PK Baiq Nuril Ditolak MA, PBNU Mengaku Prihatin dan Sedih
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas mengaku prihatin atas putusan tersebut.
"Tanpa bermaksud mengomentari putusan lembaga peradilan, saya prihatin dan turut sedih terhadap yang menimpa Baiq Nuril. Bak pepatah 'sudah jatuh ketimpa tangga', sudah mendapat perlakuan tak patut lalu dipenjara," ujar Robikin dalam pernyataannya, Jumat (5/7/2019).
Robikin mengatakan semula pihaknya mengapresiasi pengadilan yang memutus bebas Baiq Nuril. Namun jaksa tidak terima dan menggunakan upaya hukum hingga pada akhirnya Baiq Nuril mengalami nasib seperti saat ini.
Dalam sistem peradilan pidana, kata Robikin, jaksa selaku penuntut umum merupakan representasi negara mewakili kepentingan umum. "Menerima atau menolak putusan dan menggunakan upaya hukum adalah hak penuntut umum. Namun suara publik justru menempatkan Baiq Nuril sebagai korban, bukan pelaku pidana atau membela diri dengan cara yang salah," urainya.
Karena itu ke depan, pihaknya berharap agar penegakan hukum harus betul-betul merasakan denyut nadi berupa rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). "Sehingga elemen living law menjadi elemen penting dalam proses penegakan hukum pidana. Apa boleh buat sekarang nasi telah menjadi bubur. Baiq Nuril kini merasa telah dikriminalisasi. Baiq Nuril berharap, ini merupakan peristiwa kriminalisasi yang terakhir. Harapan seperti itu juga merupakan harapan kita semua," katanya.
Dirinya pun mengapresiasi kebesaran jiwa Baiq Nuril yang menerima putusan PK harus kita apresiasi. Sikap itu mencerminkan betapa Baiq Nuril adalah orang yang taat hukum (obidience by the law).
"Suatu yang sangat diperlukan bagi berdaulatnya suatu hukum," katanya.
Berkaca peristiwa ini, menurut Robikin upaya mewujudkan daulat hukum harus terus menerus dilakukan. Agar hukum tidak terkesan tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.
"Agar keadilan tidak dianggap sebagai komoditas yang hanya sanggup diakses kalangan terbatas. Supaya justice for all menjadi suatu yang niscaya dalam kehidupan yang lumrah," pungkasnya.
Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas mengaku prihatin atas putusan tersebut.
"Tanpa bermaksud mengomentari putusan lembaga peradilan, saya prihatin dan turut sedih terhadap yang menimpa Baiq Nuril. Bak pepatah 'sudah jatuh ketimpa tangga', sudah mendapat perlakuan tak patut lalu dipenjara," ujar Robikin dalam pernyataannya, Jumat (5/7/2019).
Robikin mengatakan semula pihaknya mengapresiasi pengadilan yang memutus bebas Baiq Nuril. Namun jaksa tidak terima dan menggunakan upaya hukum hingga pada akhirnya Baiq Nuril mengalami nasib seperti saat ini.
Dalam sistem peradilan pidana, kata Robikin, jaksa selaku penuntut umum merupakan representasi negara mewakili kepentingan umum. "Menerima atau menolak putusan dan menggunakan upaya hukum adalah hak penuntut umum. Namun suara publik justru menempatkan Baiq Nuril sebagai korban, bukan pelaku pidana atau membela diri dengan cara yang salah," urainya.
Karena itu ke depan, pihaknya berharap agar penegakan hukum harus betul-betul merasakan denyut nadi berupa rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). "Sehingga elemen living law menjadi elemen penting dalam proses penegakan hukum pidana. Apa boleh buat sekarang nasi telah menjadi bubur. Baiq Nuril kini merasa telah dikriminalisasi. Baiq Nuril berharap, ini merupakan peristiwa kriminalisasi yang terakhir. Harapan seperti itu juga merupakan harapan kita semua," katanya.
Dirinya pun mengapresiasi kebesaran jiwa Baiq Nuril yang menerima putusan PK harus kita apresiasi. Sikap itu mencerminkan betapa Baiq Nuril adalah orang yang taat hukum (obidience by the law).
"Suatu yang sangat diperlukan bagi berdaulatnya suatu hukum," katanya.
Berkaca peristiwa ini, menurut Robikin upaya mewujudkan daulat hukum harus terus menerus dilakukan. Agar hukum tidak terkesan tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.
"Agar keadilan tidak dianggap sebagai komoditas yang hanya sanggup diakses kalangan terbatas. Supaya justice for all menjadi suatu yang niscaya dalam kehidupan yang lumrah," pungkasnya.
(kri)