Mengembangkan Wisata Bahari Kerakyatan
A
A
A
Muhamad Karim Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim,
Dosen Universitas Trilogi Jakarta
BARU-baru ini Presiden Jokowi telah menyambangi dua destinasi wisata bahari Indonesia kaliber internasional, yaitu Bunaken dan Labuan Bajo. Kunjungan pada kedua lokasi tersebut hendak mengetahui langsung bagaimana kondisi riil dan apa yang mesti dipersiapkan supaya kedua destinasi tersebut lebih banyak menarik wisatawan mancanegara. Hal pokok dari momen tersebut ialah wisata bahari bakal jadi prioritas memperkuat visi poros maritim dunia, meskipun dalam pidato kemenangnnya pada 14 Juli 2019 di Bogor Jokowi tak menyinggungnya.
Wisata bahari tetap akan jadi prioritas devisa negara, meski ada soal yang mengusik kehidupan warga di balik masifnya pengembangan wisata bahari. Di antaranya, kasus perampasan Pulau Pari pada 2017 oleh korporasi dengan cara mengusir masyarakat lokal demi pengembangan pariwisata dengan dalih telah memiliki sertifikat dan izin usaha bisnis. Padahal, masyarakat lokal telah mendiaminya sebelum Indonesia merdeka. Kondisi ini mengisyaratkan adanya perampasan sumber daya dan ruang dalam bisnis wisata bahari. Presiden Jokowi mesti memperhatikan soal ini sebab jangan sampai bisnis wisata bahari justru mengorbankan masyarakat lokal.
Keunggulan
Pariwisata adalah salah satu sektor penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Hingga 2019 sektor ini berkontribusi terhadap PDB nasional 15% dan meraup devisa Rp275 triliun. Salah satu potensinya adalah wisata bahari. Wisata bahari baru mampu menyumbang devisa sektor pariwisata USD1 miliar. Nilai ini masih lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mampu meraup devisa hingga 40% dengan nilai USD8 miliar.
Padahal, Indonesia memiliki 33 destinasi wisata bahari yang jumlahnya tiga kali lipat dibandingkan Malaysia yang hanya 11. Keunggulannya, Indonesia memiliki kawasan pesisir dan laut yang ideal buat aktivitas wisata bahari di antaranya berjemur, berenang, menyelam, snorkeling, memancing, surfing, boating, yachting, parasailing, cruising, marine parks, dan whale watching.
Di samping itu, Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia (coral triangle ) dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi di antaranya 590 jenis karang, 2.057 jenis ikan karang, 12 jenis lamun, 34 jenis mangrove, 1.512 jenis krustasea, 6 jenis penyu, 850 jenis sponge, 24 jenis mamalia laut. Letak geografi Indonesia juga amat mendukung karena berada daerah tropis dengan iklim yang hangat dan matahari bersinar sepanjang tahun.
Potensi geografi ini juga menjadi keunggulan lain dari wisata bahari, khususnya buat aktivitas scientific diving, konservasi, pendidikan, dan fotografi bawah air. Semua, kekayaan alam ini mesti diberdayakan agar meningkatkan devisa negara dan menyediakan lapangan kerja baru. Namun, pemberdayaannya mesti mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya hingga menjamin kehidupan masyarakat lokal.
Alternatif
Wisata bahari menjadi skala prioritas ekonomi untuk meraup devisa negara. Pasalnya, Indonesia memiliki destinasi wisata bahari kelas dunia, di antaranya Pulau Bali, Taman Laut Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Riung Tujuh, Labuhan Bajo, Pulau Komodo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia pada 2018 berjumlah 15,81 juta, meningkat 12,63% dibandingkan pada 2017 sebesar 14,04 juta. Pesatnya perkembangan ini malah menimbulkan problem struktural maupun kultural.
Pertama, maraknya perampasan ruang laut, pesisir, dan pulau kecil akibat pengembangan industri pariwisata yang mengabaikan masyarakat lokal, contohnya kasus Pulau Pari di Teluk Jakarta. Kedua, adanya penguasaan eksklusif pulau-pulau kecil di Indonesia oleh warga negara asing dengan dalih investasi berlabelkan adopsi pulau. Ini bermula dari kebijakan pemerintah yang menawarkan 31 pulau kecil pada pihak asing. Hasilnya 19 pulau kecil telah dikelola asing dan membatasi akses masyarakat lokal (Kiara, 2015).
Ketiga, tingginya pencemaran lingkungan laut dan pesisir akibat tindakan wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan sehingga mengancam kehidupan fauna dan flora laut jenis mamalia seperti ikan paus, duyung, lumba-lumba, penyu, dan ekosistem terumbu karang. Keempat , minimnya keterlibatan masyarakat sebagai pelaku industri wisata bahari. Imbasnya kepentingan akumulasi kapital lebih dominan ketimbang keberlanjutan sumber daya, ekosistem, dan menjamin kearifan lokal masyarakatnya.
Mengatasi problem ini diperlukan pendekatan alternatif yang tidak menghambat industri wisata bahari dan antiasing. Sebaliknya, membutuhkan keadilan ekonomi dan ekologi sehingga mengurangi hegemoni korporasi dalam mengelola wisata bahari. Model pendekatannya disebut degrowth yaitu proses kolektif dan deliberatif dalam mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa yang menjadi prinsip dalam organisasi kehidupan manusia (Schneider et al , 2013).
Memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi sehingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003). Secara ekologi-ekonomi, ia menjamin keberlanjutan sosial dan mencegah ketidakadilan (Kallis, 2010). Andriotik (2009) menyatakan bahwa konsep ini telah diadopsi dan dikembangkan untuk mengelola wisata yang memosisikan masyarakat lokal sebagai pelaku utamanya. Lebih tepat disebut wisata bahari berbasis kerakyatan. Tujuannya, memaksimalkan kesejahteraan, bukan sekadar akumulasi kapital semata.
Pendekatannya, pertama, pengembangan wisata bahari sebaiknya berorientasi dan menitikberatkan aktivitas padat karya (labour intensive) ketimbang padat modal (capital intesive). Usaha wisata bahari diharapkan mengurangi pengangguran lewat penyediaan dan penyerapan tenaga kerja baru. Imbasnya, masyarakat lokal Wakatobi, Raja Ampat, Labuan Bajo, Bunaken, Kepulauan Seribu, dan pulau kecil NTB bekerja dari jasa wisata bahari. Mereka tak perlu lagi jadi tenaga kerja di luar negeri.
Kedua, kepemilikan akses maupun aset serta kontrol terhadap sumber daya wisata bahari mengedepankan masyarakat lokal (endogen) ketimbang korporasi, apalagi asing (eksogen) yang kerap menutup akses mereka. Artinya, prinsip kolektif-deliberatif dan pengelolaan partisipatif berbasiskan masyarakat lokal lebih diutamakan ketimbang pihak luar. Hal ini bakal mendorong inovasi dan kreasi masyarakat lokal untuk menjadi tuan di negeri sendiri. Apalagi didukung sistem digital sehingga akan menyejahterakan hidupnya secara berkualitas dan menciptakan keadilan distribusi ruang, sumber daya maupun sosial.
Ketiga, dikarenakan pendekatan degrowth berorientasi padat karya, pengembangan usaha wisatanya berskala usaha kecil dan menengah ketimbang usaha besar. Model kelembagaannya ialah usaha kecil (termasuk BUMDes), menengah, dan koperasi. Peran negara ialah menyediakan skema permodalan dan kebijakan afirmatif (insentif pajak, perizinan dan pelatihan SDM profesional) sehingga memperkuat kapasitas sumber daya manusianya di level lokal untuk mengelola wisata bahari.
Keempat, pengembangannya tidak bersifat massal, melainkan peka terhadap sumber daya lokal dan tidak menimbulkan dampak destruktif terhadap lingkungan, masyarakat lokal, dan budayanya tanpa mengurangi nilai manfaat ekonominya. Pasalnya, pengembangan massal akan menyulitkan untuk mengontrol dan mengawasi tindakan destruktif. Umpamanya, perilaku membuang sampah plastik sembarangan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang karena banyak orang yang beraktivitas.
Kelima, pengembangan wisata bahari bergaya hidup unik yang dicirikan rasa kekeluargaan, persaudaraan, dan kolektivisme sehingga ada interaksi sosial dengan masyarakat lokal/adat. Umpamanya, wisman yang sadar ekologi senang dengan kehidupan alami dan menyelami cara hidup, kuliner, dan budaya masyarakat lokal. Artinya, infrastruktur wisatanya seperti resor-resor menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat lokal tanpa mengubah bentang alam dan merusak ekosistem.
Keenam, model ini bersifat demokrasi deliberatif yang mengutamakan partisipasi masyarakat dengan budayanya dalam pengambilan keputusan untuk mengelola wisata bahari. Di Indonesia, kita temukan dalam kasus pengelolaan perikanan Sasi di Maluku, Mane’e di Talaud, Sulawesi Utara, Panglima Laot di Aceh, Awig-awig di Bali dan NTB. Masalahnya, itu belum menjadi bagian objek wisata bahari yang rutin.
Pengelolaan wisata bahari yang melibatkan masyarakat lokal secara kelembagaan bisa ditemukan pada desa-desa adat pesisir di Bali. Apakah model ini dapat diaplikasikan dalam konteks yang bukan bersifat adat maupun budaya? Sangat mungkin, asalkan ada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah memosisikan wisata bahari tidak hanya berorientasi korporatisme semata, melainkan juga melibatkan masyarakat lokal dan adat.
Pendekatan wisata bahari berbasis kerakyatan merupakan antitesis dari model kapitalistik-eksploitatif yang meminggirkan masyarakat lokal seperti kasus Pulau Pari, Teluk Jakarta. Pendekatan ini cocok diterapkan di daerah yang masih asli (virgin), termasuk kawasan konservasi laut. Lewat pendekatan ini diharapkan wisata bahari mampu memberikan dampak bagi pengembangan ekonomi dan pendapatan asli daerah berbasis kepulauan, mengurangi pengangguran, menyediakan lapangan kerja baru serta menekan degradasi sumber daya alam secara ekologis.
Dosen Universitas Trilogi Jakarta
BARU-baru ini Presiden Jokowi telah menyambangi dua destinasi wisata bahari Indonesia kaliber internasional, yaitu Bunaken dan Labuan Bajo. Kunjungan pada kedua lokasi tersebut hendak mengetahui langsung bagaimana kondisi riil dan apa yang mesti dipersiapkan supaya kedua destinasi tersebut lebih banyak menarik wisatawan mancanegara. Hal pokok dari momen tersebut ialah wisata bahari bakal jadi prioritas memperkuat visi poros maritim dunia, meskipun dalam pidato kemenangnnya pada 14 Juli 2019 di Bogor Jokowi tak menyinggungnya.
Wisata bahari tetap akan jadi prioritas devisa negara, meski ada soal yang mengusik kehidupan warga di balik masifnya pengembangan wisata bahari. Di antaranya, kasus perampasan Pulau Pari pada 2017 oleh korporasi dengan cara mengusir masyarakat lokal demi pengembangan pariwisata dengan dalih telah memiliki sertifikat dan izin usaha bisnis. Padahal, masyarakat lokal telah mendiaminya sebelum Indonesia merdeka. Kondisi ini mengisyaratkan adanya perampasan sumber daya dan ruang dalam bisnis wisata bahari. Presiden Jokowi mesti memperhatikan soal ini sebab jangan sampai bisnis wisata bahari justru mengorbankan masyarakat lokal.
Keunggulan
Pariwisata adalah salah satu sektor penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Hingga 2019 sektor ini berkontribusi terhadap PDB nasional 15% dan meraup devisa Rp275 triliun. Salah satu potensinya adalah wisata bahari. Wisata bahari baru mampu menyumbang devisa sektor pariwisata USD1 miliar. Nilai ini masih lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mampu meraup devisa hingga 40% dengan nilai USD8 miliar.
Padahal, Indonesia memiliki 33 destinasi wisata bahari yang jumlahnya tiga kali lipat dibandingkan Malaysia yang hanya 11. Keunggulannya, Indonesia memiliki kawasan pesisir dan laut yang ideal buat aktivitas wisata bahari di antaranya berjemur, berenang, menyelam, snorkeling, memancing, surfing, boating, yachting, parasailing, cruising, marine parks, dan whale watching.
Di samping itu, Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia (coral triangle ) dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi di antaranya 590 jenis karang, 2.057 jenis ikan karang, 12 jenis lamun, 34 jenis mangrove, 1.512 jenis krustasea, 6 jenis penyu, 850 jenis sponge, 24 jenis mamalia laut. Letak geografi Indonesia juga amat mendukung karena berada daerah tropis dengan iklim yang hangat dan matahari bersinar sepanjang tahun.
Potensi geografi ini juga menjadi keunggulan lain dari wisata bahari, khususnya buat aktivitas scientific diving, konservasi, pendidikan, dan fotografi bawah air. Semua, kekayaan alam ini mesti diberdayakan agar meningkatkan devisa negara dan menyediakan lapangan kerja baru. Namun, pemberdayaannya mesti mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya hingga menjamin kehidupan masyarakat lokal.
Alternatif
Wisata bahari menjadi skala prioritas ekonomi untuk meraup devisa negara. Pasalnya, Indonesia memiliki destinasi wisata bahari kelas dunia, di antaranya Pulau Bali, Taman Laut Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Riung Tujuh, Labuhan Bajo, Pulau Komodo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia pada 2018 berjumlah 15,81 juta, meningkat 12,63% dibandingkan pada 2017 sebesar 14,04 juta. Pesatnya perkembangan ini malah menimbulkan problem struktural maupun kultural.
Pertama, maraknya perampasan ruang laut, pesisir, dan pulau kecil akibat pengembangan industri pariwisata yang mengabaikan masyarakat lokal, contohnya kasus Pulau Pari di Teluk Jakarta. Kedua, adanya penguasaan eksklusif pulau-pulau kecil di Indonesia oleh warga negara asing dengan dalih investasi berlabelkan adopsi pulau. Ini bermula dari kebijakan pemerintah yang menawarkan 31 pulau kecil pada pihak asing. Hasilnya 19 pulau kecil telah dikelola asing dan membatasi akses masyarakat lokal (Kiara, 2015).
Ketiga, tingginya pencemaran lingkungan laut dan pesisir akibat tindakan wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan sehingga mengancam kehidupan fauna dan flora laut jenis mamalia seperti ikan paus, duyung, lumba-lumba, penyu, dan ekosistem terumbu karang. Keempat , minimnya keterlibatan masyarakat sebagai pelaku industri wisata bahari. Imbasnya kepentingan akumulasi kapital lebih dominan ketimbang keberlanjutan sumber daya, ekosistem, dan menjamin kearifan lokal masyarakatnya.
Mengatasi problem ini diperlukan pendekatan alternatif yang tidak menghambat industri wisata bahari dan antiasing. Sebaliknya, membutuhkan keadilan ekonomi dan ekologi sehingga mengurangi hegemoni korporasi dalam mengelola wisata bahari. Model pendekatannya disebut degrowth yaitu proses kolektif dan deliberatif dalam mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa yang menjadi prinsip dalam organisasi kehidupan manusia (Schneider et al , 2013).
Memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi sehingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003). Secara ekologi-ekonomi, ia menjamin keberlanjutan sosial dan mencegah ketidakadilan (Kallis, 2010). Andriotik (2009) menyatakan bahwa konsep ini telah diadopsi dan dikembangkan untuk mengelola wisata yang memosisikan masyarakat lokal sebagai pelaku utamanya. Lebih tepat disebut wisata bahari berbasis kerakyatan. Tujuannya, memaksimalkan kesejahteraan, bukan sekadar akumulasi kapital semata.
Pendekatannya, pertama, pengembangan wisata bahari sebaiknya berorientasi dan menitikberatkan aktivitas padat karya (labour intensive) ketimbang padat modal (capital intesive). Usaha wisata bahari diharapkan mengurangi pengangguran lewat penyediaan dan penyerapan tenaga kerja baru. Imbasnya, masyarakat lokal Wakatobi, Raja Ampat, Labuan Bajo, Bunaken, Kepulauan Seribu, dan pulau kecil NTB bekerja dari jasa wisata bahari. Mereka tak perlu lagi jadi tenaga kerja di luar negeri.
Kedua, kepemilikan akses maupun aset serta kontrol terhadap sumber daya wisata bahari mengedepankan masyarakat lokal (endogen) ketimbang korporasi, apalagi asing (eksogen) yang kerap menutup akses mereka. Artinya, prinsip kolektif-deliberatif dan pengelolaan partisipatif berbasiskan masyarakat lokal lebih diutamakan ketimbang pihak luar. Hal ini bakal mendorong inovasi dan kreasi masyarakat lokal untuk menjadi tuan di negeri sendiri. Apalagi didukung sistem digital sehingga akan menyejahterakan hidupnya secara berkualitas dan menciptakan keadilan distribusi ruang, sumber daya maupun sosial.
Ketiga, dikarenakan pendekatan degrowth berorientasi padat karya, pengembangan usaha wisatanya berskala usaha kecil dan menengah ketimbang usaha besar. Model kelembagaannya ialah usaha kecil (termasuk BUMDes), menengah, dan koperasi. Peran negara ialah menyediakan skema permodalan dan kebijakan afirmatif (insentif pajak, perizinan dan pelatihan SDM profesional) sehingga memperkuat kapasitas sumber daya manusianya di level lokal untuk mengelola wisata bahari.
Keempat, pengembangannya tidak bersifat massal, melainkan peka terhadap sumber daya lokal dan tidak menimbulkan dampak destruktif terhadap lingkungan, masyarakat lokal, dan budayanya tanpa mengurangi nilai manfaat ekonominya. Pasalnya, pengembangan massal akan menyulitkan untuk mengontrol dan mengawasi tindakan destruktif. Umpamanya, perilaku membuang sampah plastik sembarangan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang karena banyak orang yang beraktivitas.
Kelima, pengembangan wisata bahari bergaya hidup unik yang dicirikan rasa kekeluargaan, persaudaraan, dan kolektivisme sehingga ada interaksi sosial dengan masyarakat lokal/adat. Umpamanya, wisman yang sadar ekologi senang dengan kehidupan alami dan menyelami cara hidup, kuliner, dan budaya masyarakat lokal. Artinya, infrastruktur wisatanya seperti resor-resor menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat lokal tanpa mengubah bentang alam dan merusak ekosistem.
Keenam, model ini bersifat demokrasi deliberatif yang mengutamakan partisipasi masyarakat dengan budayanya dalam pengambilan keputusan untuk mengelola wisata bahari. Di Indonesia, kita temukan dalam kasus pengelolaan perikanan Sasi di Maluku, Mane’e di Talaud, Sulawesi Utara, Panglima Laot di Aceh, Awig-awig di Bali dan NTB. Masalahnya, itu belum menjadi bagian objek wisata bahari yang rutin.
Pengelolaan wisata bahari yang melibatkan masyarakat lokal secara kelembagaan bisa ditemukan pada desa-desa adat pesisir di Bali. Apakah model ini dapat diaplikasikan dalam konteks yang bukan bersifat adat maupun budaya? Sangat mungkin, asalkan ada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah memosisikan wisata bahari tidak hanya berorientasi korporatisme semata, melainkan juga melibatkan masyarakat lokal dan adat.
Pendekatan wisata bahari berbasis kerakyatan merupakan antitesis dari model kapitalistik-eksploitatif yang meminggirkan masyarakat lokal seperti kasus Pulau Pari, Teluk Jakarta. Pendekatan ini cocok diterapkan di daerah yang masih asli (virgin), termasuk kawasan konservasi laut. Lewat pendekatan ini diharapkan wisata bahari mampu memberikan dampak bagi pengembangan ekonomi dan pendapatan asli daerah berbasis kepulauan, mengurangi pengangguran, menyediakan lapangan kerja baru serta menekan degradasi sumber daya alam secara ekologis.
(kri)