Pemerintah Diminta Bangun Sistem Internal Pencegahan Korupsi

Sabtu, 27 Juli 2019 - 07:08 WIB
Pemerintah Diminta Bangun Sistem Internal Pencegahan Korupsi
Pemerintah Diminta Bangun Sistem Internal Pencegahan Korupsi
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai sangat dibutuhkan keterpaduan dan konsistensi tindakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk pencegahan korupsi. Hal itu bertujuan untuk mengantisipasi terulangnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan para kepala daerah, pejabat daerah, hingga DPRD di seluruh daerah.

Berdasarkan data penanganan kasus (perkara) korupsi yang ditangani KPK kurun 2004 hingga Juli 2019, ada total 108 orang kepala daerah yang menjadi 'pasien' KPK. Teranyar adalah tersangka penerima suap dan gratifikasi Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) nonaktif sekaligus Ketua DPW Partai Nasdem Provinsi Kepri (telah dicopot) Nurdin Basirun. Dari sisi pelaku DPRD dan DPR, sepanjang 2004 hingga 2018 ada total 274 orang.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ali Munhanif mengatakan data tersebut menunjukkan korupsi yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia memang sangat luar biasa. Dengan data tersebut juga dapat dilihat bahwa meskipun indeks demokrasi di Indonesia semakin membaik, tapi indeks untuk membangun good governance semakin memburuk.

Karenanya bisa disimpulkan juga belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah daerah memiliki sistem pencegahan dan penanggulangan korupsi yang sepadan dengan harapan rakyat.

"Menurut saya, harus ada mekanisme internal pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang betul-betul bekerja untuk antikorupsi. Sistem itu harus dibarengi law enforcement yang tegas, dari level atas sampai bawahan yang memiliki komitmen gerakan emoh korupsi. Ini juga harus konsisten dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tidak sekadar komitmen," ujar Ali kepada KORAN SINDO, Jumat (26/7/2019).

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menggariskan, pola korupsi memang bervariasi pada setiap level pemerintahan. Tapi tampaknya tetap memiliki alur yang sama yakni melibatkan pihak swasta, bekerja sama dengan aktor di pemerintahan dan legislatif.

Di semua level pemerintahan baik pusat maupun daerah sangat diperlukan sebuah sistem internal yang mendorong tumbuhnya mentalitas bahwa korupsi adalah dosa kriminal tidak termaafkan secara sosial. "Sebuah budaya emoh korupsi yang terbangun secara gradual, dari unit terkecil kantor hingga sistem pengawasan pemerintahan secara nasional," tegasnya.

Ali memaparkan, keterpaduan pelaksanaan sistem dan mekanisme pencegahan dan penindakan juga harus benar-benar berorientasi pada efek jera pelaku korupsi. Dengan begitu, besar harapan semua pihak nantinya akan tumbuhnya budaya good governance.

Dia mengungkapkan, efek jera bisa mengambil bentuk macam-macam. Dari upaya membuat hukuman paling berat hingga menampilkan rasa malu koruptor dan menjadikan korupsi sebagai stigma sosial yang menghancurkan nama baik.

"Di sejumlah negara bentuk-bentuk stigmatisasi sudah berjalan. Yang paling mencolok adalah Jepang dan Korea. Dua negara ini menerapkan hukuman dan pencegahan korupsi dengan cara mendorong masyarakat untuk secara moral menghukum pelaku korupsi merasa bersalah seumur hidup. Bahkan hingga mengisolasi kehidupan mereka," bebernya.

Dia menegaskan, mekanisme internal semacam itulah yang bisa menjadi penghalang seseorang melakukan korupsi, seseorang tidak akan mengajak atau melibatkan orang lain atau tidak akan membagi-bagikan hasil korupsi kepada bawahan. Bahkan dengan pola pencegahan dan penindakan yang seperti itu pula maka tidak pernah lagi ada korupsi dilakukan dengan cara berjamaah.

"Secara sosial korupsi memang sangat hina dan menistakan. Nah sudah seharusnya menumbuhkan stigma semacam itulah yang harus menjadi sistem internal untuk good governance kita," ungkapnya.

Bagi Ali, korupsi harus dicegah dengan cara yang luar biasa dan keluar dari pakem yang ada selama ini. Karena dengan korupsi yang terjadi di Indonesia telah merusak mentalitas budaya pemerintahan dan menghancurkan ketahanan negara.

"Ancaman yang ditumbulkan dari korupsi, dalam jangka panjang, punya potensi yang lebih menghancurkan dari pada ancaman kriminalitas apapun," ucapnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6152 seconds (0.1#10.140)