Mewujudkan Masyarakat Melek Keuangan
A
A
A
Lydia NurjanahAnalis Strategi dan Kebijakan Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan
SEBUT saja Wati, 35, wanita asal Purbalingga, Jawa Tengah yang pada momen Lebaran lalu hendak mudik ke kampungnya. Penghasilan dan tunjangan hari raya yang diterimanya sebagai asisten rumah tangga cukup lumayan untuk nafkah sekeluarga.
Dengan pertimbangan keamanan, sang majikan menawarkan Wati untuk mentransfer uangnya mengingat membawa uang tunai dalam jumlah banyak dengan angkutan umum sangat berisiko, terlebih saat mudik. Namun, alih-alih mengiyakan, Wati tetap memilih cara konvensional, membawa uang tunai. Transfer ribet katanya. Bank atau ATM terletak jauh dari rumahnya yang berada di pelosok desa. Itu pun harus meminjam rekening saudaranya terlebih dahulu. Ya, meski telah bekerja bertahun-tahun di Jakarta, Wati masih belum memiliki rekening tabungan sendiri.
Permasalahan yang dihadapi Wati adalah potret persoalan klasik pekerja migran atau masyarakat yang hidup di daerah pelosok di Indonesia. Letak bank atau ATM yang jauh membuat masyarakat enggan bersentuhan dengan akses keuangan.
Persoalan ini coba dijawab oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui program Laku Pandai sejak akhir 2014. Laku Pandai atau Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif dikenal juga dengan branchless banking . Melalui program ini, bank tidak perlu membuka banyak kantor cabang fisik di pelosok, tetapi dapat merekrut anggota masyarakat sebagai agen bank di daerahnya. Masyarakat dapat membuka bank di rumah atau tempat usahanya, cukup dengan bermodalkan alat telekomunikasi baik ponsel maupun komputer yang terkoneksi dengan internet.
Peluang Usaha
Masyarakat di sekitar dapat mendatangi agen bank tersebut untuk membuka rekening tabungan, menabung, mentransfer, dan menarik dana. Selain tabungan, agen Laku Pandai juga memberikan layanan transaksi keuangan lainnya seperti pembayaran listrik prabayar dan pascabayar maupun pembelian voucher pulsa telepon. Diharapkan, agen Laku Pandai juga dapat memberikan kredit mikro kepada masyarakat dan menjual produk keuangan lain, seperti asuransi mikro. Dari setiap transaksi yang dilakukan, agen Laku Pandai memperoleh fee dengan besaran yang berbeda-beda tergantung dari jenis transaksi dan kebijakan dari masing-masing bank. Semakin besar transaksi maka semakin besar pendapatan agen Laku Pandai. Ini merupakan peluang usaha tersendiri bagi masyarakat.
Masyarakat yang menjadi nasabah Laku Pandai juga memperoleh berbagai keuntungan. Selain dimudahkan dengan adanya agen Laku Pandai yang berada dekat tempat tinggalnya sehingga tidak perlu mendatangi bank, nasabah juga tidak dikenakan biaya administrasi bulanan sehingga tidak perlu khawatir saldo tabungan berkurang. Nasabah tetap memperoleh bunga tabungan dan simpanannya aman karena dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Selain itu, tidak ada batas minimum setoran dan saldo minimum. Nasabah juga dapat mengajukan kredit mikro atau pembiayaan usaha produktif setelah menabung secara berkala minimal enam bulan dan dianggap layak oleh bank. Kredit ditujukan untuk membiayai kegiatan usaha yang bersifat produktif seperti modal kerja, investasi barang modal dan pendidikan, serta kegiatan lain yang mendukung keuangan inklusif seperti melahirkan, biaya pengobatan atau pemakaman.Maksimum kredit sebesar Rp20 juta dengan jangka waktu satu tahun. Lama pinjaman dapat disesuaikan untuk nasabah yang siklus usahanya lebih dari satu tahun. Masyarakat juga bisa dengan mudah membeli asuransi mikro, seperti asuransi jiwa, demam berdarah, kebakaran, dan bencana alam dengan premi rendah hanya Rp50.000.
Perkembangan Laku PandaiSejak diluncurkan sampai saat ini, perkembangan Laku Pandai berjalan baik. Hingga Maret 2019, jumlah nasabah mencapai 5,11 juta orang dengan jumlah saldo tabungan Rp2,51 triliun. Jumlah agen Laku Pandai juga mengalami kenaikan signifikan mencapai 1,07 juta agen atau naik 286 kali lipat dari jumlah 3.734 agen pada 2015. Agen Laku Pandai ini telah tersebar di 34 provinsi dan 510 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah bank penyelenggara juga meningkat dari 6 Bank umum pada 2016 menjadi 26 bank umum dan 4 bank syariah pada 2019.Fungsi Agen Laku Pandai sebagai perantara bank juga dimaksimalkan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Salah satunya untuk membantu program pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial pemerintah secara nontunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Penerima bantuan dapat membelanjakan bantuannya dan/atau melakukan penarikan tunai di Agen Laku Pandai yang menjadi Agen e-Warong.
Hingga Maret 2019, terdapat 108.741 agen Laku Pandai yang menjadi e-Warong atau 10,13% dari total agen Laku Pandai. Dan, sejak 2017, terdapat pembukaan 10 juta rekening Laku Pandai dalam rangka penyaluran bantuan sosial nontunai atau sekitar 50% dari total rekening tabungan Laku Pandai. Pada 2019, direncanakan perluasan penyaluran BPNT kepada sekitar 5,4 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di 295 Kabupaten/Kota.
Selain sebagai e-Warong, agen Laku Pandai juga berperan untuk mendukung program Zakat Inclusion dengan menjadi penghimpun zakat. Presiden RI Joko Widodo telah meluncurkan penghimpunan zakat melalui agen Laku Pandai pada 14 Juni 2017. Terdapat 8 bank yang bekerja sama dengan Baznas untuk mendukung program ini, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, BTPN, BRI Syariah, BTPN Syariah, dan Bank Jabar Banten.
Ke depan, terdapat potensi pengembangan fungsi agen Laku Pandai lainnya seperti untuk membayar pajak, iuran BPJS kesehatan, atau untuk layanan pembayaran transaksi dan pemasaran produk e-commerce.
Inklusi Keuangan Berbagai potensi yang dimiliki Laku Pandai dapat mendukung pencapaian target inklusi keuangan tahun ini. OJK dan pemerintah ditargetkan untuk mencapai target inklusi keuangan sebesar 75% dan literasi keuangan sebesar 35% pada 2019. Target literasi keuangan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, sedangkan target inklusi keuangan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Inklusi keuangan sendiri merupakan pemanfaatan produk atau layanan jasa keuangan, sementara literasi keuangan berarti pemahaman mengenai manfaat dan risiko produk dan layanan jasa keuangan.
Target ini sepertinya optimistis untuk dicapai, melihat Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2016 menunjukkan Indeks Inklusi Keuangan Tahun 2016 telah mencapai 67,8%, dan tingkat literasi keuangan 29,7%.
Namun, penyebaran inklusi dan literasi keuangan ini masih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa, belum merata di seluruh Indonesia. Hal ini tecermin dari persebaran agen dan nasabah Laku Pandai sendiri. Agen dan nasabah Laku Pandai 65% berlokasi di Pulau Jawa. Proporsi penyebaran nasabah selanjutnya di Sumatera (15,04%), Sulawesi (7,63%), Kalimantan (5,81%), Bali dan Nusa Tenggara (4,70%), serta Maluku dan Papua (1,25%).
Masalah akses infrastruktur dan koneksi telekomunikasi ke daerah-daerah pelosok merupakan tantangan yang harus dijawab selanjutnya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang melek keuangan.
Rendahnya tingkat literasi dibandingkan dengan inklusi, juga merupakan tantangan sendiri, karena pemakaian produk atau jasa keuangan tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai. Hal ini dapat berpotensi masyarakat tidak memahami risiko dari produk keuangan yang dipilihnya sehingga rentan mengalami kerugian atau menjadi korban penipuan. OJK mencatat total kerugian akibat investasi bodong mencapai Rp88,8 triliun selama periode 2008 sampai 2018. Total kerugian tersebut belum termasuk kerugian akibat fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring ilegal maupun maupun bursa mata uang virtual (cryptocurrency) ilegal.Meningkatkan literasi dan inklusi keuangan merupakan upaya besar dan membutuhkan kerja sama berbagai pihak, terutama harmonisasi antarlembaga dan kementerian yang saling terkait satu sama lain agar tidak berjalan sendiri-sendiri.
Mewujudkan masyarakat yang melek keuangan ibarat membesarkan anak. Regulator ibarat keluarga besar yang harus bekerja bersama membekalinya dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi dunia.
(Tulisan adalah pendapat pribadi penulis, tidak merepresentasikan pendapat lembaga )
SEBUT saja Wati, 35, wanita asal Purbalingga, Jawa Tengah yang pada momen Lebaran lalu hendak mudik ke kampungnya. Penghasilan dan tunjangan hari raya yang diterimanya sebagai asisten rumah tangga cukup lumayan untuk nafkah sekeluarga.
Dengan pertimbangan keamanan, sang majikan menawarkan Wati untuk mentransfer uangnya mengingat membawa uang tunai dalam jumlah banyak dengan angkutan umum sangat berisiko, terlebih saat mudik. Namun, alih-alih mengiyakan, Wati tetap memilih cara konvensional, membawa uang tunai. Transfer ribet katanya. Bank atau ATM terletak jauh dari rumahnya yang berada di pelosok desa. Itu pun harus meminjam rekening saudaranya terlebih dahulu. Ya, meski telah bekerja bertahun-tahun di Jakarta, Wati masih belum memiliki rekening tabungan sendiri.
Permasalahan yang dihadapi Wati adalah potret persoalan klasik pekerja migran atau masyarakat yang hidup di daerah pelosok di Indonesia. Letak bank atau ATM yang jauh membuat masyarakat enggan bersentuhan dengan akses keuangan.
Persoalan ini coba dijawab oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui program Laku Pandai sejak akhir 2014. Laku Pandai atau Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif dikenal juga dengan branchless banking . Melalui program ini, bank tidak perlu membuka banyak kantor cabang fisik di pelosok, tetapi dapat merekrut anggota masyarakat sebagai agen bank di daerahnya. Masyarakat dapat membuka bank di rumah atau tempat usahanya, cukup dengan bermodalkan alat telekomunikasi baik ponsel maupun komputer yang terkoneksi dengan internet.
Peluang Usaha
Masyarakat di sekitar dapat mendatangi agen bank tersebut untuk membuka rekening tabungan, menabung, mentransfer, dan menarik dana. Selain tabungan, agen Laku Pandai juga memberikan layanan transaksi keuangan lainnya seperti pembayaran listrik prabayar dan pascabayar maupun pembelian voucher pulsa telepon. Diharapkan, agen Laku Pandai juga dapat memberikan kredit mikro kepada masyarakat dan menjual produk keuangan lain, seperti asuransi mikro. Dari setiap transaksi yang dilakukan, agen Laku Pandai memperoleh fee dengan besaran yang berbeda-beda tergantung dari jenis transaksi dan kebijakan dari masing-masing bank. Semakin besar transaksi maka semakin besar pendapatan agen Laku Pandai. Ini merupakan peluang usaha tersendiri bagi masyarakat.
Masyarakat yang menjadi nasabah Laku Pandai juga memperoleh berbagai keuntungan. Selain dimudahkan dengan adanya agen Laku Pandai yang berada dekat tempat tinggalnya sehingga tidak perlu mendatangi bank, nasabah juga tidak dikenakan biaya administrasi bulanan sehingga tidak perlu khawatir saldo tabungan berkurang. Nasabah tetap memperoleh bunga tabungan dan simpanannya aman karena dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Selain itu, tidak ada batas minimum setoran dan saldo minimum. Nasabah juga dapat mengajukan kredit mikro atau pembiayaan usaha produktif setelah menabung secara berkala minimal enam bulan dan dianggap layak oleh bank. Kredit ditujukan untuk membiayai kegiatan usaha yang bersifat produktif seperti modal kerja, investasi barang modal dan pendidikan, serta kegiatan lain yang mendukung keuangan inklusif seperti melahirkan, biaya pengobatan atau pemakaman.Maksimum kredit sebesar Rp20 juta dengan jangka waktu satu tahun. Lama pinjaman dapat disesuaikan untuk nasabah yang siklus usahanya lebih dari satu tahun. Masyarakat juga bisa dengan mudah membeli asuransi mikro, seperti asuransi jiwa, demam berdarah, kebakaran, dan bencana alam dengan premi rendah hanya Rp50.000.
Perkembangan Laku PandaiSejak diluncurkan sampai saat ini, perkembangan Laku Pandai berjalan baik. Hingga Maret 2019, jumlah nasabah mencapai 5,11 juta orang dengan jumlah saldo tabungan Rp2,51 triliun. Jumlah agen Laku Pandai juga mengalami kenaikan signifikan mencapai 1,07 juta agen atau naik 286 kali lipat dari jumlah 3.734 agen pada 2015. Agen Laku Pandai ini telah tersebar di 34 provinsi dan 510 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah bank penyelenggara juga meningkat dari 6 Bank umum pada 2016 menjadi 26 bank umum dan 4 bank syariah pada 2019.Fungsi Agen Laku Pandai sebagai perantara bank juga dimaksimalkan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Salah satunya untuk membantu program pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial pemerintah secara nontunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Penerima bantuan dapat membelanjakan bantuannya dan/atau melakukan penarikan tunai di Agen Laku Pandai yang menjadi Agen e-Warong.
Hingga Maret 2019, terdapat 108.741 agen Laku Pandai yang menjadi e-Warong atau 10,13% dari total agen Laku Pandai. Dan, sejak 2017, terdapat pembukaan 10 juta rekening Laku Pandai dalam rangka penyaluran bantuan sosial nontunai atau sekitar 50% dari total rekening tabungan Laku Pandai. Pada 2019, direncanakan perluasan penyaluran BPNT kepada sekitar 5,4 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di 295 Kabupaten/Kota.
Selain sebagai e-Warong, agen Laku Pandai juga berperan untuk mendukung program Zakat Inclusion dengan menjadi penghimpun zakat. Presiden RI Joko Widodo telah meluncurkan penghimpunan zakat melalui agen Laku Pandai pada 14 Juni 2017. Terdapat 8 bank yang bekerja sama dengan Baznas untuk mendukung program ini, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, BTPN, BRI Syariah, BTPN Syariah, dan Bank Jabar Banten.
Ke depan, terdapat potensi pengembangan fungsi agen Laku Pandai lainnya seperti untuk membayar pajak, iuran BPJS kesehatan, atau untuk layanan pembayaran transaksi dan pemasaran produk e-commerce.
Inklusi Keuangan Berbagai potensi yang dimiliki Laku Pandai dapat mendukung pencapaian target inklusi keuangan tahun ini. OJK dan pemerintah ditargetkan untuk mencapai target inklusi keuangan sebesar 75% dan literasi keuangan sebesar 35% pada 2019. Target literasi keuangan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, sedangkan target inklusi keuangan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Inklusi keuangan sendiri merupakan pemanfaatan produk atau layanan jasa keuangan, sementara literasi keuangan berarti pemahaman mengenai manfaat dan risiko produk dan layanan jasa keuangan.
Target ini sepertinya optimistis untuk dicapai, melihat Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2016 menunjukkan Indeks Inklusi Keuangan Tahun 2016 telah mencapai 67,8%, dan tingkat literasi keuangan 29,7%.
Namun, penyebaran inklusi dan literasi keuangan ini masih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa, belum merata di seluruh Indonesia. Hal ini tecermin dari persebaran agen dan nasabah Laku Pandai sendiri. Agen dan nasabah Laku Pandai 65% berlokasi di Pulau Jawa. Proporsi penyebaran nasabah selanjutnya di Sumatera (15,04%), Sulawesi (7,63%), Kalimantan (5,81%), Bali dan Nusa Tenggara (4,70%), serta Maluku dan Papua (1,25%).
Masalah akses infrastruktur dan koneksi telekomunikasi ke daerah-daerah pelosok merupakan tantangan yang harus dijawab selanjutnya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang melek keuangan.
Rendahnya tingkat literasi dibandingkan dengan inklusi, juga merupakan tantangan sendiri, karena pemakaian produk atau jasa keuangan tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai. Hal ini dapat berpotensi masyarakat tidak memahami risiko dari produk keuangan yang dipilihnya sehingga rentan mengalami kerugian atau menjadi korban penipuan. OJK mencatat total kerugian akibat investasi bodong mencapai Rp88,8 triliun selama periode 2008 sampai 2018. Total kerugian tersebut belum termasuk kerugian akibat fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring ilegal maupun maupun bursa mata uang virtual (cryptocurrency) ilegal.Meningkatkan literasi dan inklusi keuangan merupakan upaya besar dan membutuhkan kerja sama berbagai pihak, terutama harmonisasi antarlembaga dan kementerian yang saling terkait satu sama lain agar tidak berjalan sendiri-sendiri.
Mewujudkan masyarakat yang melek keuangan ibarat membesarkan anak. Regulator ibarat keluarga besar yang harus bekerja bersama membekalinya dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi dunia.
(Tulisan adalah pendapat pribadi penulis, tidak merepresentasikan pendapat lembaga )
(mhd)