Memupuk Spirit Kebangkitan Nasional

Senin, 20 Mei 2019 - 08:15 WIB
Memupuk Spirit Kebangkitan...
Memupuk Spirit Kebangkitan Nasional
A A A
Sarkawi B Husain
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga

KESADARAN berbangsa atau yang lebih sering disebut nasionalisme dalam berbagai perspektifnya tidak pernah kehilangan relevansi untuk dibicarakan. Terlebih dalam situasi kekinian di mana ketika satu luka bangsa belum sembuh, muncul luka baru, baik konflik antarelite maupun konflik antarkelompok.
Kondisi ini diperparah oleh musibah yang tidak henti-hentinya melanda negeri yang amat kita cintai ini. Di tengah kesibukan menangani berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi yang terjadi di berbagai daerah, kita disuguhi pertikaian elite yang tiada hentinya.
Kita seolah tidak diberi jeda sedikit pun untuk bernapas. Jeda untuk merenungkan apa arti semua bencana yang melanda negeri ini. Oleh karena itu usia lebih dari seabad Kebangkitan Nasional pada 20 Mei ini hendaknya menjadi momentum yang sangat baik untuk merenungkan––meminjam kalimat Taufik Abdullah (1995)––harga yang harus dibayar bagi kemerdekaan ini. Tentu tidak kalah penting adalah harga yang harus dibayar atas berbagai musibah yang menimpa bangsa Indonesia selama ini.
Membicarakan Hari Kebangkitan Nasional––pada tahun 1950-an disebut dengan Kebangunan Nasional––tidak dapat dipisahkan dari dua tokoh penting ini, dr Wahidin Soedirohusodo dan Soetomo. Dr Wahidin yang lahir di Desa Mlati, Yogyakarta, pada 7 Januari 1852 merupakan tokoh Jawa senior yang bercita-cita dan terus-menerus mempropagandakan gagasan kebangkitan Jawa, sedangkan Soetomo yang lahir di Ngepah, Nganjuk, pada 30 Juli 1888 merupakan angkatan muda Jawa yang mewujudkan gagasan tersebut dalam bentuk yang konkret berupa organisasi Boedi Oetomo (Kaisiepo, 2000: 673; Antara, 3/12/1951).
Jebakan Rutinitas

Kontroversi lahirnya organisasi Boedi Oetomo sebagai tonggak kebangkitan nasional hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Akan tetapi saya sependapat dengan Kaisiepo bahwa kontroversi tersebut dapat diakhiri dengan menyadari bahwa penetapan patokan waktu itu lebih merupakan usaha memberi makna simbolis-politis semata, bukan terutama sebagai hasil rekonstruksi sejarah secara ilmiah (Kaisiepo, 2000: 673).

Oleh karena itu, serangkaian peringatan ataupun renungan bukan tidak boleh dilakukan. Persoalannya adalah kita sering kali terjebak pada rutinitas semacam itu sehingga penggalian nilai dan maknanya justru menjadi hilang. Dengan demikian niat awal untuk menemukan spirit dari momen tersebut justru tidak didapatkan. Itulah sebabnya almarhum Ong Hok Ham (sejarawan) ketika ditanya apakah orang dapat belajar dari sejarah? Jawaban beliau selalu, “Sayang, rupanya tidak.” Sebab, katanya, kalau kita dapat belajar dari sejarah, kita semua akan lebih bahagia dan sentosa (Chambert-Loir & Ambary, 1999: 602).

Pernyataan Ong adalah sindiran atau satire atas semangat kita untuk memperingati setiap hari bersejarah (termasuk Hari Kebangkitan Nasional), tetapi lupa dan luput memetik pelajaran darinya. Padahal berbagai momentum sejarah menyimpan banyak pembelajaran tentang bagaimana membangun bangsa ini. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan momentum sejarah untuk perbaikan kualitas hidup rakyat seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.

Di tengah aktivitas yang sangat padat, kita memang membutuhkan jeda untuk merenung dan memikirkan sudah sejauh mana perjalanan yang kita tempuh dan apa yang telah diperoleh dari perjalanan tersebut. Salah satu pelajaran penting dari sejarah adalah bagaimana menghargai proses.

Hal ini penting mengingat kehidupan dewasa ini selalu mengajarkan agar melihat hasil. Akibatnya adalah menghalalkan segala cara pun tidak sungkan-sungkan untuk dilakukan. Akibat lain dari orientasi kehidupan semacam ini adalah munculnya berbagai klaim dari kelompok tertentu atas prestasi yang dicapai bangsa dan menafikan peran dari elemen-elemen lainnya, termasuk elemen yang diklaim sebagai kelompok marginal.

Spirit Kebangkitan Nasional

Kelahiran Boedi Oetomo lebih dari seabad lalu telah ikut memberikan kontribusi penting bagi munculnya benih-benih nasionalisme Indonesia modern. Berbagai organisasi penting setelah Boedi Oetomo muncul bak cendawan di musim hujan. Dengan kata lain, dia telah menginspirasi banyak tokoh untuk memikirkan lebih serius nasib bangsa melalui organisasi yang lebih modern.

Oleh karena itu, di tengah berbagai soal yang tidak henti-hentinya melanda bangsa ini, peringatan Hari Kebangkitan Nasional mestinya menjadi spirit yang terus kita pupuk sehingga dapat melahirkan tokoh-tokoh baru yang tidak mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Namun tokoh-tokoh baru tersebut hanya dapat ditemukan jika kita tidak lagi terjebak pada rutinitas peringatan yang tidak jarang menghabiskan dana dan energi yang tidak sedikit.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0629 seconds (0.1#10.140)