Komisi Yudisial Dorong Pengesahan RUU Jabatan Hakim
A
A
A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) mendorong DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, dengan pengesahan RUU ini, maka akan memperjelas manajemen jabatan hakim.
“Pokok-pokok rancangan mengenai jabatan hakim antara KY, MA, dan Ikatan Hakim Indonesia, manajemen hakim di Indonesia perlu diperbaiki. Manajemen hakim ini terdiri dari bagaimana proses rekrutmen, rotasi, mutasi, hingga pengawasan di bidang etik,” tandas Jayus dalam diskusi media “Melanjutkan Dukungan Pembahasan RUU Jabatan Hakim” di Jakarta, kemarin.
Apalagi, lanjutnya, yang menjadi masalah dalam kehakiman saat ini adalah akutabilitas hakim masih dipertanyakan. Sekarang, menurut dia, baik terhadap putusan hakim di tingkat pertama maupun hakim tinggi masalah akuntabilitasnya masih dipertanyakan. “Keputusan yang tidak akuntabel ini pasti ada gangguan. Misalnya di Balikpapan dijanjikan menerima uang, putusan baik karena ada sebab,” paparnya.
Dari laporan yang diterima KY, misalnya ada putusan praperadilan menyatakan sahnya SP3 atau tidak dilanjutkan dalam proses penyidikan. Namun, sahnya SP3 ini janggal karena pemberkasan belum dilakukan.
“Ini yang membuat akuntabilitas hakim masih dipertanyakan. Bahkan masih banyak hakim yang tidak bisa mengklasifikasikan delik perkara,” ungkapnya. Karena itu, ujar Jayus, perlu dilakukan sistem evaluasi lima tahun sekali.
Jayus mengatakan bahwa usia pensiun, rotasi, dan mutasi hakim juga perlu dipertimbangkan. “Apakah masuk akal pensiun hakim 70 tahun? Ini juga harus dievaluasi lebih lanjut. Kemudian pola rotasi dan mutasi juga perlu dievaluasi. Rotasi yang seperti obat nyamuk itu bagus, misalnya keluarga di Bandung homebase di Bandung kemudian dipindah berputar di wilayah terdekat, itu akan membantu pola rotasi yang cukup baik menurut kami,” paparnya.
Hal ini juga mencegah aspek negatif karena akan dekat dengan keluarga. Serta mencegah terjadinya hakim selingkuh.
Pola seleksi hakim, menurut Jayus, juga perlu dievaluasi untuk meningkatkan kualitas hakim. Sebelum adanya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, proses seleksi hakim dilakukan uji materi terlebih dahulu. Sebetulnya, ada pola yang bagus.
“Dalam sistem pendidikan tinggi telah berlaku uji materi terebih dahulu sebelum menjabat sebagai hakim. Di profesi lain juga hal sama dilakukan. Dari mengikuti jenjang terapan setelah lulus sarjana, sehingga dari pengetahuan cukup matang. Jika ingin menjadi hakim, maka perlu dilakukan seleksi oleh KY dan MA,” tandasnya.
Dengan demikian, maka tingkat kualitas hakim akan bagus. Undang-Undang Jabatan Hakim ini, ujarnya, penting untuk meningkatkan kualitas hakim.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil memastikan bahwa RUU Jabatan hakim yang saat ini sedang dalam proses pembahasan dapat selesai sebelum pergantian periode anggota DPR.
“Dalam waktu dekat kita akan mengundang Menteri Hukum dan HAM untuk segera menyelesaikan undang-undang ini. Kami minta untuk segera diselesaikan di masa periode ini. Karena kalau tidak selesai tidak ada jaminan, jika tidak selesai sangat disayangkan karena akan diulang dari awal dan dana juga sudah digelontorkan,” tandasnya.
Menurut Nasir, ada beberapa kali operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap para hakim. Inilah yang membuat regulasi jabatan hakim perlu segera disahkan. “Untuk mengobatinya adalah melalui regulasi. Dan regulasi ini menjadi landasan pijak untuk kemerdekaan hakim untuk memutuskan putusan tanpa ada tekanan dari pihak manapun,” paparnya.
Nasir juga menyoroti di dalam dunia perhakiman ada satu titik di mana loyalitas dan independensi bertabrakan. Kadang-kadang, menurut dia, ini yang menggerus independensi karena loyalitas. Apalagi, yang menyangkut dengan karier agar tidak terhambat.
“Karena itu, atmosfer di dunia peradilan kita, ada 20 hakim terkena OTT KPK, menunjukkan persoalan serius. Agak repot kita mengurus wakil Tuhan di muka bumi ini karea memang posisinya sangat strategis, apalagi ‘hidup dan mati seseorang ada di tangan hakim’,” paparnya.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar mengungkapkan bahwa pandangan publik terhadap peradilan Indonesia cukup rendah. Bahkan, peradilan di Indonesia juga masih dianggap sebagai institusi yang koruptif oleh publik. “Setelah 20 tahun reformasi, persepsi publik terhadap peradilan Indonesia masih belum berubah dan masih menjadi lembaga yang koruptif,” tandasnya.
Meskipun dalam 6 tahun terakhir ada perkembangan baik terhadap peradilan di Indonesia, namun masih tidak signifikan. Dia juga mengkritisi bahwa independensi hakim juga masih dipertanyakan. “Perkembangan baik itu tidak diiringi oleh tindakan koruptif para individu hakim. Bahkan, masih banyak isu yang didorong oleh lembaga peradilan justru masih rendah. Terutama korupsi, di mana hakim menjadi terkorup di antara polisi ataupun jaksa. Perilaku koruptif hakim pun masih tinggi,” tandasnya. (Binti Mufarida)
“Pokok-pokok rancangan mengenai jabatan hakim antara KY, MA, dan Ikatan Hakim Indonesia, manajemen hakim di Indonesia perlu diperbaiki. Manajemen hakim ini terdiri dari bagaimana proses rekrutmen, rotasi, mutasi, hingga pengawasan di bidang etik,” tandas Jayus dalam diskusi media “Melanjutkan Dukungan Pembahasan RUU Jabatan Hakim” di Jakarta, kemarin.
Apalagi, lanjutnya, yang menjadi masalah dalam kehakiman saat ini adalah akutabilitas hakim masih dipertanyakan. Sekarang, menurut dia, baik terhadap putusan hakim di tingkat pertama maupun hakim tinggi masalah akuntabilitasnya masih dipertanyakan. “Keputusan yang tidak akuntabel ini pasti ada gangguan. Misalnya di Balikpapan dijanjikan menerima uang, putusan baik karena ada sebab,” paparnya.
Dari laporan yang diterima KY, misalnya ada putusan praperadilan menyatakan sahnya SP3 atau tidak dilanjutkan dalam proses penyidikan. Namun, sahnya SP3 ini janggal karena pemberkasan belum dilakukan.
“Ini yang membuat akuntabilitas hakim masih dipertanyakan. Bahkan masih banyak hakim yang tidak bisa mengklasifikasikan delik perkara,” ungkapnya. Karena itu, ujar Jayus, perlu dilakukan sistem evaluasi lima tahun sekali.
Jayus mengatakan bahwa usia pensiun, rotasi, dan mutasi hakim juga perlu dipertimbangkan. “Apakah masuk akal pensiun hakim 70 tahun? Ini juga harus dievaluasi lebih lanjut. Kemudian pola rotasi dan mutasi juga perlu dievaluasi. Rotasi yang seperti obat nyamuk itu bagus, misalnya keluarga di Bandung homebase di Bandung kemudian dipindah berputar di wilayah terdekat, itu akan membantu pola rotasi yang cukup baik menurut kami,” paparnya.
Hal ini juga mencegah aspek negatif karena akan dekat dengan keluarga. Serta mencegah terjadinya hakim selingkuh.
Pola seleksi hakim, menurut Jayus, juga perlu dievaluasi untuk meningkatkan kualitas hakim. Sebelum adanya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, proses seleksi hakim dilakukan uji materi terlebih dahulu. Sebetulnya, ada pola yang bagus.
“Dalam sistem pendidikan tinggi telah berlaku uji materi terebih dahulu sebelum menjabat sebagai hakim. Di profesi lain juga hal sama dilakukan. Dari mengikuti jenjang terapan setelah lulus sarjana, sehingga dari pengetahuan cukup matang. Jika ingin menjadi hakim, maka perlu dilakukan seleksi oleh KY dan MA,” tandasnya.
Dengan demikian, maka tingkat kualitas hakim akan bagus. Undang-Undang Jabatan Hakim ini, ujarnya, penting untuk meningkatkan kualitas hakim.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil memastikan bahwa RUU Jabatan hakim yang saat ini sedang dalam proses pembahasan dapat selesai sebelum pergantian periode anggota DPR.
“Dalam waktu dekat kita akan mengundang Menteri Hukum dan HAM untuk segera menyelesaikan undang-undang ini. Kami minta untuk segera diselesaikan di masa periode ini. Karena kalau tidak selesai tidak ada jaminan, jika tidak selesai sangat disayangkan karena akan diulang dari awal dan dana juga sudah digelontorkan,” tandasnya.
Menurut Nasir, ada beberapa kali operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap para hakim. Inilah yang membuat regulasi jabatan hakim perlu segera disahkan. “Untuk mengobatinya adalah melalui regulasi. Dan regulasi ini menjadi landasan pijak untuk kemerdekaan hakim untuk memutuskan putusan tanpa ada tekanan dari pihak manapun,” paparnya.
Nasir juga menyoroti di dalam dunia perhakiman ada satu titik di mana loyalitas dan independensi bertabrakan. Kadang-kadang, menurut dia, ini yang menggerus independensi karena loyalitas. Apalagi, yang menyangkut dengan karier agar tidak terhambat.
“Karena itu, atmosfer di dunia peradilan kita, ada 20 hakim terkena OTT KPK, menunjukkan persoalan serius. Agak repot kita mengurus wakil Tuhan di muka bumi ini karea memang posisinya sangat strategis, apalagi ‘hidup dan mati seseorang ada di tangan hakim’,” paparnya.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar mengungkapkan bahwa pandangan publik terhadap peradilan Indonesia cukup rendah. Bahkan, peradilan di Indonesia juga masih dianggap sebagai institusi yang koruptif oleh publik. “Setelah 20 tahun reformasi, persepsi publik terhadap peradilan Indonesia masih belum berubah dan masih menjadi lembaga yang koruptif,” tandasnya.
Meskipun dalam 6 tahun terakhir ada perkembangan baik terhadap peradilan di Indonesia, namun masih tidak signifikan. Dia juga mengkritisi bahwa independensi hakim juga masih dipertanyakan. “Perkembangan baik itu tidak diiringi oleh tindakan koruptif para individu hakim. Bahkan, masih banyak isu yang didorong oleh lembaga peradilan justru masih rendah. Terutama korupsi, di mana hakim menjadi terkorup di antara polisi ataupun jaksa. Perilaku koruptif hakim pun masih tinggi,” tandasnya. (Binti Mufarida)
(nfl)