Mengelola Urbanisasi, Memeratakan Pembangunan

Rabu, 12 Juni 2019 - 06:19 WIB
Mengelola Urbanisasi,...
Mengelola Urbanisasi, Memeratakan Pembangunan
A A A
Nirwono Joga
Peneliti Pusat Studi Perkotaan

PASCAHARI raya Idul Fitri, gelombang urbanisasi datang kembali. Para perantau akan kembali ke kota-kota besar tempat mereka bekerja beserta sanak saudara. Cerita sukses para perantau yang mudik saat Lebaran, meski itu tidak selalu benar, bahkan dibalut manipulasi,telah menggoda saudara, tetangga, hingga teman di desa untuk merantau, mengadu peruntungan di kota besar. Cerita kejamnya Ibu Kota tidak serta-merta mengurungkan niat calon para perantau datang ke kota besar.

Keinginan merantau itu muncul karena bekerja di kota dianggap lebih memberikan kepastian penghasilan. Sementara di desa/kota kecil asal perantau, lapangan kerja terbatas, penghasilan tidak pasti, dan masa depan tidak jelas.

Kedatangan para perantau yang tidak dibekali keterampilan dan keahlian yang memadai dan dibutuhkan kota besar telah membawa dampak persoalan di kota besar. Permukiman kumuh akan tumbuh menjamur, tingkat angka kriminalitas naik, penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti pengemis, gelandangan, juga bertambah.

Di lain pihak, jika jumlah penduduk yang bermigrasi ke kota terus meningkat, perekonomian desa akan terus tertinggal dan desa semakin sepi ditinggalkan warganya, terutama generasi mudanya. Untuk itu, perlu ada upaya serius dan konsisten bersama oleh seluruh pihak terkait untuk bersama-sama dan bekerja sama mengerem laju urbanisasi. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pertama , pemerintah kota, mulai dari aparat di tingkat kota, kecamatan, kelurahan, hingga pengurus RT/RW, bersama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan Badan Pusat Statistik harus turun ke lapangan melakukan pendataan ulang secara akurat warga perantau baru, terutama di lokasi-lokasi tempat singgah awal para perantau.

Proses pendataan mencakup tingkat perpindahan (berapa banyak) orang yang masuk dan keluar Jakarta, berapa tingkat pertumbuhan penduduk dari angka kelahiran warga dan jumlah pendatang, serta berapa tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk dibandingkan dengan provinsi dan kota lain (terutama penyumbang para pendatang).

Kedua , Pemprov DKI Jakarta harus menerapkan kebijakan yang ketat terhadap para perantau agar tidak terjadi urbanisasi yang berlebih. Mereka disyaratkan memiliki keahlian atau keterampilan yang dibuktikan dengan ijazah maupun sertifikat, tabungan yang cukup untuk hidup beberapa bulan ke depan.

Perantau harus memiliki tempat tinggal sementara yang jelas di rumah saudara, teman, atau tetangga sekampung, serta sudah mendapatkan tujuan pasti hendak bekerja atau sekolah/kuliah di mana.

Ketiga , Pemprov DKI Jakarta didukung pemerintah pusat dan pemerintah daerah asal pendatang harus membekali keterampilan dan/atau keahlian warganya melalui program pelatihan keterampilan di kantong-kantong asal pendatang. Melalui bantuan dana desa, pemerintah daerah dan pemerintah desa dapat meningkatkan perekonomian di desa melalui kolaborasi antardesa.

Pengembangan desa wisata yang menyajikan beragam kreativitas semisal desa ekonomi kreatif, desa pusaka, desa hijau, desa pertanian organik, desa digital, desa kuliner, desa kerajinan, hingga gelaran festival antardesa diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan warga desa dan mengerem laju urbanisasi.

Keempat , upaya lain adalah mengembangkan jejaring perekonomian antara desa dan kota. Aktivitas perekonomian di desa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. Misal, untuk pemenuhan kebutuhan pangan, masyarakat desa mengembangkan pertanian organik berupa padi organik, sayuran, dan buah-buahan organik untuk dikirim ke kota.

Masyarakat desa dapat menghasilkan produk kerajinan tangan yang khas untuk dikirim ke tempat-tempat tujuan wisata atau memasok ke hotel-hotel di perkotaan, hingga diekspor ke luar negeri.

Kelima , Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat bekerja sama mengembangkan wilayah metropolitan (WM) Jabodetabekpunjur yang mencakup wilayah DKI Jakarta, Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota/Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota/Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Cianjur.

WM Jabodetabekpunjur menjadi kawasan industri, properti, dan infrastruktur, didukung jaringan transportasi massal dan hunian vertikal. Dengan demikian, para perantau cukup berpindah ke kawasan Bodetabek untuk tinggal dan bekerja, tidak perlu lagi harus ke Jakarta. Di samping itu, Pemprov DKI Jakarta tetap harus menata permukiman kumuh, mengurai kemacetan lalu lintas, dan menuntaskan masalah banjir.

Keenam , pemerintah pusat melalui program mitra praja dapat memfasilitasi kolaborasi kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan provinsi-provinsi penyumbang terbesar asal perantau seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

WM Bandung Raya, WM Semarang (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi), dan WM Surabaya (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Ketujuh , pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa harus terus didorong. Pengembangan WM Medan (Medan, Binjai, Deli, Serdang, Karo), WM Padang (Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok), WM Palembang (Palembang, Betung, Indralaya, Kayuagung) di Sumatera.

WM Pontianak, WM Balikpapan, dan WM Banjarmasin (Banjarmasin, Banjarbaru, Banjar, Barito, Kuala, Tanah Laut) di Kalimantan. WM Manado, WM Kendari, dan WM Makassar (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar) di Sulawesi. WM Denpasar (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), WM Mataram (Mataram, Lombok Tengah), dan WM Kupang bagian kepulauan Bali dan Nusa Tenggara.

Urbanisasi memang tidak bisa dihentikan maupun dihindari. Namun, arus urbanisasi dapat dikelola secara produktif dan berkelanjutan. Mengelola urbanisasi bukan merupakan pilihan, melainkan sebuah keharusan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0573 seconds (0.1#10.140)