Bakamla Bangun Markas Besar untuk Pantau Perairan Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Badan Keamanan Laut (Bakamla) tengah mengembangkan arsitektur kekuatan dan kemampuannya sebagai coast guard. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung penegakkan hukum di laut.
Hal itu disampaikan Kepala Bakamla Laksamana Madya Ahmad Taufiq R saat memberikan kuliah umum dengan tema Kompleksitas Tugas Badan Keamanan Laut Dalam Mengemban Fungsi Coast Guard Di Indonesia, di hadapan Perwira Mahasiswa Dikreg Seskoal Angkatan ke-57, Perwira Siswa Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-14 TA 2019 di Seskoal, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).
"Kemampuan yang harus kita kembangkan ada tiga tahapan. Pertama, kita harus mampu melakukan pengawasan atau surveillance. Setelah itu, mampu melakukan pencegahan terhadap pelanggaran. Terakhir harus mampu melakukan penindakan," kata Ahmad Taufik.
Dia menjelaskan, saat ini Indonesia belum memiliki kemampuan pengawasan sehingga kapal-kapal yang masuk ke dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) tidak dapat diawasi.
"Bayangkan sekarang ada yang masuk ALKI ada yang tahu enggak, kemudian di perairan ada penyimpangan ada yang tahu? Tidak ada yang tahu, kita hanya mengandalkan kapal-kapal patroli," katanya.
Dia menyebut, Indonesia memiliki empat dari total sembilan check poin di dunia yang memiliki posisi sangat strategis. Di antaranya, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Omboi. Sayangnya, keempat perairan tersebut tidak memiliki fasilitas pengawasan yang memadai.
"Laut itu tidak bisa dipagari, laut tidak bisa diduduki. Dia hanya bisa dikendalikan. Pengendalian paling efektif adalah kita bisa mendeploy kekuatan pada waktu dan posisi yang tepat. Nah itu melalui pendeteksian dari surveillance," katanya.
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut ini menjelaskan, untuk mewujudkan hal tersebut, pihaknya menargetkan pembangunan infrastruktur berupa markas besar di empat check point pada tahun depan.
"Jadi orang yang masuk ke Selat Malaka minimal kita tahu dulu sehingga kalau ada penyimpangan kita bisa langsung protes. Kalau sekarangkan kita enggak tahu. Oleh karena itu saya bangun arsitekturnya dulu," ungkapnya.
"Kita harus punya situs senter di markas besar yang didukung oleh coastal station dan mobile station yang bisa mendeteksi baik permukaan maupun bawah air. Alatnya, bisa sensor bawah air, sensor permukaan. Jenisnya bisa radar, elektro optic, infrared, drone macam-macam," sambungnya.
Pada tahun kedua, kata dia, pembangunan infrastruktur dilakukan di mulut ALKI seperti di perairan Natuna, Talaud dan Selat Makassar. Kemudian di tahun ketiga, pembangunan infrastruktur dilakukan di tengah perairan Indonesia.
"Tahun Keempat dan kelima baru kita bangun poin-poin yang penting misalnya di Merauke, Jayapura. Itu kita back up dengan mobile station. Artinya ada kapal-kapal yang punya kemampuan sama denga markas besar, minimal enam kapal yang beroperasi," ucapnya.
Mantan Asrena KSAL ini menambahkan, infrastruktur yang dibangun tersebut nantinya memiliki big data yang akan terhubung dengan stakeholder tidak hanya di dalam negeri tapi juga di berbagai negara di dunia.
"Saya sudah keliling ke Yunani, Turki, Bahrain, India Malaysia, Singapura, Vietnam dan sebagainya. Bulan depan saya ke Amerika Serikat dan Filipina untuk membangun itu," katanya.
Mantan Panglima Komando Armada l ini menjelaskan, dalam kunjungannya tersebut, dirinya menyampaikan adanya ancaman yang sama seperti terorisme di laut, aktivitas ilegal dan lainnya."Kita tidak bisa menghadapinya sendirian, kita harus bekerja sama. Salah satunya berbagi informasi. Kita tahu situasi pada region lain akan berpengaruh kepada region yang lain. Perbatasan wilayah laut yang masih belum jelas, keberadaan coast guard sangat penting karena lebih soft," katanya.
Apalagi dalam iklim demokrasi seperti sekarang ini dimana negara-negara di dunia alergi jika tentara ikut dalam penegakkan hukum. Untuk itu, peran penjaga laut dan pantai (coast guard) yang dijalankan Bakamla sangat penting dalam penegakkan hukum di laut.Sementara itu, Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Danseskoal) Laksda TNI Amarulla Octavian menyebut hukum internasional telah memberikan kewenangan kepada coast guard di seluruh dunia untuk melaksankan fungsi penegakkan hukum di laut.
Berdasarkan hukum internasional Unclos 1982, tercantum bahwa penegakkan hukum adalah kewenangan coast guard sedangkan penegakkan kedaulatan adalah angkatan laut.
"Jadi dikenal kedua itu, yakni, warship sebagai kapal negara dan cost guard sebagai kapal pemerintah. Sekarang bagaimana agar supaya kapal-kapal dari berbagai institusi bersama-sama menjadi satu dalam coast guard," ujarnya.
Hasil penelitian di Seskoal, kata Octavian, belum adan penanganan komprehensif terkait kegiatan ilegal di laut.
"Jadi bagaimana 13 institusi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, Polri, Kejaksaan, Bakamla menjelma menjadi coast guard. Jika semua terintegrasi Bakamla adalah coast guard terbesar se Asia Tenggara. Yang penting kita membuka diri dan mau bekerja sama sebab kalau jalan sendiri-sendiri di Indonesia berat," tuturnya.
Hal itu disampaikan Kepala Bakamla Laksamana Madya Ahmad Taufiq R saat memberikan kuliah umum dengan tema Kompleksitas Tugas Badan Keamanan Laut Dalam Mengemban Fungsi Coast Guard Di Indonesia, di hadapan Perwira Mahasiswa Dikreg Seskoal Angkatan ke-57, Perwira Siswa Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-14 TA 2019 di Seskoal, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).
"Kemampuan yang harus kita kembangkan ada tiga tahapan. Pertama, kita harus mampu melakukan pengawasan atau surveillance. Setelah itu, mampu melakukan pencegahan terhadap pelanggaran. Terakhir harus mampu melakukan penindakan," kata Ahmad Taufik.
Dia menjelaskan, saat ini Indonesia belum memiliki kemampuan pengawasan sehingga kapal-kapal yang masuk ke dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) tidak dapat diawasi.
"Bayangkan sekarang ada yang masuk ALKI ada yang tahu enggak, kemudian di perairan ada penyimpangan ada yang tahu? Tidak ada yang tahu, kita hanya mengandalkan kapal-kapal patroli," katanya.
Dia menyebut, Indonesia memiliki empat dari total sembilan check poin di dunia yang memiliki posisi sangat strategis. Di antaranya, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Omboi. Sayangnya, keempat perairan tersebut tidak memiliki fasilitas pengawasan yang memadai.
"Laut itu tidak bisa dipagari, laut tidak bisa diduduki. Dia hanya bisa dikendalikan. Pengendalian paling efektif adalah kita bisa mendeploy kekuatan pada waktu dan posisi yang tepat. Nah itu melalui pendeteksian dari surveillance," katanya.
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut ini menjelaskan, untuk mewujudkan hal tersebut, pihaknya menargetkan pembangunan infrastruktur berupa markas besar di empat check point pada tahun depan.
"Jadi orang yang masuk ke Selat Malaka minimal kita tahu dulu sehingga kalau ada penyimpangan kita bisa langsung protes. Kalau sekarangkan kita enggak tahu. Oleh karena itu saya bangun arsitekturnya dulu," ungkapnya.
"Kita harus punya situs senter di markas besar yang didukung oleh coastal station dan mobile station yang bisa mendeteksi baik permukaan maupun bawah air. Alatnya, bisa sensor bawah air, sensor permukaan. Jenisnya bisa radar, elektro optic, infrared, drone macam-macam," sambungnya.
Pada tahun kedua, kata dia, pembangunan infrastruktur dilakukan di mulut ALKI seperti di perairan Natuna, Talaud dan Selat Makassar. Kemudian di tahun ketiga, pembangunan infrastruktur dilakukan di tengah perairan Indonesia.
"Tahun Keempat dan kelima baru kita bangun poin-poin yang penting misalnya di Merauke, Jayapura. Itu kita back up dengan mobile station. Artinya ada kapal-kapal yang punya kemampuan sama denga markas besar, minimal enam kapal yang beroperasi," ucapnya.
Mantan Asrena KSAL ini menambahkan, infrastruktur yang dibangun tersebut nantinya memiliki big data yang akan terhubung dengan stakeholder tidak hanya di dalam negeri tapi juga di berbagai negara di dunia.
"Saya sudah keliling ke Yunani, Turki, Bahrain, India Malaysia, Singapura, Vietnam dan sebagainya. Bulan depan saya ke Amerika Serikat dan Filipina untuk membangun itu," katanya.
Mantan Panglima Komando Armada l ini menjelaskan, dalam kunjungannya tersebut, dirinya menyampaikan adanya ancaman yang sama seperti terorisme di laut, aktivitas ilegal dan lainnya."Kita tidak bisa menghadapinya sendirian, kita harus bekerja sama. Salah satunya berbagi informasi. Kita tahu situasi pada region lain akan berpengaruh kepada region yang lain. Perbatasan wilayah laut yang masih belum jelas, keberadaan coast guard sangat penting karena lebih soft," katanya.
Apalagi dalam iklim demokrasi seperti sekarang ini dimana negara-negara di dunia alergi jika tentara ikut dalam penegakkan hukum. Untuk itu, peran penjaga laut dan pantai (coast guard) yang dijalankan Bakamla sangat penting dalam penegakkan hukum di laut.Sementara itu, Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Danseskoal) Laksda TNI Amarulla Octavian menyebut hukum internasional telah memberikan kewenangan kepada coast guard di seluruh dunia untuk melaksankan fungsi penegakkan hukum di laut.
Berdasarkan hukum internasional Unclos 1982, tercantum bahwa penegakkan hukum adalah kewenangan coast guard sedangkan penegakkan kedaulatan adalah angkatan laut.
"Jadi dikenal kedua itu, yakni, warship sebagai kapal negara dan cost guard sebagai kapal pemerintah. Sekarang bagaimana agar supaya kapal-kapal dari berbagai institusi bersama-sama menjadi satu dalam coast guard," ujarnya.
Hasil penelitian di Seskoal, kata Octavian, belum adan penanganan komprehensif terkait kegiatan ilegal di laut.
"Jadi bagaimana 13 institusi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, Polri, Kejaksaan, Bakamla menjelma menjadi coast guard. Jika semua terintegrasi Bakamla adalah coast guard terbesar se Asia Tenggara. Yang penting kita membuka diri dan mau bekerja sama sebab kalau jalan sendiri-sendiri di Indonesia berat," tuturnya.
(dam)