Tantangan SDM Bangsa Kian Kompleks, Kaum Milenial Punya Peran Stretegis
A
A
A
JAKARTA - Sumber daya manusia Indonesia selama puluhan tahun tidak dikelola dengan baik. Akibatnya saat ini, lulusan sekolah vokasi di Indonesia belum memiliki kualitas yang bagus dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Pernyataan disampaikan oleh Eka Simanjuntak, Direktur Willi Toisuta and Associates dalam Diskusi Publik dengan tema 'Menakar Pentingnya Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Bagi Millenial dalam Memasuki Revolusi Industri 4.0'. Diskusi digelar di Rumah Milenial di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
"Indonesia sudah mengalami permasalahan SDM bahkan sebelum kita mengenal Revolusi Industri 4.0. Selama ini sebagian besar pegawai pemerintah yang mengurus pendidikan vokasi bukanlah yang berpengalaman di bidang vokasi. Akibatnya kurikulum vokasional kita tidak sesuai dengan kebutuhan pasar sehingga sekolah vokasi hanya meluluskan calon pengangguran saja," kritik Eka yang juga merupakan pakar sumber daya manusia (SDM) ini.
Eka menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan saat ini membutuhkan skill baru dari karyawannya seiring berkembangnya teknologi. Karyawan harus dididik agar dapat secara mandiri melakukan pengembangan skill sehingga sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
"Selama puluhan tahun pemerintah tidak mengelola sekolah vokasi dengan baik sehingga saat ini kualitas SDM kita, khususnya lulusan sekolah vokasi masih rendah dibanding negara lain,” tegas dia.
Ke depannya, sekolah vokasi seperti SMK, ataupun lainnya harus dikelola secara benar sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas. Jika pemerintah saat ini ingin membangun SDM, yang menjadi Menteri Pendidikan ke depan tidak sekadar cerdas saja. “Tapi mampu menggerakkan dan mengarahkan institusi pendidikan," kata Eka.
Ketua Bidang Kajian Politik Rumah Gerakan 98, Bandot DM menyampaikan bahwa produksi konten kreatif semakin masif di kalangan milenial. "Saat ini generasi milenial sudah banyak melahirkan startup berbasiskan teknologi digital. Sayangnya regulasi pemerintah selalu terlambat menyesuaikan diri dengan teknologi yang bergerak cepat. Hal ini harus menjadi bahan evaluasi kita ke depan," ujar Bandot.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat GMKI, David Sitorus dalam diskusi ini menyampaikan bahwa era Revolusi Industri 4.0 telah banyak membantu manusia untuk memasarkan barang dan jasa dalam platform bisnis digital.
Menurutnya, tantangan generasi milenial ke depan adalah beradptasi dan dapat menggunakan teknologi digital dengan tepat.
Revolusi Industri 4.0 ini adalah tantangan bagi milenial untuk menjadi kompetitif, kreatif dan kritis. Karena itu kabinet pemerintah ke depan harus ada keterwakilan dari generasi milenial usia 20-35 tahun yang memahami kebutuhan dan persoalan milenial.
“Dia mesti pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, dan yang terutama, sudah teruji pemahamannya tentang Pancasila dan kemajemukan bangsa Indonesia," tutur David yang saat ini sedang menyelesaikan studi magister dari Universitas Indonesia itu.
Pernyataan disampaikan oleh Eka Simanjuntak, Direktur Willi Toisuta and Associates dalam Diskusi Publik dengan tema 'Menakar Pentingnya Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Bagi Millenial dalam Memasuki Revolusi Industri 4.0'. Diskusi digelar di Rumah Milenial di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
"Indonesia sudah mengalami permasalahan SDM bahkan sebelum kita mengenal Revolusi Industri 4.0. Selama ini sebagian besar pegawai pemerintah yang mengurus pendidikan vokasi bukanlah yang berpengalaman di bidang vokasi. Akibatnya kurikulum vokasional kita tidak sesuai dengan kebutuhan pasar sehingga sekolah vokasi hanya meluluskan calon pengangguran saja," kritik Eka yang juga merupakan pakar sumber daya manusia (SDM) ini.
Eka menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan saat ini membutuhkan skill baru dari karyawannya seiring berkembangnya teknologi. Karyawan harus dididik agar dapat secara mandiri melakukan pengembangan skill sehingga sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
"Selama puluhan tahun pemerintah tidak mengelola sekolah vokasi dengan baik sehingga saat ini kualitas SDM kita, khususnya lulusan sekolah vokasi masih rendah dibanding negara lain,” tegas dia.
Ke depannya, sekolah vokasi seperti SMK, ataupun lainnya harus dikelola secara benar sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas. Jika pemerintah saat ini ingin membangun SDM, yang menjadi Menteri Pendidikan ke depan tidak sekadar cerdas saja. “Tapi mampu menggerakkan dan mengarahkan institusi pendidikan," kata Eka.
Ketua Bidang Kajian Politik Rumah Gerakan 98, Bandot DM menyampaikan bahwa produksi konten kreatif semakin masif di kalangan milenial. "Saat ini generasi milenial sudah banyak melahirkan startup berbasiskan teknologi digital. Sayangnya regulasi pemerintah selalu terlambat menyesuaikan diri dengan teknologi yang bergerak cepat. Hal ini harus menjadi bahan evaluasi kita ke depan," ujar Bandot.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat GMKI, David Sitorus dalam diskusi ini menyampaikan bahwa era Revolusi Industri 4.0 telah banyak membantu manusia untuk memasarkan barang dan jasa dalam platform bisnis digital.
Menurutnya, tantangan generasi milenial ke depan adalah beradptasi dan dapat menggunakan teknologi digital dengan tepat.
Revolusi Industri 4.0 ini adalah tantangan bagi milenial untuk menjadi kompetitif, kreatif dan kritis. Karena itu kabinet pemerintah ke depan harus ada keterwakilan dari generasi milenial usia 20-35 tahun yang memahami kebutuhan dan persoalan milenial.
“Dia mesti pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, dan yang terutama, sudah teruji pemahamannya tentang Pancasila dan kemajemukan bangsa Indonesia," tutur David yang saat ini sedang menyelesaikan studi magister dari Universitas Indonesia itu.
(pur)