Pengamat Nilai KPK Ambil Alih Peran BPK dalam Kasus BLBI
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diduga telah secara tidak sah 'mengambil alih' peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dengan menggunakan auditor negara tersebut memberikan kesan menyesatkan kepada pengadilan dan masyarakat seolah-olah telah ada pemeriksaan dan audit yang objektif, independen, dan tidak memihak.
Padahal Laporan Audit Investigasi BPK 2017 patut diduga hanyalah merupakan tuduhan-tuduhan sepihak yang tidak teruji dasar dan kebenarannya.
Hal ini dikemukakan oleh pengamat bisnis dan keuangan Eko B Supriyanto, menanggapi pengumuman KPK Senin petang yang menetapkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim (SN) sebagai tersangka terkait penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 20 tahun yang lalu.
SN adalah pemegang saham (PS) pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), salah satu penerima BLBI. Pengamat dari Info Bank Institute itu menunjukkkan kenyataan bahwa pada 25 Mei 1999, sehubungan telah dipenuhinya segala kewajiban SN atas BLBI dan hal-hal terkait lainnya melalui perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
Pemerintah menerbitkan Surat Release and Discharge (Pembebasan & Pelepasan) dan Akta Letter of Statement kepada SN, yang pada intinya menjamin untuk tidak mengambil tindakan hukum apapun terhadap SN dan afiliasinya sehubungan dengan BLBI dan hal terkait lainnya berdasarkan MSAA.
"Janji ini telah berlangsung lebih 20 tahun, namun Senin petang (10 Juni), KPK menjadikan SN dan istrinya tersangka dalam kasus yang terkait BLBI tersebut. Tindakan KPK itu jelas bertentangan dengan janji dan komitmen pemerintah mengenai kepastian hukum di Indonesia," ujar Eko seraya menambahkan bahwa tindakan KPK ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor yang bermaksud untuk berinvestasi di Indonesia.
Eko Supriyanto juga menunjukkan bahwa tindakan KPK yang menyatakan SN belum menyelesaikan kewajibannya atas BLBI, semata-mata didasarkan pada Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang intinya menyimpulkan adanya kerugian negara akibat penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) berkenaan dengan misrepresentasi oleh SN atas nilai pinjaman BDNI kepada petambak Dipasena.
Dokumen inilah yang juga digunakan KPK untuk menjerat mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT). Namun, Eko mengingatkan, KPK hingga saat ini tidak pernah menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya mengenai laporan ini kepada publik maupun pengadilan, bahwa sebenarnya Laporan Audit BPK 2017 itu dibuat oleh BPK atas arahan sepihak KPK.
Ditambahkannya, dalam pembuatan laporan itu, BPK patut diduga telah mengabaikan aturan hukum yang berlaku untuk tidak memihak, independen dan objektif dalam melakukan pemeriksaan.
"Laporannya itu semata-mata didasarkan pada data/informasi sepihak yang disodorkan KPK tanpa terlebih dahulu diverifikasi ataupun diuji kebenarannya. Terperiksa sama sekali tidak dilibatkan. Bagaimana bisa terjadi sebuah lembaga tinggi negara yang membawa amanah konstitusi (UUD 1945) didikte oleh sebuah komisi yang baru didirikan 67 tahun kemudian dengan hanya berdasarkan undang-undang. Dan sifatnya ad-hoc pula?" tuturnya.
Sampai sekarang BPK belum juga menjelaskan, mengapa bisa terjadi kontroversi antara kesimpulan Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang bertolak belakang dengan kesimpulan laporan auditnya sendiri pada tahun 2002 dan 2006, di mana kedua auditnya tersebut telah mengkonfirmasi bahwa SN telah memenuhi seluruh kewajibannya dalam perjanjian MSAA (atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-PKPS).
"Belum ada penjelasan dan klarifikasi dari KPK dan BPK mengenai laporan laporan audit yang saling bertentangan tersebut," tandas Eko.
Padahal Laporan Audit Investigasi BPK 2017 patut diduga hanyalah merupakan tuduhan-tuduhan sepihak yang tidak teruji dasar dan kebenarannya.
Hal ini dikemukakan oleh pengamat bisnis dan keuangan Eko B Supriyanto, menanggapi pengumuman KPK Senin petang yang menetapkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim (SN) sebagai tersangka terkait penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 20 tahun yang lalu.
SN adalah pemegang saham (PS) pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), salah satu penerima BLBI. Pengamat dari Info Bank Institute itu menunjukkkan kenyataan bahwa pada 25 Mei 1999, sehubungan telah dipenuhinya segala kewajiban SN atas BLBI dan hal-hal terkait lainnya melalui perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
Pemerintah menerbitkan Surat Release and Discharge (Pembebasan & Pelepasan) dan Akta Letter of Statement kepada SN, yang pada intinya menjamin untuk tidak mengambil tindakan hukum apapun terhadap SN dan afiliasinya sehubungan dengan BLBI dan hal terkait lainnya berdasarkan MSAA.
"Janji ini telah berlangsung lebih 20 tahun, namun Senin petang (10 Juni), KPK menjadikan SN dan istrinya tersangka dalam kasus yang terkait BLBI tersebut. Tindakan KPK itu jelas bertentangan dengan janji dan komitmen pemerintah mengenai kepastian hukum di Indonesia," ujar Eko seraya menambahkan bahwa tindakan KPK ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor yang bermaksud untuk berinvestasi di Indonesia.
Eko Supriyanto juga menunjukkan bahwa tindakan KPK yang menyatakan SN belum menyelesaikan kewajibannya atas BLBI, semata-mata didasarkan pada Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang intinya menyimpulkan adanya kerugian negara akibat penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) berkenaan dengan misrepresentasi oleh SN atas nilai pinjaman BDNI kepada petambak Dipasena.
Dokumen inilah yang juga digunakan KPK untuk menjerat mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT). Namun, Eko mengingatkan, KPK hingga saat ini tidak pernah menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya mengenai laporan ini kepada publik maupun pengadilan, bahwa sebenarnya Laporan Audit BPK 2017 itu dibuat oleh BPK atas arahan sepihak KPK.
Ditambahkannya, dalam pembuatan laporan itu, BPK patut diduga telah mengabaikan aturan hukum yang berlaku untuk tidak memihak, independen dan objektif dalam melakukan pemeriksaan.
"Laporannya itu semata-mata didasarkan pada data/informasi sepihak yang disodorkan KPK tanpa terlebih dahulu diverifikasi ataupun diuji kebenarannya. Terperiksa sama sekali tidak dilibatkan. Bagaimana bisa terjadi sebuah lembaga tinggi negara yang membawa amanah konstitusi (UUD 1945) didikte oleh sebuah komisi yang baru didirikan 67 tahun kemudian dengan hanya berdasarkan undang-undang. Dan sifatnya ad-hoc pula?" tuturnya.
Sampai sekarang BPK belum juga menjelaskan, mengapa bisa terjadi kontroversi antara kesimpulan Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang bertolak belakang dengan kesimpulan laporan auditnya sendiri pada tahun 2002 dan 2006, di mana kedua auditnya tersebut telah mengkonfirmasi bahwa SN telah memenuhi seluruh kewajibannya dalam perjanjian MSAA (atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-PKPS).
"Belum ada penjelasan dan klarifikasi dari KPK dan BPK mengenai laporan laporan audit yang saling bertentangan tersebut," tandas Eko.
(maf)