yang melibatkan PT Pupuk Indonesia Logistik, anak usaha PT Pupuk Indonesia pada Mei 2019 silam. Para pejabat diusut baik dalam OTT maupun ditangkap setelah menjabat. Sungguh memprihatinkan!

Kasus korupsi yang membelit BUMN tersebut tentunya mengusik rasa keadilan masyarakat. Di antara BUMN-BUMN yang direksinya terlibat kasus korupsi tersebut ada yang menerima suntikan modal dari negara. Dananya diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebagian besar berasal dari pajak yang dibayar oleh masyarakat. Tak hanya itu, kasus korupsi tersebut juga mencederai komitmen pemerintah dalam dua dekade terakhir tentang penerapan good corporate governance dan menghindari perilaku koruptif dalam pengelolaan BUMN.

Dampak yang dapat ditimbulkan dari korupsi itu tentunya dapat menyentuh berbagai segi kehidupan. Korupsi menjadi masalah yang sangat serius karena dapat membahayakan pembangunan sosial-ekonomi, dan politik, serta dapat merusak moral bangsa dan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Indonesia telah dimanjakan oleh korupsi di segala bidang kehidupan baik di pusat maupun daerah.

Masalah korupsi telah merasuk sampai pusat-pusat birokrasi baik pada tataran birokrasi rendah dan tinggi. Sering kali gaji yang rendah menjadi alasan para aparat negara tersebut korupsi. Mungkin ada benarnya. Namun, dalam banyak kasus, anggapan tersebut telah terbantahkan. Bahkan, justru yang terlibat korupsi adalah para pejabat yang punya gaji besar, sehingga korupsi kurang ada korelasinya dengan gaji yang rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, memang perlu adanya reformasi birokrasi yang konkret bukan wacana lagi. Pengawasan yang ketat dan pembangunan sistem yang transparan menjadi kunci bebasnya korupsi. Para oknum pejabat melakukan korupsi karena ada kesempatan yang terbuka lebar.

Tata kelola BUMN akan terus menjadi sorotan karena masih adanya petinggi dan karyawan di perusahaan-perusahaan pelat merah yang terlibat kasus korupsi. Fenomena di beberapa BUMN yang terjerat kasus korupsi, seharusnya menjadi perhatian dari negara sebagai pemegang saham untuk meningkatkan perbaikan manajemen. Masyarakat tentu bertanya-tanya mengapa korupsi masih terjadi di BUMN, padahal KPK sudah sejak lama mendorong BUMN agar berintegritas. Satu di antaranya melalui penerapan good corporate governance (GCG). Perlu dilakukan evaluasi internal apakah prinsip GCG sudah diterapkan secara maksimal di BUMN. Apalagi, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).

Dalam peraturan itu, salah satu fokusnya adalah penerapan sistem manajemen antisuap, baik di pemerintahan maupun sektor swasta termasuk BUMN. Mengutip catatan Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK dari tahun 2004 hingga 2018, telah terjadi 887 kasus tindak pidana korupsi menurut instansi. Instansi yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi yakni kementerian atau lembaga (321 kasus). Kemudian, disusul oleh pemerintah kabupaten atau kota sebanyak 295 kasus, dan BUMN/BUMD sebanyak 56 kasus. Sementara instansi yang paling sedikit, yakni komisi sebanyak 20 kasus. Memang jumlah kasus korupsi di BUMN tak begitu besar dibandingkan dengan lembaga lain. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak perlu mendapat perhatian khusus. BUMN harus dijauhkan dari korupsi jika ingin berkembang menjadi perusahaan global.

Salah satunya, sistem pemilihan atau penunjukan direksi BUMN perlu diperbaiki. Pola rekrutmen saat ini terkesan sekadar memenuhi formalitas prosedur karena seluruh tahapan dilakukan dengan tertutup, tidak transparan kepada publik. Pemilihan yang transparan akan mendorong memperoleh calon pemimpin BUMN yang kredibel. Apalagi , banyak Direksi BUMN yang hanya bertukar posisi yang berpotensi membentuk oligarki BUMN.

Oligarki tersebut berpotensi menjelma menjadi jejaring oknum yang ingin mengambil keuntungan di BUMN dengan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Di sisi lain, BUMN juga harus dijauhkan dari kepentingan politik kelompok tertentu. BUMN harus berani menolak calon titipan yang tidak punya kecakapan untuk mengurus BUMN. Karena lembaga bisnis, pengelolaannya tetap harus profesional.

Adapun dari sisi penegakan hukum, juga harus tegas dan tidak pandang bulu. Yang terpenting adalah bagaimana menghukum para oknum pejabat ini dengan hukuman yang tinggi dan juga bagaimana menarik uang negara yang telah di korupsi. Hukuman yang tinggi akan mampu menimbulkan efek jera. Sementara saat ini, kita melihat para aparat hukum masih setengah hati dalam menegakkan hukum sehingga sangat wajar bila para oknum pejabat masih berani korupsi.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5379 seconds (0.1#10.140)