Haris Azhar Tolak Jadi Saksi Tim Hukum Prabowo-Sandi
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar menolak menjadi saksi fakta Capres-Cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu diketahui dari surat yang ditulisnya kepada MK. Salah satu poin alasan dirinya menolak menjadi saksi karena berkaitan dengan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo tahun 1998.
"Saya menyatakan tidak bersedia untuk hadir sebagai saksi dalam sidang sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini," ujar Haris dalam keterangan tertulis, Rabu (19/6/2019).
Haris diminta menjadi saksi untuk kubu Prabowo-Sandi lantaran perannya yang membantu memberikan bantuan hukum kepada Kapolsek Pasirwangi, Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz.
Sulman sempat mengaku mendapat perintah dari Kapolres Garut untuk melakukan penggalangan dukungan kepada pasangan Capres-Cawapres nomor urut 02 Jokowi-Ma'ruf Amin pada kontestasi Pilpres 2019.
Haris menegaskan, dalam menangani kasus tersebut ia berkerja berdasarkan pada hasil kerja advokasi, kecocokan atas dugaan dan fakta yang terjadi. Selain itu, ia ingin menjunjung nilai-nilai profesionalitas polisi yang diharuskan netral dan tidak memihak dalam Pilpres 2019.
"Bantuan hukum dari saya untuk AKP Sulman Aziz semata-mata berbasis pada profesi advokat yang selama ini saya jalani," jelas Haris.
"Oleh karenanya, Bapak AKP Sulman Aziz saat itu dapat dikatakan sebagai seorang whistleblower. Saya menilai lebih tepat apabila Bapak AKP Sulman Aziz langsung yang hadir, untuk dimintai keterangan dan diminta menjadi saksi dalam sidang ini," tambahnya.
Diakhir suratnya, Haris menekankan bahwa selama ini menuntut akuntabilitas dan kinerja pengungkapan pelanggaran HAM tak hanya pada tokoh tertentu, tapi juga Prabowo Subianto-Sandiaga dan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Haris menambahkan selama pemerintahan pertama petahana tidak menjalankan kewajibannya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. "Sementara bapak Prabowo Subianto, menurut Laporan Komnas HAM, merupakan salah satu yang patut dimintai pertanggungjawaban atas kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa sepanjang tahun 1997 hingga 1998," tuturnya.
Hal itu diketahui dari surat yang ditulisnya kepada MK. Salah satu poin alasan dirinya menolak menjadi saksi karena berkaitan dengan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo tahun 1998.
"Saya menyatakan tidak bersedia untuk hadir sebagai saksi dalam sidang sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini," ujar Haris dalam keterangan tertulis, Rabu (19/6/2019).
Haris diminta menjadi saksi untuk kubu Prabowo-Sandi lantaran perannya yang membantu memberikan bantuan hukum kepada Kapolsek Pasirwangi, Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz.
Sulman sempat mengaku mendapat perintah dari Kapolres Garut untuk melakukan penggalangan dukungan kepada pasangan Capres-Cawapres nomor urut 02 Jokowi-Ma'ruf Amin pada kontestasi Pilpres 2019.
Haris menegaskan, dalam menangani kasus tersebut ia berkerja berdasarkan pada hasil kerja advokasi, kecocokan atas dugaan dan fakta yang terjadi. Selain itu, ia ingin menjunjung nilai-nilai profesionalitas polisi yang diharuskan netral dan tidak memihak dalam Pilpres 2019.
"Bantuan hukum dari saya untuk AKP Sulman Aziz semata-mata berbasis pada profesi advokat yang selama ini saya jalani," jelas Haris.
"Oleh karenanya, Bapak AKP Sulman Aziz saat itu dapat dikatakan sebagai seorang whistleblower. Saya menilai lebih tepat apabila Bapak AKP Sulman Aziz langsung yang hadir, untuk dimintai keterangan dan diminta menjadi saksi dalam sidang ini," tambahnya.
Diakhir suratnya, Haris menekankan bahwa selama ini menuntut akuntabilitas dan kinerja pengungkapan pelanggaran HAM tak hanya pada tokoh tertentu, tapi juga Prabowo Subianto-Sandiaga dan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Haris menambahkan selama pemerintahan pertama petahana tidak menjalankan kewajibannya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. "Sementara bapak Prabowo Subianto, menurut Laporan Komnas HAM, merupakan salah satu yang patut dimintai pertanggungjawaban atas kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa sepanjang tahun 1997 hingga 1998," tuturnya.
(kri)