Kartini dan Spirit Literasi
A
A
A
Setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Idealnya, peringatan Kartini tidak sekadar seremoni tanpa substansi, tetapi harus dimaknai sebagai momentum kebangkitan kaum perempuan sekaligus aktualisasi spirit pemberdayaan dan pemantapan peran perempuan sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan sumber kasih sayang. Perempuan sejati adalah pendidik pertama dan penggerak utama literasi anak-anak bangsa.
Peran dan pengaruh perempuan terhadap anak-anak bangsa, baik biologis (anak kandung sendiri) maupun sosiologis (anak didik) sungguh sangat besar, dan tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Oleh karena itu, perempuan harus menjadi figur hebat yang mampu menunjukkan kompetensi profesional, edukasional, menjadi role model teladan dalam menginspirasi dan menumbuhkan budaya literasi bagi masa depan bangsa.
Sayangnya, tidak sedikit perempuan yang dinilai gagal menjadi sumber inspirasi, motivasi, dan penggerak literasi bagi anak-anaknya, karena kehidupan rumah tangga atau keluarganya tidak harmonis dan kurang peduli terhadap masa depan mereka.
Dalam Teacher Professional Development in Finland: Towards a More Holistic Approach, Hannele Niemi (2015) menjelaskan bahwa sistem pendidikan di Finlandia itu dinilai paling maju dengan model sekolah inovatifnya (innovative school model) karena sistem dan model pengembangan profesionalitas guru bersifat holistis dan terintegrasi dengan pendidikan informal (keluarga) dengan optimalisasi peran edukatif perempuan.
Proses pembelajarannya aktif (active learning) dan lingkungan persekolahannya sangat nyaman, kondusif, dan inspiratif. Para guru, khusus perempuan, mendidik peserta didik dengan kompetensi profesional dan edukasionalnya sangat menginspirasi, sarat tradisi literasi, ditunjang keterampilan kreatif dalam komunikasi, berkolaborasi dalam riset, pengembangan bahan ajar, dan pemecahan masalah (problems solving). Kepemimpinan dan manajemen pendidikannya juga efektif, partisipatoris, berorientasi kepada keunggulan, dan berpacu dengan spirit layanan prima yang memuaskan pemangku kepentingan.
Spirit Literasi
Spirit literasi Kartini itu tampak dari perjuangannya untuk mengedukasi kaum perempuan agar memiliki posisi setara dengan kaum lelaki. Gerakan emansipasi yang diserukannya jelas merupakan gerakan literasi untuk kemajuan bangsanya yang selama ini sekadar menjadi “konco wingking“ (teman di dapur, saat makan) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut).
Karena itu, spirit edukasi dan literasi Kartini bukan sekadar mengajar, melainkan juga mendidik, membelajarkan anak-anak bangsa, melejitkan semangat transformasi, menginspirasi, memotivasi, dan memberi teladan terbaik bagi mereka. Dengan kata lain, spirit literasi Kartini di zaman now itu harus dimaknai sebagai proses pencerdasan dan pembebasan kehidupan bangsa dari berbagai penjajahan dan hegemoni asing dan aseng.
Visi literasi dan edukasi Kartini penting ditegaskan karena tidak jarang proses pendidikan dan pembelajaran dewasa ini kehilangan spiritnya. Mendidik berubah menjadi praktik mengajar, transfer of knowledge, tidak mengubah minda (mindset), sikap, dan perilaku ke arah yang lebih baik dan berkarakter mulia. Karena itu, idealnya para Kartini masa kini yang berprofesi sebagai guru mampu mewujudkan visi dan misi literasi profetik yang pernah diaktualisasikan Nabi Muhammad SAW. Dalam mendidik, beliau memerankan diri sebagai guru kehidupan, guru kemanusiaan, guru perubahan dan pembaruan, sekaligus guru peradaban.
Meskipun dihadapkan kepada berbagai keterbatasan, Nabi Saw tidak hanya sukses mengubah akidah masyarakat Jahiliah yang menyembah aneka berhala (syirik) menjadi berakidah tauhid, tetapi juga sukses mengubah akhlak, karakter, dan budi pekerti masyarakatnya yang biadab menjadi beradab, berakhlak mulia. Spirit literasi Kartini zaman now diharapkan mampu mengemban visi profetik tersebut dalam mendidik anak-anak bangsa dan juga dalam mewujudkan rumah tangga bahagia dan mulia.
Salah satu kunci sukses Nabi SAW dalam membangun rumah tangga dan mendidik umatnya adalah karena visi literasi profetiknya dapat diaktualisasikan dengan keteladanan yang baik (uswah hasanah). Inspirasi Kartini diaktualisasikan dengan tampil memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa, khususnya persoalan darurat korupsi, darurat narkoba, miras, dan dekadensi moral lainnya.
Dengan spirit emansipasinya, gerakan literasi Kartini milenial idealnya dapat meneladani kesuksesan Nabi SAW dalam mengatasi penyakit Jahiliah, yang dikenal 7M, yaitu: maling (mencuri, korupsi), main (berjudi), minum (meminum miras), madon (berzina, prostitusi), madat (mengonsumsi narkoba dan zat adiktif lainnya), mateni bocah wadon (membunuh anak perempuan karena dianggap sumber kesialan), dan mutus tali silaturrahim (memutus tali silaturahmi). Kartini juga harus menjadi perekat kesatuan bangsa dan pemacu pembangunan negeri tercinta.
Oleh karena itu, Kartini masa kini harus bisa membuka cakrawala dan pandangan dunia anak-anak bangsa dengan mengembangkan pemikiran liberatif (membebaskan) dan emansipatoris dari zona nyaman (comfort zone) dan minda negatif menuju minda hidup yang positif, kreatif, dan inovatif.
Role Model
Spirit gerakan literasi Kartini menghendaki adanya role model (teladan) dalam penyiapan generasi harapan masa depan bangsa. Strategi gerakan literasi perlu dilakukan dengan mendidik generasi muda dengan hati (cinta, kasih sayang). Apabila generasi muda bangsa diberikan teladan dan integritas moral yang mulia, seperti: jujur, disiplin, tekun dan tepercaya, terbuka dan komunikatif, berpikir cerdas dan kreatif, niscaya masa depan bangsa akan semakin konstruktif dan prospektif untuk Indonesia maju, sejahtera, adil, dan makmur.
Aktualisasi spirit literasi Kartini juga menghendaki role model dari para pemimpin bangsa agar generasi muda berjiwa progresif, berpikir kreatif, berkomunikasi efektif, menguasai bahasa asing, terampil memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, dan terlatih bertindak solutif, kreatif, dan inovatif. Role model Kartini masa kini harus menjadi saka guru bangsa sekaligus benteng moral bagi generasi muda dari berbagai ancaman budaya negatif.
Oleh karena itu, Kartini masa depan yang akan dipersiapkan menjadi pendidik dan penggerak literasi harus dicerdaskan dan dicerahkan pemikirannya dengan memperoleh akses dan kesempatan yang setara dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Gerakan literasi dan edukasi kaum perempuan melalui lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal, termasuk melalui media massa dan media sosial harus menjadi perhatian dan kepedulian semua pihak.
Spirit literasi Kartini di era disrupsi saat ini sangat diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam membentengi anak-anak dan keluarga dari dekadensi moral. Perempuan sebagai ibu itu ibarat madrasah (sekolah) kehidupan bangsa, sehingga kaum perempuan di semua lapisan masyarakat harus diedukasi dan diberikan literasi agar menjadi teladan terbaik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera.
Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya Tarbiyat al-Awlad fi al-Islam, menegaskan bahwa keteladanan yang baik (uswah hasanah) merupakan kunci kesuksesan dalam mengedukasi dan memberi literasi, sehingga mampu mengubah, memperbaiki, mereformasi kualitas hidup generasi muda bangsa dan membebaskan mereka dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kemunduran, keterjajahan, dan ketidakberdayaan.
Spirit literasi Kartini dalam menghadirkan jalan masa depan: “Habis Gelap Terbitlah Terang “ harus menjadi komitmen semua pihak, khususnya pemerintah, untuk memberi edukasi dan literasi terbaik bagi perempuan.
Menurut Syeikh Shalih al-Fauzan dalam Muhadharat fi al-Aqidah wa ad-Dakwah, “Apabila perempuan rusak (tidak mendapat edukasi dan literasi terbaik), maka rusak pula rumah tangga. Jika rumah tangga rusak maka rusak pula anak-anak. Dan jika anak-anak rusak maka rusak pula masyarakat”, karena saka guru masa depan peradaban bangsa itu sangat bergantung pada berkualitas tidaknya edukasi dan literasi perempuan.
Peran dan pengaruh perempuan terhadap anak-anak bangsa, baik biologis (anak kandung sendiri) maupun sosiologis (anak didik) sungguh sangat besar, dan tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Oleh karena itu, perempuan harus menjadi figur hebat yang mampu menunjukkan kompetensi profesional, edukasional, menjadi role model teladan dalam menginspirasi dan menumbuhkan budaya literasi bagi masa depan bangsa.
Sayangnya, tidak sedikit perempuan yang dinilai gagal menjadi sumber inspirasi, motivasi, dan penggerak literasi bagi anak-anaknya, karena kehidupan rumah tangga atau keluarganya tidak harmonis dan kurang peduli terhadap masa depan mereka.
Dalam Teacher Professional Development in Finland: Towards a More Holistic Approach, Hannele Niemi (2015) menjelaskan bahwa sistem pendidikan di Finlandia itu dinilai paling maju dengan model sekolah inovatifnya (innovative school model) karena sistem dan model pengembangan profesionalitas guru bersifat holistis dan terintegrasi dengan pendidikan informal (keluarga) dengan optimalisasi peran edukatif perempuan.
Proses pembelajarannya aktif (active learning) dan lingkungan persekolahannya sangat nyaman, kondusif, dan inspiratif. Para guru, khusus perempuan, mendidik peserta didik dengan kompetensi profesional dan edukasionalnya sangat menginspirasi, sarat tradisi literasi, ditunjang keterampilan kreatif dalam komunikasi, berkolaborasi dalam riset, pengembangan bahan ajar, dan pemecahan masalah (problems solving). Kepemimpinan dan manajemen pendidikannya juga efektif, partisipatoris, berorientasi kepada keunggulan, dan berpacu dengan spirit layanan prima yang memuaskan pemangku kepentingan.
Spirit Literasi
Spirit literasi Kartini itu tampak dari perjuangannya untuk mengedukasi kaum perempuan agar memiliki posisi setara dengan kaum lelaki. Gerakan emansipasi yang diserukannya jelas merupakan gerakan literasi untuk kemajuan bangsanya yang selama ini sekadar menjadi “konco wingking“ (teman di dapur, saat makan) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut).
Karena itu, spirit edukasi dan literasi Kartini bukan sekadar mengajar, melainkan juga mendidik, membelajarkan anak-anak bangsa, melejitkan semangat transformasi, menginspirasi, memotivasi, dan memberi teladan terbaik bagi mereka. Dengan kata lain, spirit literasi Kartini di zaman now itu harus dimaknai sebagai proses pencerdasan dan pembebasan kehidupan bangsa dari berbagai penjajahan dan hegemoni asing dan aseng.
Visi literasi dan edukasi Kartini penting ditegaskan karena tidak jarang proses pendidikan dan pembelajaran dewasa ini kehilangan spiritnya. Mendidik berubah menjadi praktik mengajar, transfer of knowledge, tidak mengubah minda (mindset), sikap, dan perilaku ke arah yang lebih baik dan berkarakter mulia. Karena itu, idealnya para Kartini masa kini yang berprofesi sebagai guru mampu mewujudkan visi dan misi literasi profetik yang pernah diaktualisasikan Nabi Muhammad SAW. Dalam mendidik, beliau memerankan diri sebagai guru kehidupan, guru kemanusiaan, guru perubahan dan pembaruan, sekaligus guru peradaban.
Meskipun dihadapkan kepada berbagai keterbatasan, Nabi Saw tidak hanya sukses mengubah akidah masyarakat Jahiliah yang menyembah aneka berhala (syirik) menjadi berakidah tauhid, tetapi juga sukses mengubah akhlak, karakter, dan budi pekerti masyarakatnya yang biadab menjadi beradab, berakhlak mulia. Spirit literasi Kartini zaman now diharapkan mampu mengemban visi profetik tersebut dalam mendidik anak-anak bangsa dan juga dalam mewujudkan rumah tangga bahagia dan mulia.
Salah satu kunci sukses Nabi SAW dalam membangun rumah tangga dan mendidik umatnya adalah karena visi literasi profetiknya dapat diaktualisasikan dengan keteladanan yang baik (uswah hasanah). Inspirasi Kartini diaktualisasikan dengan tampil memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa, khususnya persoalan darurat korupsi, darurat narkoba, miras, dan dekadensi moral lainnya.
Dengan spirit emansipasinya, gerakan literasi Kartini milenial idealnya dapat meneladani kesuksesan Nabi SAW dalam mengatasi penyakit Jahiliah, yang dikenal 7M, yaitu: maling (mencuri, korupsi), main (berjudi), minum (meminum miras), madon (berzina, prostitusi), madat (mengonsumsi narkoba dan zat adiktif lainnya), mateni bocah wadon (membunuh anak perempuan karena dianggap sumber kesialan), dan mutus tali silaturrahim (memutus tali silaturahmi). Kartini juga harus menjadi perekat kesatuan bangsa dan pemacu pembangunan negeri tercinta.
Oleh karena itu, Kartini masa kini harus bisa membuka cakrawala dan pandangan dunia anak-anak bangsa dengan mengembangkan pemikiran liberatif (membebaskan) dan emansipatoris dari zona nyaman (comfort zone) dan minda negatif menuju minda hidup yang positif, kreatif, dan inovatif.
Role Model
Spirit gerakan literasi Kartini menghendaki adanya role model (teladan) dalam penyiapan generasi harapan masa depan bangsa. Strategi gerakan literasi perlu dilakukan dengan mendidik generasi muda dengan hati (cinta, kasih sayang). Apabila generasi muda bangsa diberikan teladan dan integritas moral yang mulia, seperti: jujur, disiplin, tekun dan tepercaya, terbuka dan komunikatif, berpikir cerdas dan kreatif, niscaya masa depan bangsa akan semakin konstruktif dan prospektif untuk Indonesia maju, sejahtera, adil, dan makmur.
Aktualisasi spirit literasi Kartini juga menghendaki role model dari para pemimpin bangsa agar generasi muda berjiwa progresif, berpikir kreatif, berkomunikasi efektif, menguasai bahasa asing, terampil memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, dan terlatih bertindak solutif, kreatif, dan inovatif. Role model Kartini masa kini harus menjadi saka guru bangsa sekaligus benteng moral bagi generasi muda dari berbagai ancaman budaya negatif.
Oleh karena itu, Kartini masa depan yang akan dipersiapkan menjadi pendidik dan penggerak literasi harus dicerdaskan dan dicerahkan pemikirannya dengan memperoleh akses dan kesempatan yang setara dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Gerakan literasi dan edukasi kaum perempuan melalui lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal, termasuk melalui media massa dan media sosial harus menjadi perhatian dan kepedulian semua pihak.
Spirit literasi Kartini di era disrupsi saat ini sangat diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam membentengi anak-anak dan keluarga dari dekadensi moral. Perempuan sebagai ibu itu ibarat madrasah (sekolah) kehidupan bangsa, sehingga kaum perempuan di semua lapisan masyarakat harus diedukasi dan diberikan literasi agar menjadi teladan terbaik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera.
Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya Tarbiyat al-Awlad fi al-Islam, menegaskan bahwa keteladanan yang baik (uswah hasanah) merupakan kunci kesuksesan dalam mengedukasi dan memberi literasi, sehingga mampu mengubah, memperbaiki, mereformasi kualitas hidup generasi muda bangsa dan membebaskan mereka dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kemunduran, keterjajahan, dan ketidakberdayaan.
Spirit literasi Kartini dalam menghadirkan jalan masa depan: “Habis Gelap Terbitlah Terang “ harus menjadi komitmen semua pihak, khususnya pemerintah, untuk memberi edukasi dan literasi terbaik bagi perempuan.
Menurut Syeikh Shalih al-Fauzan dalam Muhadharat fi al-Aqidah wa ad-Dakwah, “Apabila perempuan rusak (tidak mendapat edukasi dan literasi terbaik), maka rusak pula rumah tangga. Jika rumah tangga rusak maka rusak pula anak-anak. Dan jika anak-anak rusak maka rusak pula masyarakat”, karena saka guru masa depan peradaban bangsa itu sangat bergantung pada berkualitas tidaknya edukasi dan literasi perempuan.
(nag)