Menanti Kiprah Zohri di Olimpiade 2020
A
A
A
LALU Muhammad Zohri. Nama ini tak henti-hentinya membuat kejutan. Prestasi demi prestasi terus diukir oleh sprinter muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat ini. Terbaru, Zohri sukses merebut medali perunggu nomor lari bergengsi 100 meter putra pada Golden Grand Prix Osaka 2019 di Jepang, Minggu (19/5/2019). Di ajang tersebut, Zohri bertarung dengan sejumlah pelari elite dunia, termasuk di antaranya juara dunia asal Amerika Serikat, Justin Gatlin.
Meski berlari dari lintasan paling pinggir; sembilan, Zohri tetap melesat cepat. Dia berhasil finis di urutan ketiga dengan catatan waktu 10,03 detik. Dia hanya terpaut 0,3 detik dari Justin Gatlin yang merebut medali emas dengan waktu 10.00 detik. Medali perak diraih Yoshihide Kiryu asal Jepang dengan waktu 10,01 detik.
Catatan waktu Zohri ini membuatnya otomatis merebut tiket Olimpiade Tokyo 2020. Syarat bagi pelari untuk berlaga di nomor 100 meter olimpiade adalah menembus waktu di bawah 10,05 detik. Catatan waktu terbaru Zohri ini sekaligus mempertajam rekor nasional dan Asia Tenggara atas namanya sendiri yang dicatat pada Kejuaraan Asia Atletik 2019 di Doh, Qatar, pada April lalu dengan catatan waktu 10,13 detik.
Luar biasa Zohri. Dia mencatatkan dirinya dalam buku sejarah sebagai sprinter ketiga Indonesia yang berlaga di olimpiade. Sebelumnya dua sprinter nasional lebih dulu membela panji Merah Putih di ajang olahraga terbesar sejagat, yakni Mohammad Yuhdi Wijaya Purnomo, di Olimpiade Los Angeles 1984 dan Mardi Lestari di Olimpiade Seoul 1988. Butuh waktu lebih 20 tahun bagi Indonesia untuk bisa mengirimkan sprinternya berlaga di olimpiade.
Hal yang membanggakan dari pemuda kelahiran 1 Juli 2000 ini adalah perkembangannya yang sangat pesat. Dia mempertajam catatan waktunya dalam tempo singkat. Saat meraih emas pada Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Tampere Finlandia pada Juli 2018, dia mencatat waktu 10,18 detik.
Kurang dari setahun, dia sudah menembus limit olimpiade. Zohri belum akan berhenti, dia masih akan terus melesat. Bahkan, bukan mustahil kita kembali akan dibuat terkejut ketika suatu hari dia masuk jajaran sprinter elite dunia yang mampu menembus waktu di bawah 10 detik. Prestasi Zohri ibarat oase di tengah kemarau prestasi atlet kita, khususnya cabang atletik.
Melalui Zohri, anak-anak muda Indonesia bisa belajar bagaimana mewujudkan mimpi. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika dijalani dengan tekun dan sungguh-sungguh. Zohri lahir dari keluarga kurang mampu. Dia tumbuh besar di sebuah desa di NTB dengan segala keterbatasan fasilitas.
Kedua orang tuanya meninggal dunia saat dia masih di bangku SD. Baiq Fazilla, kakak kandung Zohri, bercerita, setahun sebelum Zohri merebut emas Kejuaraan Dunia Junior, dia meminta kepada kakaknya untuk membelikannya sepatu lari seharga Rp400.000.
Tekad kuat dan semangat juang modal utama Zohri. Dia mengorbankan masa remajanya hanya untuk fokus pada dua hal; berlatih dan bertanding. Dia melihat keterbatasan tidak sebagai penghalang, melainkan tantangan untuk ditaklukkan. Kini satu per satu mimpinya ia retas, termasuk berlaga di olimpiade.
Saatnya kini PB PASI fokus menyiapkan Zohri untuk berlaga di olimpiade. Sebisa mungkin fokus latihan dan bertanding tidak terbagi untuk hal lainnya. Kepada pemangku kepentingan di negeri ini juga dibutuhkan dukungannya. Jangan pernah ada yang menjadikan capaian anak bangsa seperti ini sebagai komoditas politik.
Melalui Zohri, kita juga layak berbangga sebagai bangsa yang ternyata mampu melahirkan talenta hebat untuk nomor atletik paling bergengsi. Jika pembinaan usia dini bisa dilakukan dengan baik dan berkesinambungan, kita yakin akan mampu melahirkan “Zohri-Zohri” baru di masa depan.
Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah yang terus memantau bakat-bakat terpendam di daerah untuk kemudian diorbitkan ke level nasional, regional, bahkan dunia. Indonesia terdiri atas 17.000 pulau. Nun jauh di pedalaman sangat banyak talenta-talenta muda yang siap diasah. Tinggal keseriusan pemerintah melalui induk organisasi olahraga untuk memantau, membina, dan mengorbitkan bakat-bakat alam tersebut menjadi bintang di masa depan.
Meski berlari dari lintasan paling pinggir; sembilan, Zohri tetap melesat cepat. Dia berhasil finis di urutan ketiga dengan catatan waktu 10,03 detik. Dia hanya terpaut 0,3 detik dari Justin Gatlin yang merebut medali emas dengan waktu 10.00 detik. Medali perak diraih Yoshihide Kiryu asal Jepang dengan waktu 10,01 detik.
Catatan waktu Zohri ini membuatnya otomatis merebut tiket Olimpiade Tokyo 2020. Syarat bagi pelari untuk berlaga di nomor 100 meter olimpiade adalah menembus waktu di bawah 10,05 detik. Catatan waktu terbaru Zohri ini sekaligus mempertajam rekor nasional dan Asia Tenggara atas namanya sendiri yang dicatat pada Kejuaraan Asia Atletik 2019 di Doh, Qatar, pada April lalu dengan catatan waktu 10,13 detik.
Luar biasa Zohri. Dia mencatatkan dirinya dalam buku sejarah sebagai sprinter ketiga Indonesia yang berlaga di olimpiade. Sebelumnya dua sprinter nasional lebih dulu membela panji Merah Putih di ajang olahraga terbesar sejagat, yakni Mohammad Yuhdi Wijaya Purnomo, di Olimpiade Los Angeles 1984 dan Mardi Lestari di Olimpiade Seoul 1988. Butuh waktu lebih 20 tahun bagi Indonesia untuk bisa mengirimkan sprinternya berlaga di olimpiade.
Hal yang membanggakan dari pemuda kelahiran 1 Juli 2000 ini adalah perkembangannya yang sangat pesat. Dia mempertajam catatan waktunya dalam tempo singkat. Saat meraih emas pada Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Tampere Finlandia pada Juli 2018, dia mencatat waktu 10,18 detik.
Kurang dari setahun, dia sudah menembus limit olimpiade. Zohri belum akan berhenti, dia masih akan terus melesat. Bahkan, bukan mustahil kita kembali akan dibuat terkejut ketika suatu hari dia masuk jajaran sprinter elite dunia yang mampu menembus waktu di bawah 10 detik. Prestasi Zohri ibarat oase di tengah kemarau prestasi atlet kita, khususnya cabang atletik.
Melalui Zohri, anak-anak muda Indonesia bisa belajar bagaimana mewujudkan mimpi. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika dijalani dengan tekun dan sungguh-sungguh. Zohri lahir dari keluarga kurang mampu. Dia tumbuh besar di sebuah desa di NTB dengan segala keterbatasan fasilitas.
Kedua orang tuanya meninggal dunia saat dia masih di bangku SD. Baiq Fazilla, kakak kandung Zohri, bercerita, setahun sebelum Zohri merebut emas Kejuaraan Dunia Junior, dia meminta kepada kakaknya untuk membelikannya sepatu lari seharga Rp400.000.
Tekad kuat dan semangat juang modal utama Zohri. Dia mengorbankan masa remajanya hanya untuk fokus pada dua hal; berlatih dan bertanding. Dia melihat keterbatasan tidak sebagai penghalang, melainkan tantangan untuk ditaklukkan. Kini satu per satu mimpinya ia retas, termasuk berlaga di olimpiade.
Saatnya kini PB PASI fokus menyiapkan Zohri untuk berlaga di olimpiade. Sebisa mungkin fokus latihan dan bertanding tidak terbagi untuk hal lainnya. Kepada pemangku kepentingan di negeri ini juga dibutuhkan dukungannya. Jangan pernah ada yang menjadikan capaian anak bangsa seperti ini sebagai komoditas politik.
Melalui Zohri, kita juga layak berbangga sebagai bangsa yang ternyata mampu melahirkan talenta hebat untuk nomor atletik paling bergengsi. Jika pembinaan usia dini bisa dilakukan dengan baik dan berkesinambungan, kita yakin akan mampu melahirkan “Zohri-Zohri” baru di masa depan.
Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah yang terus memantau bakat-bakat terpendam di daerah untuk kemudian diorbitkan ke level nasional, regional, bahkan dunia. Indonesia terdiri atas 17.000 pulau. Nun jauh di pedalaman sangat banyak talenta-talenta muda yang siap diasah. Tinggal keseriusan pemerintah melalui induk organisasi olahraga untuk memantau, membina, dan mengorbitkan bakat-bakat alam tersebut menjadi bintang di masa depan.
(whb)