Komnas Perempuan Berharap Amnesti Baiq Nuril Dikabulkan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Komnas Perempuan berharap amnesti Baiq Nuril segera dikabulkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni menyampaikan dalam waktu dekat para aktivis perempuan juga akan membantu mengajukan proses amnesti.
“Pada dasarnya harapannya ada pembebasan atau amnesti dikabulkan. Proses tahapan amnesti, memang dalam minggu ini teman-teman aktivis akan segera ajukan. Dan dari informasi yang saya peroleh bahwa dalam rentang waktu 10 harian semoga segera diproses amnesti yang diajukan oleh Ibu Nuril,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (9/7/2019).
Budi mengatakan masyarakat perlu mengetahui dengan pemberian amnesti oleh presiden, Nuril akan tetap sebagai korban pelecehan. “Yang perlu diketahui masyarakat bahwa amnesti ini, bahwa Ibu Nuril ini tetap sebagai korban pelecehan seksual, jangan salah,” tegasnya.
Dia pun menyesalkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali Baiq Nuril. “Sampai pada titik ini, dimana PK ditolak Mahkamah Agung kami sangat menyesalkan. Dan kami pun mempertanyakan kenapa Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tidak digunakan. Dimana itu adalah jelas-jelas produknya saat itu kita semua berbangga ada produk hukum yang idealnya digunakan untuk keadilan perempuan yang terjerat hukum.”
“Saya menggarisbawahi dengan adanya Perma Nomor 3 Tahun 2017 ini jelas-jelas satu hadiah para perempuan yang berhadapan hukum. Sehingga, apakah perlu ada standar operasional prosedur atau tahapan-tahapan untuk hakim untuk menangani kasus perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum,” sambung Budi.
Jika Perma Nomor 3 Tahun 2017 digunakan oleh MA, kata Budi maka hasil PK Baiq Nuril akan berbeda. Apalagi, dalam Perma dikupas secara detail bagaiman proses menangani kasus perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum.
“Jika produk ini digunakan, hasilnya akan beda. Karena tidak sebatas apakah dia saksi, korban atau terdakwa tetapi yang menarik adalah kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Di dalam Perma itu, dikupas secara detail. Ada konstruksi gender yang timpang, ada relasi kuasa kenapa ini penting dan sebagainya. Tetapi dengan hasil yang seperti ini, tentu saja Komnas Perempuan sebagaimana aktivis yang lain menyesalkan,” jelas Budi.
Sementara itu, Budi menjelaskan jika di Indonesia masih ada keterbatasan sistem hukum terutama untuk kasus pelecehan seksual. “Memang di Indonesia masih ada keterbatasan sistem hukum, dan yang pelecehan tidak kontak fisik ini dimana hukumnya, belum jelas.”
“Namun, saat kita jumpai bahwa ada keterbatasan sistem hukum dimana pelecehan-pelecahan seksual saja yang diakomodir oleh hukum atau pelecehan dimana ada kontak fisiknya. Nah, yang dianggap celotehan-celotehan seperti ini bagaimana cara membawanya ke ranah hukum,” tambahnya.
Budi berharap Rencana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan oleh DPR RI. Sehingga, akan ada aturan yang kuat untuk mengatur segala bentuk pelecehan seksual baik secara kontak fisik maupun verbal.
“Ini memang harapannya paling kuat adalah RUU PKS agar segera diundangkan. Sehingga akan ada aturan yang kuat mengenai pelecehan seperti apa termasuk secara verbal dan juga tindak pidananya akan diatur,” kata dia.
Dengan RUU PKS, Budi berpandangan para hakim yang sedang menangani kasus pelecehan terhadap perempuan tidak bias dan punya perspektif. Menurutnya yang perlu digarisbawahi dalam kasus ini ada relasi kuasa yang menjadi gambaran dimana di dalam kehidupan sehari-hari juga terjadi seperti itu.
"Karena memang ini masih ada keterbatasan sistem hukum, andai memang ini diungkap maka para hakim juga tidak punya perspektif. Dan harapannya agar kasus-kasus seperti ini tidak bias, tidak rancu, kami meminta agar RUU PKS segera disahkan karena ada di situ semua. Jadi nanti kalau ada yang berperkara, hakim juga lebih jelas rujukannya. Karena memang ini sesuatu yang memang cukup sulit keputusannya,” tutup Budi.
“Pada dasarnya harapannya ada pembebasan atau amnesti dikabulkan. Proses tahapan amnesti, memang dalam minggu ini teman-teman aktivis akan segera ajukan. Dan dari informasi yang saya peroleh bahwa dalam rentang waktu 10 harian semoga segera diproses amnesti yang diajukan oleh Ibu Nuril,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (9/7/2019).
Budi mengatakan masyarakat perlu mengetahui dengan pemberian amnesti oleh presiden, Nuril akan tetap sebagai korban pelecehan. “Yang perlu diketahui masyarakat bahwa amnesti ini, bahwa Ibu Nuril ini tetap sebagai korban pelecehan seksual, jangan salah,” tegasnya.
Dia pun menyesalkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali Baiq Nuril. “Sampai pada titik ini, dimana PK ditolak Mahkamah Agung kami sangat menyesalkan. Dan kami pun mempertanyakan kenapa Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tidak digunakan. Dimana itu adalah jelas-jelas produknya saat itu kita semua berbangga ada produk hukum yang idealnya digunakan untuk keadilan perempuan yang terjerat hukum.”
“Saya menggarisbawahi dengan adanya Perma Nomor 3 Tahun 2017 ini jelas-jelas satu hadiah para perempuan yang berhadapan hukum. Sehingga, apakah perlu ada standar operasional prosedur atau tahapan-tahapan untuk hakim untuk menangani kasus perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum,” sambung Budi.
Jika Perma Nomor 3 Tahun 2017 digunakan oleh MA, kata Budi maka hasil PK Baiq Nuril akan berbeda. Apalagi, dalam Perma dikupas secara detail bagaiman proses menangani kasus perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum.
“Jika produk ini digunakan, hasilnya akan beda. Karena tidak sebatas apakah dia saksi, korban atau terdakwa tetapi yang menarik adalah kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Di dalam Perma itu, dikupas secara detail. Ada konstruksi gender yang timpang, ada relasi kuasa kenapa ini penting dan sebagainya. Tetapi dengan hasil yang seperti ini, tentu saja Komnas Perempuan sebagaimana aktivis yang lain menyesalkan,” jelas Budi.
Sementara itu, Budi menjelaskan jika di Indonesia masih ada keterbatasan sistem hukum terutama untuk kasus pelecehan seksual. “Memang di Indonesia masih ada keterbatasan sistem hukum, dan yang pelecehan tidak kontak fisik ini dimana hukumnya, belum jelas.”
“Namun, saat kita jumpai bahwa ada keterbatasan sistem hukum dimana pelecehan-pelecahan seksual saja yang diakomodir oleh hukum atau pelecehan dimana ada kontak fisiknya. Nah, yang dianggap celotehan-celotehan seperti ini bagaimana cara membawanya ke ranah hukum,” tambahnya.
Budi berharap Rencana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan oleh DPR RI. Sehingga, akan ada aturan yang kuat untuk mengatur segala bentuk pelecehan seksual baik secara kontak fisik maupun verbal.
“Ini memang harapannya paling kuat adalah RUU PKS agar segera diundangkan. Sehingga akan ada aturan yang kuat mengenai pelecehan seperti apa termasuk secara verbal dan juga tindak pidananya akan diatur,” kata dia.
Dengan RUU PKS, Budi berpandangan para hakim yang sedang menangani kasus pelecehan terhadap perempuan tidak bias dan punya perspektif. Menurutnya yang perlu digarisbawahi dalam kasus ini ada relasi kuasa yang menjadi gambaran dimana di dalam kehidupan sehari-hari juga terjadi seperti itu.
"Karena memang ini masih ada keterbatasan sistem hukum, andai memang ini diungkap maka para hakim juga tidak punya perspektif. Dan harapannya agar kasus-kasus seperti ini tidak bias, tidak rancu, kami meminta agar RUU PKS segera disahkan karena ada di situ semua. Jadi nanti kalau ada yang berperkara, hakim juga lebih jelas rujukannya. Karena memang ini sesuatu yang memang cukup sulit keputusannya,” tutup Budi.
(kri)