Mencegah Bumi Terbungkus Plastik
A
A
A
PENCEMARAN lingkungan akibat sampah plastik saat ini sudah pada batas yang sangat mengkhawatirkan. Lihatlah pesisir pantai di dunia, termasuk Indonesia, sampah plastik yang dibuang manusia dari daratan menumpuk dan mengotori laut. Tidak sulit menemukan tumpukan sampah plastik, mulai dari botol minuman, kantong plastik, kemasan makanan atau sedotan minuman yang memenuhi bibir pantai.
Sampah plastik yang tidak diolah atau didaur ulang ini tak jarang menjerat satwa liar dengan akibat yang sangat mematikan. Kita masih ingat kejadian pada November 2018 ketika seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) terdampar di sekitar Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Saat ditemukan, paus malang itu dikelilingi sampah plastik. Saat perut paus dibelah, di dalamnya ditemukan beragam sampah plastik seberat kurang lebih 6 kg.
Saat ini diperkirakan 100 juta ton plastik ditemukan di lautan dunia, sebanyak 90% berasal dari sumber di darat. Berangkat dari kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan dari sampah plastik yang lambat laun mengancam ekosistem di bumi, sejumlah negara di dunia bersepakat untuk mengontrol pergerakan sampah plastik antarnegara.
Pemerintah dari 187 negara sepakat untuk menambahkan plastik ke Konvensi Basel, sebuah perjanjian yang mengatur perpindahan bahan berbahaya dari satu negara ke negara lain. Tujuannya untuk memerangi dampak berbahaya dari polusi plastik di seluruh dunia. Pakta ini disetujui pada akhir pertemuan dua minggu dari konvensi yang didukung PBB di Jenewa, Swiss.
Menurut WWF, dengan resolusi tersebut, bahan-bahan yang terkontaminasi dan sebagian besar campuran limbah plastik akan memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari negara-negara penerima sebelum diperdagangkan dengan pengecualian campuran PE, PP, dan PET.
Pakta itu disepakati pada akhir pertemuan konvensi PBB di Jenewa, Swiss, yang digelar dua pekan. Namun hal yang mengundang perhatian adalah tidak terlibatnya Amerika Serikat (AS) dalam proses pembuatan kebijakan ini. Meski AS tidak turut dalam kesepakatan itu, ketetapan itu tetap berlaku saat negara tersebut mencoba memperdagangkan sampah plastik ke negara lain di dunia. Selama ini AS telah mengirim sampah plastiknya ke berbagai negara di dunia, termasuk China dan Malaysia.
Kesepakatan 187 negara mengontrol plastik ini tentu kabar baik karena ke depan perdagangan global sampah plastik akan lebih transparan dan diatur dengan lebih baik demi memastikan bahwa pengelolaan plastik lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Saat ini hampir satu juta orang telah menandatangani petisi global mendesak negara-negara Konvensi Basel mencegah negara-negara Barat membuang jutaan ton sampah plastik ke negara-negara berkembang daripada mendaurulangnya.
Jika menyimak fakta sebenarnya, sampah yang kita lihat di tepi pantai belum menggambarkan kondisi sesungguhnya. Sampah yang mengambang di permukaan laut itu hanya 5% dari semua sampah plastik yang dibuang ke laut.
Organisasi nirlaba yang bergerak bidang konservasi laut dari AS, Ocean Conservancy, menyebutkan sebanyak 95% sampah justru terendam di bawah permukaan laut. Sampah tersebut tak hanya mencelakai makhluk bawah air namun juga merusak tatanan ekosistem yang ada.
Dalam laporan beberapa waktu lalu, Ocean Conservancy menyebutkan ada lima negara di dunia yang paling berkontribusi untuk krisis sampah di lautan. Negara tersebut berada di Asia, yaitu China, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Tidak tanggung-tanggung sampah yang "dikirim" oleh negara ini mencapai 60% dari seluruh sampah plastik yang masuk lautan di seluruh dunia.
Menurut data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun.
Sampah plastik yang tidak diolah atau didaur ulang ini tak jarang menjerat satwa liar dengan akibat yang sangat mematikan. Kita masih ingat kejadian pada November 2018 ketika seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) terdampar di sekitar Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Saat ditemukan, paus malang itu dikelilingi sampah plastik. Saat perut paus dibelah, di dalamnya ditemukan beragam sampah plastik seberat kurang lebih 6 kg.
Saat ini diperkirakan 100 juta ton plastik ditemukan di lautan dunia, sebanyak 90% berasal dari sumber di darat. Berangkat dari kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan dari sampah plastik yang lambat laun mengancam ekosistem di bumi, sejumlah negara di dunia bersepakat untuk mengontrol pergerakan sampah plastik antarnegara.
Pemerintah dari 187 negara sepakat untuk menambahkan plastik ke Konvensi Basel, sebuah perjanjian yang mengatur perpindahan bahan berbahaya dari satu negara ke negara lain. Tujuannya untuk memerangi dampak berbahaya dari polusi plastik di seluruh dunia. Pakta ini disetujui pada akhir pertemuan dua minggu dari konvensi yang didukung PBB di Jenewa, Swiss.
Menurut WWF, dengan resolusi tersebut, bahan-bahan yang terkontaminasi dan sebagian besar campuran limbah plastik akan memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari negara-negara penerima sebelum diperdagangkan dengan pengecualian campuran PE, PP, dan PET.
Pakta itu disepakati pada akhir pertemuan konvensi PBB di Jenewa, Swiss, yang digelar dua pekan. Namun hal yang mengundang perhatian adalah tidak terlibatnya Amerika Serikat (AS) dalam proses pembuatan kebijakan ini. Meski AS tidak turut dalam kesepakatan itu, ketetapan itu tetap berlaku saat negara tersebut mencoba memperdagangkan sampah plastik ke negara lain di dunia. Selama ini AS telah mengirim sampah plastiknya ke berbagai negara di dunia, termasuk China dan Malaysia.
Kesepakatan 187 negara mengontrol plastik ini tentu kabar baik karena ke depan perdagangan global sampah plastik akan lebih transparan dan diatur dengan lebih baik demi memastikan bahwa pengelolaan plastik lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Saat ini hampir satu juta orang telah menandatangani petisi global mendesak negara-negara Konvensi Basel mencegah negara-negara Barat membuang jutaan ton sampah plastik ke negara-negara berkembang daripada mendaurulangnya.
Jika menyimak fakta sebenarnya, sampah yang kita lihat di tepi pantai belum menggambarkan kondisi sesungguhnya. Sampah yang mengambang di permukaan laut itu hanya 5% dari semua sampah plastik yang dibuang ke laut.
Organisasi nirlaba yang bergerak bidang konservasi laut dari AS, Ocean Conservancy, menyebutkan sebanyak 95% sampah justru terendam di bawah permukaan laut. Sampah tersebut tak hanya mencelakai makhluk bawah air namun juga merusak tatanan ekosistem yang ada.
Dalam laporan beberapa waktu lalu, Ocean Conservancy menyebutkan ada lima negara di dunia yang paling berkontribusi untuk krisis sampah di lautan. Negara tersebut berada di Asia, yaitu China, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Tidak tanggung-tanggung sampah yang "dikirim" oleh negara ini mencapai 60% dari seluruh sampah plastik yang masuk lautan di seluruh dunia.
Menurut data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun.
(kri)