Menguatkan Karakter Budaya Milenial
A
A
A
Momentum Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) memperkuat premis bahwa mengelola kaum milenial membutuhkan pola pikir berbeda yang keluar dari kotak biasa.
Penguatan karakter bangsa menjadi salah satu amanah Undang-Undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Karena itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat mengutamakan pembudayaan penanaman karakter di dalam pemajuan kebudayaan. Bung Karno mendefinisikan karakter ini dalam Trisaktinya sebagai “berkepribadian dalam berkebudayaan Indonesia".
Penguatan karakter bangsa tersebut dijalankan pemerintah dengan memberdayakan keberagaman objek pemajuan kebudayaan dan sifat inklusif-keterbukaan dari kebudayaan. Itu juga dilakukan melalui upaya regenerasi dan kaderisasi pelaku budaya yang ditopang oleh peningkatan relevansi khazanah budaya dalam menjawab tantangan zaman.
Kemah Budaya Kaum Mudayang dilangsungkan di Kawasan Candi Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 21–25 Juli 2019, boleh jadi merupakan momentum tepat untuk upaya memupuk karakter berkepribadian di kalangan kaum muda milenial tersebut. Mereka mesti diposisikan sebagai pelaku berkepribadian dalam segenap upaya pemajuan kebudayaan, disertai dengan tampilnya para tokoh teladan di seluruh jenjang kehidupan masyarakat yang akan menjadi panutan para kawula muda milenial itu.
Mereka tak hanya didorong aktif memberikan apresiasi pada budaya bangsa sendiri, menjaga dan melestarikan warisan kekayaannya, serta menghormati keragaman budaya, suku, dan agama, melainkan mereka juga perlu ditanamkan karakter cinta Tanah Air, rela berkorban, jiwa unggul dan berdaya saing, berprestasi, gotong-royong, jujur, sabar, teliti, taat hukum, dan berdisiplin, serta religius.
Nilai-nilai tadi memang seolah tampak abstrak bagi sebagian generasi muda. Itu sebabnya, dalam Kemah Budaya Kaum Muda yang diselenggarakan Kemendikbud, mereka diberi gambaran riil sejumlah karakter yang harus mereka miliki melalui proses yang mesti mereka ikuti dengan sabar, jujur, teliti, dan berdisiplin. Mereka nanti akan bercermin dengan karakter para tokoh panutan di mana pun mereka berdomisili di jagat negeri ini.
Untuk bisa mendaftar sebagai peserta Kemah Budaya Kaum Muda misalnya, mula-mula mereka harus membentuk sebuah tim kelompok, terdiri atas 3–5 orang. Mereka tak bisa mendaftar sendirian, meski boleh jadi memiliki ide orisinal pemajuan kebudayaan. Di sini, mereka ditanamkan jiwa kerja sama, rela berkorban, suka gotong-royong, jujur, dan berdisiplin.
Selanjutnya, mereka mesti bersabar mengikuti seleksi unggulan. Ini tak mudah, karena kelompok tim yang mendaftar jumlahnya ratusan. Setelah terseleksi dan berhasil masuk di antara 130 kelompok terpilih, mereka masih harus mengikuti proses penajaman gambaran ide dan inisiatif kelompok tim terkait pemajuan kebudayaan, untuk dituangkan menjadi proposal.
Pada tahap ini, mereka akan memiliki proposal inisiatif pemajuan kebudayaan yang telah dipertajam melalui proses diskusi dengan fasilitator yang disediakan panitia. Proposal ini selanjutnya harus mereka perjuangkan di arena kegiatan kemah di Prambanan, agar mereka bisa lolos masuk 12 kelompok terpilih dengan kriteria memiliki ide dan inisiatif terbaik.
Pasca-kemah hingga awal Desember, 12 kelompok terpilih harus sudah memiliki proposal rinci dan kanvas bisnis pemajuan kebudayaan, disertai model proyeknya. Setiap kelompok kemudian akan masuk inkubasi, diberi dana fasilitasi dan pendampingan fasilitator untuk mewujudkan rencananya dalam proposal agar menghasilkan purwarupa, bahkan sekaligus aktivasi.
Melalui Kemah Budaya di Kawasan Prambanan, proses kerja di atas, yang merupakan bagian dari budaya kerja milenial, secara tak langsung diperkenalkan kepada kaum muda. Budaya kerja yang diperkenalkan itu tak jauh berbeda dari budaya kerja usaha startup (virtual business) yang selalu bermula dari pematangan ide hingga berbentuk purwarupa, inisiasi, dan aktivasi.
Budaya seperti itu sangat dicari oleh para milenial, sebagai opsi selain bekerja di startup sebenarnya untuk menikmati semua benefit yang tersedia. Dan budaya kerja milenial tersebut, jika dijiwai dengan cinta Tanah Air, rela berkorban, jujur, taat hukum, dan berdisiplin, akan melahirkan pelaku-pelaku budaya masa depan yang menjanjikan.
Kita memang menaruh tumpuan besar kepada kaum muda milenial dalam upaya-upaya memajukan kebudayaan. Jumlah mereka sangat besar. Menurut Biro Pusat Statistik, pada 2018 jumlah penduduk Indonesia 265 juta jiwa. Dari jumlah ini, seperlimanya berusia milenial. Mereka akan memberi bonus demografi lebih besar lagi pada 2045, pada usia seabad Indonesia.
Chris Tuff dalam buku terbarunya The Millennial Whisperer berpendapat, generasi milenial akan menjadi salah satu generasi paling efektif, transformatif, dan inovatif, yang pernah kita lihat di tempat kerja. Menurut dia, mereka akan menjadi pemimpin luar biasa. Namun, kita harus mengambil tindakan dalam menciptakan lingkungan, di mana mereka dapat benar-benar unggul.
Dengan tegas dia menyanggah beberapa mitos umum yang lebih negatif tentang kaum milenial, seperti budaya malas dan narsisme mereka, dengan mengutip hasil penelitian dan pengamatannya sendiri secara langsung. Sikap mereka tak lain wujud dari lima karakteristik yang umum mereka miliki, yaitu gemar teknologi (tech savvy), senang menerima masukan, tak sabaran, kreatif, inovatif, progresif, dan berjiwa pengusaha.
Apa yang dilakukan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud melalui Kemah Budaya Kaum Muda sudah sejalan dengan saran Tuff agar kita menempatkan dan menyikapi kaum milenial lebih proporsional. Misalnya, mendorong mereka untuk berjiwa wirausaha dengan menyediakan program inkubator bisnis. Kemah Budaya Kaum Muda memperkuat premis Tuff bahwa mengelola kaum milenial membutuhkan pola pikir berbeda, yang sejatinya keluar dari kotak berpikir yang unggul dan andal (out of the box). Demikian adanya.
Penguatan karakter bangsa menjadi salah satu amanah Undang-Undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Karena itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat mengutamakan pembudayaan penanaman karakter di dalam pemajuan kebudayaan. Bung Karno mendefinisikan karakter ini dalam Trisaktinya sebagai “berkepribadian dalam berkebudayaan Indonesia".
Penguatan karakter bangsa tersebut dijalankan pemerintah dengan memberdayakan keberagaman objek pemajuan kebudayaan dan sifat inklusif-keterbukaan dari kebudayaan. Itu juga dilakukan melalui upaya regenerasi dan kaderisasi pelaku budaya yang ditopang oleh peningkatan relevansi khazanah budaya dalam menjawab tantangan zaman.
Kemah Budaya Kaum Mudayang dilangsungkan di Kawasan Candi Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 21–25 Juli 2019, boleh jadi merupakan momentum tepat untuk upaya memupuk karakter berkepribadian di kalangan kaum muda milenial tersebut. Mereka mesti diposisikan sebagai pelaku berkepribadian dalam segenap upaya pemajuan kebudayaan, disertai dengan tampilnya para tokoh teladan di seluruh jenjang kehidupan masyarakat yang akan menjadi panutan para kawula muda milenial itu.
Mereka tak hanya didorong aktif memberikan apresiasi pada budaya bangsa sendiri, menjaga dan melestarikan warisan kekayaannya, serta menghormati keragaman budaya, suku, dan agama, melainkan mereka juga perlu ditanamkan karakter cinta Tanah Air, rela berkorban, jiwa unggul dan berdaya saing, berprestasi, gotong-royong, jujur, sabar, teliti, taat hukum, dan berdisiplin, serta religius.
Nilai-nilai tadi memang seolah tampak abstrak bagi sebagian generasi muda. Itu sebabnya, dalam Kemah Budaya Kaum Muda yang diselenggarakan Kemendikbud, mereka diberi gambaran riil sejumlah karakter yang harus mereka miliki melalui proses yang mesti mereka ikuti dengan sabar, jujur, teliti, dan berdisiplin. Mereka nanti akan bercermin dengan karakter para tokoh panutan di mana pun mereka berdomisili di jagat negeri ini.
Untuk bisa mendaftar sebagai peserta Kemah Budaya Kaum Muda misalnya, mula-mula mereka harus membentuk sebuah tim kelompok, terdiri atas 3–5 orang. Mereka tak bisa mendaftar sendirian, meski boleh jadi memiliki ide orisinal pemajuan kebudayaan. Di sini, mereka ditanamkan jiwa kerja sama, rela berkorban, suka gotong-royong, jujur, dan berdisiplin.
Selanjutnya, mereka mesti bersabar mengikuti seleksi unggulan. Ini tak mudah, karena kelompok tim yang mendaftar jumlahnya ratusan. Setelah terseleksi dan berhasil masuk di antara 130 kelompok terpilih, mereka masih harus mengikuti proses penajaman gambaran ide dan inisiatif kelompok tim terkait pemajuan kebudayaan, untuk dituangkan menjadi proposal.
Pada tahap ini, mereka akan memiliki proposal inisiatif pemajuan kebudayaan yang telah dipertajam melalui proses diskusi dengan fasilitator yang disediakan panitia. Proposal ini selanjutnya harus mereka perjuangkan di arena kegiatan kemah di Prambanan, agar mereka bisa lolos masuk 12 kelompok terpilih dengan kriteria memiliki ide dan inisiatif terbaik.
Pasca-kemah hingga awal Desember, 12 kelompok terpilih harus sudah memiliki proposal rinci dan kanvas bisnis pemajuan kebudayaan, disertai model proyeknya. Setiap kelompok kemudian akan masuk inkubasi, diberi dana fasilitasi dan pendampingan fasilitator untuk mewujudkan rencananya dalam proposal agar menghasilkan purwarupa, bahkan sekaligus aktivasi.
Melalui Kemah Budaya di Kawasan Prambanan, proses kerja di atas, yang merupakan bagian dari budaya kerja milenial, secara tak langsung diperkenalkan kepada kaum muda. Budaya kerja yang diperkenalkan itu tak jauh berbeda dari budaya kerja usaha startup (virtual business) yang selalu bermula dari pematangan ide hingga berbentuk purwarupa, inisiasi, dan aktivasi.
Budaya seperti itu sangat dicari oleh para milenial, sebagai opsi selain bekerja di startup sebenarnya untuk menikmati semua benefit yang tersedia. Dan budaya kerja milenial tersebut, jika dijiwai dengan cinta Tanah Air, rela berkorban, jujur, taat hukum, dan berdisiplin, akan melahirkan pelaku-pelaku budaya masa depan yang menjanjikan.
Kita memang menaruh tumpuan besar kepada kaum muda milenial dalam upaya-upaya memajukan kebudayaan. Jumlah mereka sangat besar. Menurut Biro Pusat Statistik, pada 2018 jumlah penduduk Indonesia 265 juta jiwa. Dari jumlah ini, seperlimanya berusia milenial. Mereka akan memberi bonus demografi lebih besar lagi pada 2045, pada usia seabad Indonesia.
Chris Tuff dalam buku terbarunya The Millennial Whisperer berpendapat, generasi milenial akan menjadi salah satu generasi paling efektif, transformatif, dan inovatif, yang pernah kita lihat di tempat kerja. Menurut dia, mereka akan menjadi pemimpin luar biasa. Namun, kita harus mengambil tindakan dalam menciptakan lingkungan, di mana mereka dapat benar-benar unggul.
Dengan tegas dia menyanggah beberapa mitos umum yang lebih negatif tentang kaum milenial, seperti budaya malas dan narsisme mereka, dengan mengutip hasil penelitian dan pengamatannya sendiri secara langsung. Sikap mereka tak lain wujud dari lima karakteristik yang umum mereka miliki, yaitu gemar teknologi (tech savvy), senang menerima masukan, tak sabaran, kreatif, inovatif, progresif, dan berjiwa pengusaha.
Apa yang dilakukan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud melalui Kemah Budaya Kaum Muda sudah sejalan dengan saran Tuff agar kita menempatkan dan menyikapi kaum milenial lebih proporsional. Misalnya, mendorong mereka untuk berjiwa wirausaha dengan menyediakan program inkubator bisnis. Kemah Budaya Kaum Muda memperkuat premis Tuff bahwa mengelola kaum milenial membutuhkan pola pikir berbeda, yang sejatinya keluar dari kotak berpikir yang unggul dan andal (out of the box). Demikian adanya.
(nag)