Menuju Fitri

Senin, 03 Juni 2019 - 07:01 WIB
Menuju Fitri
Menuju Fitri
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya


TIDAK lama lagi bulan Ramadhan akan bergegas meninggalkan kita. Hampir selama 30 hari berjalan, kita semua sebagai umat Islam berusaha menahan diri dari godaan seraya membersihkan jiwa dan meningkatkan keimanan melalui ibadah puasa. Itu semua merupakan tujuan utama agar kita senantiasa menjadi manusia yang lebih baik dan bertakwa.

Ruang lingkup yang dilibatkan pun sejatinya tidak hanya sebatas mengendalikan rasa lapar dan dahaga secara fisik saja, melainkan juga menyisipkan tata cara mengelola kehidupan sosial dan ekonomi yang sesuai dengan tuntunan dari Allah SWT. Pesan ini tentu sangat menggelitik, dimana sebenarnya letak hubungan antara ibadah selama Ramadhan dan ekonomi?

Ilmu ekonomi sebagai cabang ilmu sosial sebenarnya sangat bergantung pada tata laku manusia (behaviour) sebagai pelaku utama ekonomi. Kualitas transaksi serta pertukaran barang dan jasa sangat dipengaruhi bagaimana perilaku para individu di dalamnya. Dalam diksi sederhana, terwujudnya masyarakat yang bertakwa (bermoral) akan mendorong kualitas ekonomi yang lebih baik.

John Adam Smith yang disebut sebagai salah satu Bapak Ekonomi Modern terkemuka, bahkan memulai langkah retorisnya dengan memperkenalkan karyanya bertajuk The Theory of Moral Sentiments sebelum melahirkan buku The Wealth of Nations yang sangat legendaris. Dari urutan tersebut, bisa kita bayangkan mengapa Adam Smith ingin mengajarkan cara bermoral terlebih dahulu sebelum mengarungi prinsip-prinsip kapitalisme.

Jadi, kendati Adam Smith merekomendasikan asas laissez-faire (pasar bebas) sebagai konsep untuk memaksimalkan potensi-potensi pasar, akan tetapi proses perjalanannya tidak serta merta menjadi bebas nilai. Karena dalam titik-titik tertentu pasar yang cenderung terlalu bebas justru akan berkembang menjadi racun di dalam tubuh suatu wilayah (negara) atau bahkan lebih luas lagi dampaknya. Sehingga etika dalam berekonomi pun selayaknya juga perlu ditanamkan agar proses kapitalisasi dan liberalisasi pasar tidak menjadi bumerang.

Jika kita nukil sedikit tentang ajaran Adam Smith yang ditulis di dalam buku The Theory of Moral Sentiments, maka ada beberapa poin yang dapat kita renungi bersama, yakni self-interest and sympathy, justice and beneficence, dan virtue. Sebagai seorang individualis, manusia memiliki tendensi untuk mengutamakan dirinya sendiri terlebih dahulu (self-interest) dalam segala hal. Tetapi semuanya akan berangsur-angsur berkurang pada saat rasa simpati (atau empati) muncul dari sisi lain manusia sebagai makhluk sosial. Rasa simpati menjadi berkah tersendiri bagi manusia untuk turut merasakan rasa tertekan/bahagia yang dirasakan orang lain meskipun dalam skala yang terbatas.

Pesan menarik lainnya adalah terkait keadilan (justice), kebaikan (beneficence), dan kebajikan (virtue). Ketiganya menjadi paket yang tak terpisahkan jika memang ingin kekayaannya bisa bertahan lama, apalagi kalau sama-sama sadar bahwa posisi mereka akan selalu saling membutuhkan. Tanpa adanya ketiga aspek tersebut, perjalanan ekonomi sangat mungkin akan selalu beriringan dengan potensi konflik sosial dan resesi. Oleh karena itu desain kebijakan ekonomi di skala mikro maupun makro ada baiknya jika ditata secara adil dan proposional tanpa ada maksud untuk melukai siapapun. Selain itu gotong royong ekonomi juga perlu dihidupkan demi menjaga kesinambungan pembangunan.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa produsen (pengusaha) akan selalu membutuhkan konsumen, dan negara akan membutuhkan semakin banyak warga yang mampu membayar pajak. Sehingga bisa dibilang kualitas dan stabilitas kekayaan (welfare) dipengaruhi cara maintenance kapasitas moral dan perilaku para pemangku di dalamnya.

Praktik di Indonesia
Beberapa periode yang lalu, pernah disampaikan adanya overhead cost beberapa perusahaan negara yang hasil kinerja keuangannya melahirkan banyak tanda tanya di dalamnya. Fakta-fakta kebocoran ekonomi perlahan-lahan muncul ke permukaan yang membuat proses pengelolaan kebijakan mulai dipertanyakan kredibilitasnya. Akhir-akhir ini kita disuguhi laporan keuangan beberapa perusahaan pelat merah yang disinyalir telah “dipercantik”.

Setelah laporan keuangan Garuda Indonesia yang ramai karena ditolak dua komisarisnya, yang terbaru berkaitan dengan laporan keuangan PLN dan Pertamina yang juga tengah mendapat sorotan publik. Ketiga BUMN tersebut memiliki kemiripan sumber laba bersih yang mereka terima berasal dari pintu yang sama, yakni piutang perusahaan. Perbedaannya hanyalah sumber piutang Garuda Indonesia berasal dari rekanan swasta, sedangkan PLN dan Pertamina berasal dari kantong pemerintah atas kompensasi tugas yang mereka emban untuk membantu fungsi pemerintahan.

Ihwal yang disoroti masyarakat adalah perubahan drastis dari kinerja di triwulan III-2018 hingga tutup buku di akhir 2018. Garuda Indonesia dan PLN bahkan sempat terseok-seok pada triwulan III karena menanggung kerugian masing-masing sekitar Rp1,63 triliun dan Rp18,48 triliun, kemudian di akhir tahun neraca keuangan mereka melonjak berbalik arah menjadi laba bersih sebesar USD809 ribu (setara Rp11,56 miliar dengan kurs Rp14.300 per USD) dan Rp11,56 triliun.

Sementara itu PT Pertamina mendapat laba bersih sekitar Rp35,99 triliun setelah sebelumnya di triwulan III hanya sebesar Rp5 triliun. Di tengah-tengah informasi tersebut, beberapa pimpinan BUMN kian banyak yang terendus isu tak sedap seiring pemeriksaan dan penangkapan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan praktik korupsi. Hal tersebut tentu menambah beban berat pemerintah yang sedang membangun engangement dengan masyarakat.

Pemerintah sendiri juga tidak kalah sibuknya menanggulangi sorotan publik atas kinerjanya dalam pengelolaan kebijakan ekonomi. Faktor ketidakpuasan masyarakat bisa jadi berasal dari hasil pertumbuhan ekonomi yang tampaknya dirasa kurang seimbang dengan meningkatnya sumber daya keuangan, baik yang berasal dari pendapatan negara (pajak dan non-pajak) maupun utang. Tentu dengan peningkatan kapasitas fiskal tersebut publik menginginkan hasil yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Akan tetapi yang terjadi ternyata belum sesuai seperti yang diharapkan. Oleh karena itu opini kebocoran ekonomi menjadi isu yang seksi belakangan ini. Jika itu memang benar terjadi, maka menurut penulis penyakit tersebut muncul dikarenakan perilaku manusianya yang kurang taat moral dan hukum. Oleh karena itu ada baiknya jika momentum Ramadhan yang telah berjalan dan Lebaran yang sebentar lagi kita temui dapat dijadikan sarana refleksi. Kita tentu berharap aspek moralitas yang diajarkan selama bulan Ramadhan menjadi fondasi yang cukup kuat dan dapat dipraktikkan pada sendi-sendi kebijakan setiap harinya.

Pelajaran penting lainnya adalah mempraktikkan salah satu ciri manusia yang bertakwa adalah gemar berinfak. Oprah Show, sebuah acara terkemuka yang berasal dari Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa dunia Barat yang saat itu memiliki aset dan kekayaan yang berlebih, merasa perlu melakukan kegiatan bersama dengan nama Giving. Kegiatan tersebut bermuatan bagaimana masyarakat mulai ikut bertanggung jawab atas kondisi masyarakat lainnya dengan banyak menyumbangkan sebagian pendapatannya. Dalam ajaran Islam diistilahkan sebagai infak.

Nah selama Ramadhan berlangsung biasanya orang-orang menjadi lebih loyal untuk menyumbangkan sebagian rezekinya kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Seandainya fenomena ini dapat kita jaga kesinambungannya tidak hanya selama Ramadhan, mungkin kondisi perekonomian kita akan menjadi lebih ramah dan bersatu. Negara juga tidak perlu bekerja sendirian untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan ketimpangan.

Oleh karena itu, kita membutuhkan panduan kebijakan ekonomi yang lebih manusiawi dan sehat. Sistem adat dan sosial kita sendiri sebenarnya sudah cukup menunjang untuk melakukan ijtihad-ijtihad tersebut. Tinggal kita membangun kesadaran dan mengkomunikasikan bagaimana konsekuensi positifnya apabila hal-hal mulia tersebut dapat kita terapkan secara konsisten.

Yang terakhir, penulis menitipkan pesan bahwa persaingan dalam mendulang kekayaan itu memang penting untuk mengoptimalkan semangat, tetapi tata cara kekeluargaan dan bermoral lebih mampu menjamin agar kinerja pembangunan dapat berjalan lebih baik dan berumur panjang. Mudah-mudahan pascaramadhan dan Lebaran kali ini kita betul-betul dapat kembali menjadi insan yang fitri dan terpanggil untuk saling gotong royong dalam kehidupan sosial dan bernegara. Semoga!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6666 seconds (0.1#10.140)