Ibu Kota dan Sebaran Pembangunan
A
A
A
WACANA pemindahan ibu kota negara selalu muncul berulang tatkala Jakarta didera bencana, khususnya banjir. Wacana pemindahan ibu kota sebenarnya bukan hal yang baru. Presiden Soekarno sudah pernah merencanakan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menjadi ibu kota Republik Indonesia yang baru. Presiden Soeharto juga sempat mengajukan Jonggol, Kabupaten Bogor, sebagai calon ibu kota di masa pemerintahan Orde Baru.
Ketika Istana tergenang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyinggung kembali rencana pemindahan ibu kota, tetapi belum sempat menyebut calon lokasi. Teranyar, Presiden Joko Widodo merencanakan kembali pemindahan ibu kota, lebih khusus lagi ke luar Pulau Jawa (29/4). Wacana itu muncul ketika banjir kembali melanda Jakarta (26-28/4).
Mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta sebagai ibu kota saat ini, ada tiga alternatif yang ditawarkan Bappenas, yakni ibu kota tetap di Jakarta dengan pembenahan pusat di sekitar kawasan Taman Medan Merdeka (Monumen Nasional); ibu kota digeser ke pinggiran wilayah Bodetabek atau masih di Pulau Jawa; atau ibu kota dipindah ke luar Pulau Jawa.
Namun sebenarnya seberapa pentingkah ibu kota harus dipindahkan?
Pertama, banjir, kemacetan, dan urbanisasi tidak bisa menjadi alasan utama pemindahan ibu kota. Saat ini pemerintah pusat bersama pemerintah daerah se-Jabodetabek tengah mematangkan proyek infrastruktur dengan proyeksi kebutuhan anggaran mencapai Rp571 triliun untuk 10 tahun ke depan (2030).
Ada pembangunan transportasi massal meliputi pembangunan jaringan MRT dari 16 km menjadi 223 km senilai Rp214 triliun, kereta ringan (LRT) dari 5,8 km (116 km, Rp60 triliun), bus Transja(bodetabek) dari 431 km (2.149 km, Rp10 triliun), jalur kereta dalam kota sebidang yang akan dinaikkan sepanjang 27 km senilai Rp27 triliun, serta revitalisasi angkutan kota hingga 20.000 unit senilai Rp4 triliun.
Selain itu ada proyek penyediaan air bersih dari cakupan saat ini 60% dari total penduduk DKI Jakarta menjadi 100% terlayani (2030) senilai Rp27 triliun. Juga peningkatan pengolahan air limbah dari cakupan layanan 14% penduduk menjadi 81% penduduk (2030) senilai Rp69 triliun. Pembangunan 600.000 unit rumah baru atau 60.000 unit per tahun (2030, fasilitas pembiayaan 30%) senilai Rp90 triliun. pengendalian banjir dan penambahan pasokan air senilai Rp70 triliun.
Dengan pembangunan infrastruktur yang masif dan mahal ini tentu diharapkan masalah banjir akan teratasi, kemacetan terkurangi, dan urbanisasi terdistribusi pada 2030.
Kedua, pemindahan ibu kota membutuhkan waktu yang cukup panjang mulai dari kajian perlu tidaknya memindahkan ibu kota (dengan alasan yang kuat), penentuan lokasi yang dilakukan secara sangat hati-hati (keputusan politik bersama), perencanaan dan perancangan kota yang matang (jika perlu disayembarakan), hingga skema pembiayaan jangka panjang (tahun jamak/multi - years).
Pembangunan sebuah (ibu) kota baru rata-rata membutuhkan waktu 20 tahun untuk bisa dikatakan kota itu hidup. Kurun 5-10 tahun adalah masa pembangunan infrastruktur kota dan kompleks bangunan pemerintahan. Memasuki tahun ke-11 hingga ke-20 pembangunan bangunan pendukung, pusat kegiatan ekonomi, pusat kesenian dan kebudayaan, serta interaksi antarwarga.
Pemindahan ibu kota harus menjadi keputusan politik bersama seluruh pihak mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif serta komitmen politik seluruh partai politik. Dengan demikian siapa pun kelak yang akan menjadi presiden berkewajiban mewujudkan pembangunan ibu kota baru. Jika tidak tercapai kesepakatan, bisa dipastikan rencana pemindahan ibu kota akan tinggal wacana.
Ketiga, ibu kota yang difokuskan sebagai pusat pemerintahan hanya hidup pada hari dan jam kerja saja. Di luar waktu itu, kota akan sepi ditinggal para penghuni atau pekerjanya yang kembali ke kota asal. Hal ini dapat dilihat pada Kota Putrajaya, Kuala Lumpur (Malaysia) dan Canberra (Australia).
Penentuan jauh-dekat lokasi ibu kota baru dari ibu kota sekarang akan menentukan semakin besarnya biaya pembangunan ibu kota. Biaya mencakup koordinasi pembangunan, proses pemindahan perangkat pemerintahan, dan ketersediaan kelengkapan infrastruktur.
Membangun ibu kota baru dalam jangka waktu lama tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Skema pembiayaan pembangunan dan sumber-sumber pendanaan harus disiapkan dengan perencanaan matang dan berkelanjutan.
Keempat, jika tujuan pembangunan ibu kota baru adalah pemerataan pembangunan, akan lebih bijak jika dana pembangunan yang besar didistribusikan ke berbagai kota yang memiliki potensi dan kekuatan ekonomi lokal untuk mempercepat pertumbuhan pusat-pusat perekonomian baru di luar Jakarta.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan peluang tercapainya pembangunan kota yang seimbang. Pemerintah kota harus memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk mengelola kota seperti penataan ruang yang konsisten. Tata kelola perkotaan berfungsi mengonsolidasi dan memanfaatkan berbagai kepentingan secara bersinergi.
Kelima, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, serta Kota dan Kabupaten Bekasi (bodetabek) dikembangkan sebagai kawasan penyangga Jakarta berupa kegiatan industri, properti, infrastruktur, dan transportasi massal untuk menyerap para pendatang (lapis pertama).
Kota Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur) menjadi pusat perekonomian tiap provinsi penyumbang utama para pendatang ke Jakarta (lapis kedua).
Untuk di luar Pulau Jawa (lapis ketiga), Pulau Sumatera dapat mengembangkan Bandar Lampung (Lampung), Padang (Sumatera Barat), dan Medan (Sumatera Utara). Pulau Kalimantan fokus pengembangan di Pontianak (Kalimantan Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).
Adapun Pulau Sulawesi dipusatkan di Manado (Sulawesi Utara), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Untuk Pulau Papua di Jayapura (Papua) dan Merauke (Papua Barat).
Pada akhirnya, dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian baru, arus urbanisasi ke Jakarta dan ke Pulau Jawa dapat diredam dan percepatan pembangunan kota dapat tersebar merata ke seluruh Nusantara. Pemindahan ibu kota pun menjadi tidak diperlukan lagi.
Ketika Istana tergenang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyinggung kembali rencana pemindahan ibu kota, tetapi belum sempat menyebut calon lokasi. Teranyar, Presiden Joko Widodo merencanakan kembali pemindahan ibu kota, lebih khusus lagi ke luar Pulau Jawa (29/4). Wacana itu muncul ketika banjir kembali melanda Jakarta (26-28/4).
Mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta sebagai ibu kota saat ini, ada tiga alternatif yang ditawarkan Bappenas, yakni ibu kota tetap di Jakarta dengan pembenahan pusat di sekitar kawasan Taman Medan Merdeka (Monumen Nasional); ibu kota digeser ke pinggiran wilayah Bodetabek atau masih di Pulau Jawa; atau ibu kota dipindah ke luar Pulau Jawa.
Namun sebenarnya seberapa pentingkah ibu kota harus dipindahkan?
Pertama, banjir, kemacetan, dan urbanisasi tidak bisa menjadi alasan utama pemindahan ibu kota. Saat ini pemerintah pusat bersama pemerintah daerah se-Jabodetabek tengah mematangkan proyek infrastruktur dengan proyeksi kebutuhan anggaran mencapai Rp571 triliun untuk 10 tahun ke depan (2030).
Ada pembangunan transportasi massal meliputi pembangunan jaringan MRT dari 16 km menjadi 223 km senilai Rp214 triliun, kereta ringan (LRT) dari 5,8 km (116 km, Rp60 triliun), bus Transja(bodetabek) dari 431 km (2.149 km, Rp10 triliun), jalur kereta dalam kota sebidang yang akan dinaikkan sepanjang 27 km senilai Rp27 triliun, serta revitalisasi angkutan kota hingga 20.000 unit senilai Rp4 triliun.
Selain itu ada proyek penyediaan air bersih dari cakupan saat ini 60% dari total penduduk DKI Jakarta menjadi 100% terlayani (2030) senilai Rp27 triliun. Juga peningkatan pengolahan air limbah dari cakupan layanan 14% penduduk menjadi 81% penduduk (2030) senilai Rp69 triliun. Pembangunan 600.000 unit rumah baru atau 60.000 unit per tahun (2030, fasilitas pembiayaan 30%) senilai Rp90 triliun. pengendalian banjir dan penambahan pasokan air senilai Rp70 triliun.
Dengan pembangunan infrastruktur yang masif dan mahal ini tentu diharapkan masalah banjir akan teratasi, kemacetan terkurangi, dan urbanisasi terdistribusi pada 2030.
Kedua, pemindahan ibu kota membutuhkan waktu yang cukup panjang mulai dari kajian perlu tidaknya memindahkan ibu kota (dengan alasan yang kuat), penentuan lokasi yang dilakukan secara sangat hati-hati (keputusan politik bersama), perencanaan dan perancangan kota yang matang (jika perlu disayembarakan), hingga skema pembiayaan jangka panjang (tahun jamak/multi - years).
Pembangunan sebuah (ibu) kota baru rata-rata membutuhkan waktu 20 tahun untuk bisa dikatakan kota itu hidup. Kurun 5-10 tahun adalah masa pembangunan infrastruktur kota dan kompleks bangunan pemerintahan. Memasuki tahun ke-11 hingga ke-20 pembangunan bangunan pendukung, pusat kegiatan ekonomi, pusat kesenian dan kebudayaan, serta interaksi antarwarga.
Pemindahan ibu kota harus menjadi keputusan politik bersama seluruh pihak mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif serta komitmen politik seluruh partai politik. Dengan demikian siapa pun kelak yang akan menjadi presiden berkewajiban mewujudkan pembangunan ibu kota baru. Jika tidak tercapai kesepakatan, bisa dipastikan rencana pemindahan ibu kota akan tinggal wacana.
Ketiga, ibu kota yang difokuskan sebagai pusat pemerintahan hanya hidup pada hari dan jam kerja saja. Di luar waktu itu, kota akan sepi ditinggal para penghuni atau pekerjanya yang kembali ke kota asal. Hal ini dapat dilihat pada Kota Putrajaya, Kuala Lumpur (Malaysia) dan Canberra (Australia).
Penentuan jauh-dekat lokasi ibu kota baru dari ibu kota sekarang akan menentukan semakin besarnya biaya pembangunan ibu kota. Biaya mencakup koordinasi pembangunan, proses pemindahan perangkat pemerintahan, dan ketersediaan kelengkapan infrastruktur.
Membangun ibu kota baru dalam jangka waktu lama tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Skema pembiayaan pembangunan dan sumber-sumber pendanaan harus disiapkan dengan perencanaan matang dan berkelanjutan.
Keempat, jika tujuan pembangunan ibu kota baru adalah pemerataan pembangunan, akan lebih bijak jika dana pembangunan yang besar didistribusikan ke berbagai kota yang memiliki potensi dan kekuatan ekonomi lokal untuk mempercepat pertumbuhan pusat-pusat perekonomian baru di luar Jakarta.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan peluang tercapainya pembangunan kota yang seimbang. Pemerintah kota harus memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk mengelola kota seperti penataan ruang yang konsisten. Tata kelola perkotaan berfungsi mengonsolidasi dan memanfaatkan berbagai kepentingan secara bersinergi.
Kelima, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, serta Kota dan Kabupaten Bekasi (bodetabek) dikembangkan sebagai kawasan penyangga Jakarta berupa kegiatan industri, properti, infrastruktur, dan transportasi massal untuk menyerap para pendatang (lapis pertama).
Kota Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur) menjadi pusat perekonomian tiap provinsi penyumbang utama para pendatang ke Jakarta (lapis kedua).
Untuk di luar Pulau Jawa (lapis ketiga), Pulau Sumatera dapat mengembangkan Bandar Lampung (Lampung), Padang (Sumatera Barat), dan Medan (Sumatera Utara). Pulau Kalimantan fokus pengembangan di Pontianak (Kalimantan Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).
Adapun Pulau Sulawesi dipusatkan di Manado (Sulawesi Utara), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Untuk Pulau Papua di Jayapura (Papua) dan Merauke (Papua Barat).
Pada akhirnya, dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian baru, arus urbanisasi ke Jakarta dan ke Pulau Jawa dapat diredam dan percepatan pembangunan kota dapat tersebar merata ke seluruh Nusantara. Pemindahan ibu kota pun menjadi tidak diperlukan lagi.
(nag)