KLHK Klaim Kualitas Udara Jakarta Masih Bagus
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, dibandingkan dengan baku mutu kondisi udara nasional, yakni 65 μg/m3, maka kualitas udara di Jakarta masih bagus dan sehat.
Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK RM Karliansyah saat jumpa pers di Kantor LHK, Manggala Wanabhakti, kemarin.
“Begitu juga apabila dibandingkan dengan standar WHO pada angka 25 μg/m3, kualitas udara di Jakarta juga masuk kategori sedang,” ujar Karliansyah.
Karliansyah menjelaskan, Jakarta dari sistem yang dibangun, pemantau polusi udara itu rata-rata dari 1 Januari hingga 30 Juni 2019, rata-rata untuk PM 2,5 itu 31,49 ug/m3.
“Jadi, kalau kita kembali standarnya, masuk kategori sedang,” katanya. Karliansyah juga membandingkan kondisi udara Jakarta dengan negara-negara tetangga lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan China.
Menurut dia, Jakarta masih beruntung karena kondisi terburuknya hanya kurang sehat bagi kelompok rentan. “Di antara dua itu, dua itu dominan, bagus, sedang, kadang-kadang tidak sehat untuk kelompok rentan,” ujarnya.
Sebelumnya, pihak Greenpeace Indonesia menyampaikan bahwa kualitas udara di Jakarta dalam kondisi darurat dan terburuk di dunia. Hal tersebut diungkapkannya berdasarkan data Indeks Kualitas Udara (AQI) yang menunjukkan Jakarta dalam kategori kota tidak sehat dan sudah melebihi baku mutu kondisi udara harian (konsentrasi PM 2,5 melebihi 65 mikrogram per kubik meter).
Menanggapi hal itu, Karliansyah mengatakan ada tiga titik selama rentang 19-27 Juni 2019 yang menunjukkan kualitas udara kurang bagus. Namun, datanya harus dilihat secara menyeluruh.
Dia mengatakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mengatakan keadaan udara di Jakarta yang sesungguhnya.
Pertama, adalah alat pemantau kondisi udara harus dalam posisi statis (tidak bergerak) dan dirancang untuk memantau kondisi di luar ruangan.
Kedua, alat tersebut memiliki tinggi 3 meter di atas permukaan tanah serta berjarak minimal 20 meter dari jalan raya.
Ketiga, semuanya harus dikalibrasi secara rutin.
Sementara menjawab pertanyaan megenai gugatan yang dilayangkan warga negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/7), guna menuntut hak untuk menikmati udara bersih, Dirjen Karliansyah menyatakan bahwa gugatan itu adalah hak warga negara dan dia menghormatinya.
Karliansyah menegaskan, KLHK segera memberikan respons atau jawaban atas gugatan tersebut. Yang jelas, kata dia, sejauh ini KLHK sudah melakukan beberapa upaya perbaikan kualitas udara, misalnya dari regulasi dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41/ 1999, termasuk revisi nilai baku mutu kondisi udara nasional. (Binti Mufarida)
Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK RM Karliansyah saat jumpa pers di Kantor LHK, Manggala Wanabhakti, kemarin.
“Begitu juga apabila dibandingkan dengan standar WHO pada angka 25 μg/m3, kualitas udara di Jakarta juga masuk kategori sedang,” ujar Karliansyah.
Karliansyah menjelaskan, Jakarta dari sistem yang dibangun, pemantau polusi udara itu rata-rata dari 1 Januari hingga 30 Juni 2019, rata-rata untuk PM 2,5 itu 31,49 ug/m3.
“Jadi, kalau kita kembali standarnya, masuk kategori sedang,” katanya. Karliansyah juga membandingkan kondisi udara Jakarta dengan negara-negara tetangga lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan China.
Menurut dia, Jakarta masih beruntung karena kondisi terburuknya hanya kurang sehat bagi kelompok rentan. “Di antara dua itu, dua itu dominan, bagus, sedang, kadang-kadang tidak sehat untuk kelompok rentan,” ujarnya.
Sebelumnya, pihak Greenpeace Indonesia menyampaikan bahwa kualitas udara di Jakarta dalam kondisi darurat dan terburuk di dunia. Hal tersebut diungkapkannya berdasarkan data Indeks Kualitas Udara (AQI) yang menunjukkan Jakarta dalam kategori kota tidak sehat dan sudah melebihi baku mutu kondisi udara harian (konsentrasi PM 2,5 melebihi 65 mikrogram per kubik meter).
Menanggapi hal itu, Karliansyah mengatakan ada tiga titik selama rentang 19-27 Juni 2019 yang menunjukkan kualitas udara kurang bagus. Namun, datanya harus dilihat secara menyeluruh.
Dia mengatakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mengatakan keadaan udara di Jakarta yang sesungguhnya.
Pertama, adalah alat pemantau kondisi udara harus dalam posisi statis (tidak bergerak) dan dirancang untuk memantau kondisi di luar ruangan.
Kedua, alat tersebut memiliki tinggi 3 meter di atas permukaan tanah serta berjarak minimal 20 meter dari jalan raya.
Ketiga, semuanya harus dikalibrasi secara rutin.
Sementara menjawab pertanyaan megenai gugatan yang dilayangkan warga negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/7), guna menuntut hak untuk menikmati udara bersih, Dirjen Karliansyah menyatakan bahwa gugatan itu adalah hak warga negara dan dia menghormatinya.
Karliansyah menegaskan, KLHK segera memberikan respons atau jawaban atas gugatan tersebut. Yang jelas, kata dia, sejauh ini KLHK sudah melakukan beberapa upaya perbaikan kualitas udara, misalnya dari regulasi dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41/ 1999, termasuk revisi nilai baku mutu kondisi udara nasional. (Binti Mufarida)
(nfl)