Bermasalah, Desain Pemilu Harus Diubah

Kamis, 27 Juni 2019 - 11:47 WIB
Bermasalah, Desain Pemilu Harus Diubah
Bermasalah, Desain Pemilu Harus Diubah
A A A
JAKARTA - Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 menyisakan banyak catatan. Mulai dari maraknya praktik politik uang (money politics) hingga berbagai masalah teknis pemilu. Karena itu desain pemilu perlu diubah. Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, banyak sekali catatan negatif dalam pelaksanaan Pemilu 2019.

Selain praktik politik uang yang sangat marak, kasus meninggalnya sekitar 700 orang terkait dengan pelaksanaan pemilu juga menjadi catat an yang harus dipertanggungjawabkan.

“Luar biasa. Jadi ini memberikan satu pembelajaran yang sangat berharga untuk kita agar tidak terulang,” kata Siti Zuhro dalam Dialog Kenegaraan bertajuk “Evaluasi Pemilu Serentak, Bisakah Pileg dan Pilpres Dipisah Lagi?” kemarin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Siti Zuhro mengatakan, solusi untuk pembenahan kedepan adalah menata ulang desain pemilu. Menurut dia, desain pemilu apa pun akan tidak aplikatif ketika tidak cukup menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

“Perlu ada prakondisi reformasi parpol, reformasi hukum untuk menghadirkan suatu pemilu yang jauh lebih berkualitas,” ujarnya. Ke depan, kata Siti, perlu kembali pada amanat amendemen konstitusi, yaitu memperkuat sistem presidensial.

Dalam praktiknya, pilpres harus digelar lebih dahulu, sementara pileg digelar setelahnya. “Kalau pilegnya didahulukan, maka transaksional karena mereka tahu siapa yang menang dan sebagainya,” katanya. Anggota DPD asal Maluku Jhon Pieris mengatakan pemilu serentak harus ditinjau ulang.

Dirinya lebih sepakat dengan sistem lama bahwa pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden harus dipisah. Alasannya, pertama, kesiapan kelembagaan masih kurang.“Pemerintah kurang memprediksi apa yang akan terjadi. Sebagai contoh soal kecil saja, di puskesmas itu waktu orang jatuh sakit dan meninggal, tidak ada dokter-dokter yang siap untuk 24 jam di situ. Kesiapan ke lembagaan menurut saya itu nihil. Jadi mencari bentuk yang baru, tetapi mengatur strategi pemilu itu tidak mampu,” ungkapnya.

Alasan kedua, kata Jhon Pieris, dalam pemilu serentak ini politik nasional hanya tercurah kan pada pilpres. Mulai dari perhatian media hingga perhatian partai politik banyak tercurah untuk kepentingan pilpres.

“Debat-debat capres kalau Anda lihat itu, juru debat itu, juru bicara itu, mereka mengampanyekan calon presiden dari partainya, tetapi sesungguhnya mereka juga menjual diri mereka supaya orang kenal, lari dari substansi capres yang di inginkan seperti apa,” paparnya.

Di sisi lain, tidak ada ajang debat caleg sama sekali sehingga dalam pileg orang membeli atau menjual “kucing dalam karung”. “Sebagai contoh, empat guru besar dan lima dokter di DPD itu tumbang semua karena tidak punya uang.

Prof Lubis (Damayanti Lubis), kemudian Farouk Muhammad, Prof Djaelani, dan mohon izin saya sendiri, dan 5 dokter juga, bukan apa-apa. Kita tidak mungkin memainkan budaya politik seperti itu, membeli suara dan sebagainya,” katanya.

John Pieris mengaku, menjelang pemilihan ada pihak yang menawarkan suara kepada dirinya dengan meminta dana Rp100 juta. Pihak tersebut berjanji akan menyiapkan 10.000 suara untuk dirinya. “Ya pasti saya tidak mau. Kalaupun saya ada uang, saya tidak mau,” katanya.

Menurut dia, sistem politik yang ada saat ini merusak demokrasi karena hanya akan menguntungkan dinasti politik dan pemodal.

“Ini juga menguntungkan orang-orang yang memang bukan bidangnya di situ, tetapi mungkin dia artis, dia aktivis yang baru muncul, lalu itulah di-backing dengan uangnya cukup banyak, itulah yang dipilih. Saya kira ke depan tak akan seperti itu lagi,” tandasnya.

Anggota Fraksi Golkar DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan partai politik harus melakukan evaluasi secara lebih mendalam terkait dengan perubahan-perubahan menyangkut proses demokrasi di Indonesia.

Salah satunya sistem pemilu. Menurut dia, saat membahas UU Pemilu, sebenarnya Pansus RUU Pemilu menginginkan untuk memperkuat sistem presidensial dan menghilangkan beberapa praktik nondemokrasi di dalam proses pemilu seperti politik uang.

Termasuk juga kampanye hitam. Karena itu perlu ada evaluasi baik substantif maupun prosedural. Hal yang juga perlu dievaluasi adalah pengawasan dan penegakan sanksi.

“Keserentakan ini membuat beban dari penyelenggara pemilu memang menjadi berlipat dan ternyata tidak bisa diakomodasi dengan apa yang sudah kita siapkan di dalam pengaturannya,” katanya. (Abdul Rochim)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7645 seconds (0.1#10.140)