Ramadhan dan Konsumsi Pangan
A
A
A
Jojo
Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB
PADA hakikatnya, puasa Ramadhan adalah upaya menahanrasa lapar, dahaga, dan meredamhawa nafsu yang membatalkannya. Namun pada praktiknya pengendalian nafsu lebih sulit bukan saat kita berpuasa menahan lapar dan dahaga, melainkan justru saat jelang berbuka. Kita sering dibuat “kalap”, ingin rasanya menyantap semua menu berbukasepuasnya.
Secara teori, kebutuhan pangan pada bulan Ramadhan akan mengalami penurunan karena perubahan pola konsumsi. Pada bulan tersebut, orang yang berpuasa makan dua kali sehari, saat sahur dan buka puasa. Namun pada bulan lainnya, umumnya mereka terbiasa makan tiga kali sehari. Seharusnya kebutuhan pangan juga ikut menurun. Tapi faktanya tidak demikian. Permintaan pangan pada bulan Ramadhan dan jelang Lebaran cenderung meningkat, pada akhirnya menggerek tingkat konsumsi.
Saat umat muslim di seluruh dunia bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan, ada kecenderungan jika makna bulan puasa akan bergeser dari bulan puasa (fasting), menjadibulan berpesta(feasting).Sudah tradisi, aneka menu disajikan saat bulan puasa lebih bervariasi dan lebih lengkap bahkan berlebih. Saat berbuka mereka cenderung terobsesi menyiapkan beragam hidangan melebihi kapasitas perut. Kelebihan makanan disimpan di kulkas untuk persediaan stokmenu sahur. Tidak jarang, makanan yang disimpantersebut menjadi basi dan dengan gampangnya kita membuang ke tempat sampah tanpa merasa bersalah. Salah satu contoh sederhana pemborosan pangan (food waste).
Data pemborosan pangan global sangat mencengangkan. Badan pangan dunia (FAO) pada 2016 merilis, kehilangan pangan dunia akibat salah pola konsumsi hingga 1,3 miliar ton (USD1 triliun setiap tahun). Jumlah tersebut hampir sepertiga jumlah pangan yang diproduksi dunia. Demikian, upaya peningkatan ketersediaan pangan seharusnya tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga fokus menurunkan kehilangan pangan pada tahap produksi,distribusi, dan konsumsi. Kehilangan pangan di negara berkembang lebih banyak pada tahappre-consumption, sementara di negara maju lebih banyak terjadi pada tahapconsumption(FAO, 2018).
Setali tiga uang, Indonesia tidak luput dari tradisi “buang-buang makanan”. Mengutip dari lamanThe Economist Intelligence Unit pada 2016, orang Indonesia rata-rata menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per orang tiap tahun, setara 13 juta ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagairunner-uppemborosan makanan setelah Arab Saudi (427 kg) makanan per tahun. Sejalan dengan itu, hasil kajianParongpong Waste Managementtahun lalu, menyebut di Jakarta saja ada tambahan 200 ton sampah saat Ramadhan, belum daerah lainnya.
Pemborosan pangan pada beras di Indonesia menjadi sorotan karena beras merupakan bahan makanan pokok. Kehilangan beras juga terjadi pada tahap konsumsi (food waste). Hal ini berkaitan dengan perilaku konsumen dalam memperlakukan makanan yang dikonsumsi sehari-hari itu. Temuan FAO (2014) menyebut kehilangan beras pada saat konsumsi dapat terjadi pada berbagai tingkatan meliputi institusi pemerintahan, nonpemerintahan, ataupun level rumah tangga.
Rumah tangga merupakan salah satu penyumbang food wastedi Indonesia. Fenomena tersebut merupakan hasil hubungan yang kompleks dari proses perencanaan, pembelian, penyimpanan, penyiapan, hingga konsumsi makanan. Jumlahfood wasteberas pada tingkat rumah tangga Indonesia kurun 2010–2014 rata-rata lebih dari 800.000 ton per tahun.
Food wasteberas terjadi juga di restoran sebagai salah satu tempat makan favorit penduduk Indonesia. Temuan Anriany dan Martianto (2013) menyebut wastenasi yang dihasilkan restoran Sunda lebih besar daripada restoran Padang yaitu sebesar 1,5 kg/kap/tahun pada restoran Sunda dan 0,5 kg/kap/tahun pada restoran Padang.Wastenasi terbanyak adalah yang dikonsumsi wanita, tingkat pendidikan S-2, level pendapatan di bawah Rp2 juta. Mengacu pada harga beras saat ini kerugian yang ditimbulkanfood wastekomoditas beras di restoran di Indonesia ditaksir lebih Rp5,7 miliar per tahun.
Populasi penduduk Indonesia 260 jutaan (BPS, 2017). Jika dalam sehari membuang sebutir nasi setiap makan atau tiga butir untuk 3 kali makan, maka setiap hari ada 3 butir dikalikan 260 juta atau 780 juta butir nasi terbuang. Hasil perhitungan Yulia (2010) setiap 1 kg beras terdapat sekitar 50.000 butir beras. Jika dihitung 780 juta dibagi 50.000 setara 15,6 ton beras terbuang tiap hari. Bila 1 kg cukup untuk makan 10 orang, maka 15,6 ton x 10 orang maka ada 156.000 orang bisa diberi makan tiap hari.
Ada kebiasaan sebagian besar orang Islam bila belanja, tidak sesuai dengan kebutuhan pokok sepanjang Ramadhan. Mereka belanja atau memasak makanan yang baru, sementara masih ada makanan layak konsumsi dengan cukup dihangatkan saja.Hal lainnya yang kerap menyebabkan makanan terbuang percuma selama Ramadhan, yakni tradisi rutin semisal buka puasa bersama. Restoran, hotel, ataupun masjid, acara buka bersama kerap berakhir jadi pemborosan makanan.
Beragam menu dihidangkan dalam jumlah banyak, sementara kemampuan daya cerna segitu-segitu saja. Dengan jargonall you can eat, restoran dan hotel menyediakan menu prasmanan porsi lebih banyak dari perkiraan. Semestinya, bisa dikalkulasi daya tampung perut mereka, supaya makanan yang akan terbuangbisa dikurangi. Dampak terburuk dari sampah makanan menyebabkan kerusakan lingkungan, meningkatnya gas metana, pemborosan, ancaman krisis pangan, hingga vektor penyakit yang mengantar virus, lalat dan tikus.
Ibadah puasa selayaknya dijadikan momentum untuk mengubah pola makan kita selama ini yang tidak sehat, diubah dengan mencontoh pola makan ala Rasulullah SAW : makan menu yang halal dan sehat (halalan thayyiban) dan tidak berlebihan. Rasulullah berbuka puasa dengan kurma dan air putih. Gizi kurma mengandung gula sederhana yang mudah dicerna oleh tubuh. Setelah seharian berpuasa adalah sangat keliru kalau kita berbuka dengan makanan yang mengandung gula kompleks dalam jumlah yang banyak. Tubuh kita menjadi rentan penyakit karena perilakumakan yang salah saat berbuka berpuasa dengan mengonsumsimakanan secara berlebih.
Momentum puasa mengajarkan kita untuk menjadi insan takwa secara individu dansosial (kolektif).Padapuasa Ramadhan inilah kesempatan kita meninggalkan kebiasaan buruk membuang-buang makanan karena berbelanja dan mengonsumsi pangan secara berlebihan. Kita kendalikan nafsu belanja pangan berlebih agar tak berakhir menjadi hal mubazir. Tidak jarang, dengan iming-imingsale,dan diskon sering membuat kita “lapar mata”. Kelebihan rezeki, sebaiknya sisihkan untuk membantu 19,4 juta orang saudara kita yang masih menderita rawan pangan.
Puasa Ramadhan dapat dijadikan pijakan awal untuk meningkatkan kesadaran pentingnya berhemat dan cermat terhadap pangan. Marilah kita bijak dalam mengonsumsi makanan dan cerdas mengelola pangan agar jumlah sampah makanan yang terbuang semakin berkurang. Kampanye hemat pangan dimulai diri sendiri, keluarga,lingkungan,dan peran pemangku kebijakansangat penting dalam perbaikankonsumsi pangan Indonesia.
Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB
PADA hakikatnya, puasa Ramadhan adalah upaya menahanrasa lapar, dahaga, dan meredamhawa nafsu yang membatalkannya. Namun pada praktiknya pengendalian nafsu lebih sulit bukan saat kita berpuasa menahan lapar dan dahaga, melainkan justru saat jelang berbuka. Kita sering dibuat “kalap”, ingin rasanya menyantap semua menu berbukasepuasnya.
Secara teori, kebutuhan pangan pada bulan Ramadhan akan mengalami penurunan karena perubahan pola konsumsi. Pada bulan tersebut, orang yang berpuasa makan dua kali sehari, saat sahur dan buka puasa. Namun pada bulan lainnya, umumnya mereka terbiasa makan tiga kali sehari. Seharusnya kebutuhan pangan juga ikut menurun. Tapi faktanya tidak demikian. Permintaan pangan pada bulan Ramadhan dan jelang Lebaran cenderung meningkat, pada akhirnya menggerek tingkat konsumsi.
Saat umat muslim di seluruh dunia bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan, ada kecenderungan jika makna bulan puasa akan bergeser dari bulan puasa (fasting), menjadibulan berpesta(feasting).Sudah tradisi, aneka menu disajikan saat bulan puasa lebih bervariasi dan lebih lengkap bahkan berlebih. Saat berbuka mereka cenderung terobsesi menyiapkan beragam hidangan melebihi kapasitas perut. Kelebihan makanan disimpan di kulkas untuk persediaan stokmenu sahur. Tidak jarang, makanan yang disimpantersebut menjadi basi dan dengan gampangnya kita membuang ke tempat sampah tanpa merasa bersalah. Salah satu contoh sederhana pemborosan pangan (food waste).
Data pemborosan pangan global sangat mencengangkan. Badan pangan dunia (FAO) pada 2016 merilis, kehilangan pangan dunia akibat salah pola konsumsi hingga 1,3 miliar ton (USD1 triliun setiap tahun). Jumlah tersebut hampir sepertiga jumlah pangan yang diproduksi dunia. Demikian, upaya peningkatan ketersediaan pangan seharusnya tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga fokus menurunkan kehilangan pangan pada tahap produksi,distribusi, dan konsumsi. Kehilangan pangan di negara berkembang lebih banyak pada tahappre-consumption, sementara di negara maju lebih banyak terjadi pada tahapconsumption(FAO, 2018).
Setali tiga uang, Indonesia tidak luput dari tradisi “buang-buang makanan”. Mengutip dari lamanThe Economist Intelligence Unit pada 2016, orang Indonesia rata-rata menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per orang tiap tahun, setara 13 juta ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagairunner-uppemborosan makanan setelah Arab Saudi (427 kg) makanan per tahun. Sejalan dengan itu, hasil kajianParongpong Waste Managementtahun lalu, menyebut di Jakarta saja ada tambahan 200 ton sampah saat Ramadhan, belum daerah lainnya.
Pemborosan pangan pada beras di Indonesia menjadi sorotan karena beras merupakan bahan makanan pokok. Kehilangan beras juga terjadi pada tahap konsumsi (food waste). Hal ini berkaitan dengan perilaku konsumen dalam memperlakukan makanan yang dikonsumsi sehari-hari itu. Temuan FAO (2014) menyebut kehilangan beras pada saat konsumsi dapat terjadi pada berbagai tingkatan meliputi institusi pemerintahan, nonpemerintahan, ataupun level rumah tangga.
Rumah tangga merupakan salah satu penyumbang food wastedi Indonesia. Fenomena tersebut merupakan hasil hubungan yang kompleks dari proses perencanaan, pembelian, penyimpanan, penyiapan, hingga konsumsi makanan. Jumlahfood wasteberas pada tingkat rumah tangga Indonesia kurun 2010–2014 rata-rata lebih dari 800.000 ton per tahun.
Food wasteberas terjadi juga di restoran sebagai salah satu tempat makan favorit penduduk Indonesia. Temuan Anriany dan Martianto (2013) menyebut wastenasi yang dihasilkan restoran Sunda lebih besar daripada restoran Padang yaitu sebesar 1,5 kg/kap/tahun pada restoran Sunda dan 0,5 kg/kap/tahun pada restoran Padang.Wastenasi terbanyak adalah yang dikonsumsi wanita, tingkat pendidikan S-2, level pendapatan di bawah Rp2 juta. Mengacu pada harga beras saat ini kerugian yang ditimbulkanfood wastekomoditas beras di restoran di Indonesia ditaksir lebih Rp5,7 miliar per tahun.
Populasi penduduk Indonesia 260 jutaan (BPS, 2017). Jika dalam sehari membuang sebutir nasi setiap makan atau tiga butir untuk 3 kali makan, maka setiap hari ada 3 butir dikalikan 260 juta atau 780 juta butir nasi terbuang. Hasil perhitungan Yulia (2010) setiap 1 kg beras terdapat sekitar 50.000 butir beras. Jika dihitung 780 juta dibagi 50.000 setara 15,6 ton beras terbuang tiap hari. Bila 1 kg cukup untuk makan 10 orang, maka 15,6 ton x 10 orang maka ada 156.000 orang bisa diberi makan tiap hari.
Ada kebiasaan sebagian besar orang Islam bila belanja, tidak sesuai dengan kebutuhan pokok sepanjang Ramadhan. Mereka belanja atau memasak makanan yang baru, sementara masih ada makanan layak konsumsi dengan cukup dihangatkan saja.Hal lainnya yang kerap menyebabkan makanan terbuang percuma selama Ramadhan, yakni tradisi rutin semisal buka puasa bersama. Restoran, hotel, ataupun masjid, acara buka bersama kerap berakhir jadi pemborosan makanan.
Beragam menu dihidangkan dalam jumlah banyak, sementara kemampuan daya cerna segitu-segitu saja. Dengan jargonall you can eat, restoran dan hotel menyediakan menu prasmanan porsi lebih banyak dari perkiraan. Semestinya, bisa dikalkulasi daya tampung perut mereka, supaya makanan yang akan terbuangbisa dikurangi. Dampak terburuk dari sampah makanan menyebabkan kerusakan lingkungan, meningkatnya gas metana, pemborosan, ancaman krisis pangan, hingga vektor penyakit yang mengantar virus, lalat dan tikus.
Ibadah puasa selayaknya dijadikan momentum untuk mengubah pola makan kita selama ini yang tidak sehat, diubah dengan mencontoh pola makan ala Rasulullah SAW : makan menu yang halal dan sehat (halalan thayyiban) dan tidak berlebihan. Rasulullah berbuka puasa dengan kurma dan air putih. Gizi kurma mengandung gula sederhana yang mudah dicerna oleh tubuh. Setelah seharian berpuasa adalah sangat keliru kalau kita berbuka dengan makanan yang mengandung gula kompleks dalam jumlah yang banyak. Tubuh kita menjadi rentan penyakit karena perilakumakan yang salah saat berbuka berpuasa dengan mengonsumsimakanan secara berlebih.
Momentum puasa mengajarkan kita untuk menjadi insan takwa secara individu dansosial (kolektif).Padapuasa Ramadhan inilah kesempatan kita meninggalkan kebiasaan buruk membuang-buang makanan karena berbelanja dan mengonsumsi pangan secara berlebihan. Kita kendalikan nafsu belanja pangan berlebih agar tak berakhir menjadi hal mubazir. Tidak jarang, dengan iming-imingsale,dan diskon sering membuat kita “lapar mata”. Kelebihan rezeki, sebaiknya sisihkan untuk membantu 19,4 juta orang saudara kita yang masih menderita rawan pangan.
Puasa Ramadhan dapat dijadikan pijakan awal untuk meningkatkan kesadaran pentingnya berhemat dan cermat terhadap pangan. Marilah kita bijak dalam mengonsumsi makanan dan cerdas mengelola pangan agar jumlah sampah makanan yang terbuang semakin berkurang. Kampanye hemat pangan dimulai diri sendiri, keluarga,lingkungan,dan peran pemangku kebijakansangat penting dalam perbaikankonsumsi pangan Indonesia.
(thm)