Bacakan Pledoi, Sekjen KONI Beberkan Alasan Suap Pejabat Kemenpora
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/5/2019). Di hadapan majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ending mengaku terpaksa memberikan suap kepada pejabat Kemenpora agar urusan lancar.
Ending memberikan suap guna memperlancar pencairan dana hibah KONI. Meski berat hati, kata dia, mau tidak mau pihaknya harus menyediakan "uang pelicin" agar dana hibah KONI cepat cair.
“Pengurus (KONI) semua mengeluh dan curhat atas lambatnya pencairan dana hibah KONI. Saya dan pengurus follow up pencairan dan kemudian melakukan komitmen fee baru bisa dicairkan. Terkejut dan berat sebagai Sekjen dan saya laporkan ke ketua akhirnya, memutuskan untuk memberikan sesuai permintaan Miftahul Ulum selaku Sekertaris Pribadi Menpora,” ujar Ending saat membacakan pleidoi.
Menurut Ending, anggaran pelicin berupa satu unit Toyota Fortuner FRZ TRD, satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9 dan uang senilai Rp400 juta itu diberikan secara berat hati. “Berat karena bagaimana membuat laporannya, tidak mungkin membuat kuitansi memberikan uang kepada Kemenpora,” ucap Ending.
Berkaca pada kasus ini, kata Ending, Menpora akhirnya memberikan persetujuan satuan kerja KONI tidak lagi di bawah pengelolaan Kemenpora. Kewenangan ini dinilai terlambat karena telah menetapkan Ending dan Johny E Awuy selaku Bendahara KONI sebagai terdakwa.
“Artinya, setelah saya dan pak Johny jadi korban, ada sakter sendiri dan ada hikmahnya ke depan,” tegas Ending.
Sementara itu, penasihat hukum Ending, Arif Sulaiman, menambahkan, KONI dipaksakan untuk memberi suap kepada Kemenpora. Hal ini dilakukan agar dana hibah KONI segera diturunkan. “KONI pusat dipaksakan untuk menyerahkan fee, kalau tidak diberikan maka dana hibah tidak dicairkan oleh pihak Kemenpora,” ucap Arif.
Kasus yang menyeret kliennya sebagai terdakwa, kata Arif, merupakan preseden buruk sistem pengajuan dana hibah di Kemenpora. Terlebih dalam persidangan Ulum tidak mengakui adanya uang pelicib dalam proses pengajuan dana hibah.
“Kasus ini merupakan contoh buruk sistem di kementerian tersebut, terlebih lagi ketika kesaksian dari saudara Ulum yang tidak mengakui uang yang sudah diterima. Artinya pelaku bisa bebas berkata bohong di depan pengadilan,” tegas Arif.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum berharap majelis hakim dapat menjatuhkan hukuman seadil-adilnya kepada kliennya. “Semoga ada harapan bagi terdakwa dari semua proses persidangan, keterbukaan terdakwa semoga berbuah manis dalam putusan kelak,” tandas Arif.
Dalam perkara ini, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy telah dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Sementara Bendahara KONI Johny E Awuy dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ending dan Johny dituntut melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31/ 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Ending memberikan suap guna memperlancar pencairan dana hibah KONI. Meski berat hati, kata dia, mau tidak mau pihaknya harus menyediakan "uang pelicin" agar dana hibah KONI cepat cair.
“Pengurus (KONI) semua mengeluh dan curhat atas lambatnya pencairan dana hibah KONI. Saya dan pengurus follow up pencairan dan kemudian melakukan komitmen fee baru bisa dicairkan. Terkejut dan berat sebagai Sekjen dan saya laporkan ke ketua akhirnya, memutuskan untuk memberikan sesuai permintaan Miftahul Ulum selaku Sekertaris Pribadi Menpora,” ujar Ending saat membacakan pleidoi.
Menurut Ending, anggaran pelicin berupa satu unit Toyota Fortuner FRZ TRD, satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9 dan uang senilai Rp400 juta itu diberikan secara berat hati. “Berat karena bagaimana membuat laporannya, tidak mungkin membuat kuitansi memberikan uang kepada Kemenpora,” ucap Ending.
Berkaca pada kasus ini, kata Ending, Menpora akhirnya memberikan persetujuan satuan kerja KONI tidak lagi di bawah pengelolaan Kemenpora. Kewenangan ini dinilai terlambat karena telah menetapkan Ending dan Johny E Awuy selaku Bendahara KONI sebagai terdakwa.
“Artinya, setelah saya dan pak Johny jadi korban, ada sakter sendiri dan ada hikmahnya ke depan,” tegas Ending.
Sementara itu, penasihat hukum Ending, Arif Sulaiman, menambahkan, KONI dipaksakan untuk memberi suap kepada Kemenpora. Hal ini dilakukan agar dana hibah KONI segera diturunkan. “KONI pusat dipaksakan untuk menyerahkan fee, kalau tidak diberikan maka dana hibah tidak dicairkan oleh pihak Kemenpora,” ucap Arif.
Kasus yang menyeret kliennya sebagai terdakwa, kata Arif, merupakan preseden buruk sistem pengajuan dana hibah di Kemenpora. Terlebih dalam persidangan Ulum tidak mengakui adanya uang pelicib dalam proses pengajuan dana hibah.
“Kasus ini merupakan contoh buruk sistem di kementerian tersebut, terlebih lagi ketika kesaksian dari saudara Ulum yang tidak mengakui uang yang sudah diterima. Artinya pelaku bisa bebas berkata bohong di depan pengadilan,” tegas Arif.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum berharap majelis hakim dapat menjatuhkan hukuman seadil-adilnya kepada kliennya. “Semoga ada harapan bagi terdakwa dari semua proses persidangan, keterbukaan terdakwa semoga berbuah manis dalam putusan kelak,” tandas Arif.
Dalam perkara ini, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy telah dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Sementara Bendahara KONI Johny E Awuy dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ending dan Johny dituntut melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31/ 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
(thm)