Merancang Masa Depan Maritim Indonesia

Jum'at, 05 April 2019 - 08:27 WIB
Merancang Masa Depan Maritim Indonesia
Merancang Masa Depan Maritim Indonesia
A A A
Irfan Nugraha Pengajar dan Peneliti Bidang Antropologi, Universitas Indonesia

PENGHUJUNG Maret 2019, kali pertama, konferensi internasional yang mengulas sejarah dan pengaruh Jalur Rempah diselenggarakan di Indonesia. Yayasan Negeri Rempah (YNR) dengan dukungan Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman (Kemenkomar) menyelenggarakan International Forum on Spice Road (IFSR) 2019. Forum ini mempunyai titik pijak yang unik, sekaligus menarik, ketika mengulas kesejarahan Jalur Rempah.
Konferensi yang dihadiri oleh pakar internasional dari berbagai negara serta dalam negeri, alih-alih mengulas rekam sejarah Jalur Rempah secara romantis, mampu merefleksikan, dan mengontekstualisasikan kesejarahan Jalur Rempah sehingga mampu menyegarkan kembali diskursus atas isu-isu kemaritiman yang tengah menjadi perhatian bangsa ini. Lantas, bagaimana kita merancang sektor kemaritiman Indonesia di masa depan?
Global Meeting Point Anthony Reid, begawan sejarah Asia Tenggara, salah satu pembicara kunci, membuka kuliahnya dengan pertanyaan: mengapa Indonesia tidak merayakan sejarah Enrique, seperti Malaysia dan Filipina? Enrique adalah awak kapal Ferdinand Magellan kelahiran Sumatera, yang bagi sebagian orang lebih layak mendapat gelar sebagai orang pertama yang berhasil keliling dunia dibandingkan dengan kaptennya yang tewas terlebih dahulu. Pertanyaan itu menjadi pemantik untuk mendiskusikan, mengapa tradisi kemaritiman Nusantara yang mendunia tidak berlanjut di masa sekarang?Sejarah mencatat, Nusantara, area yang kelak menjadi Indonesia, mempunyai posisi yang khas dalam konteks kesejarahan maritim dibandingkan area lain di sekitarnya. Namun, kejayaan Nusantara perlu dipahami dalam artian yang selama ini berbeda dengan anggapan populer kita. Berjayanya Nusantara di masa lalu, terutama semasa Jalur Rempah, tidaklah dalam wujud Nusantara sebagai imperium yang berkuasa secara mutlak, baik melalui penguasaan atau penundukan daerah lainnya.
Anthony Reid memaparkan, keberadaan Nusantara di masa lalu sebagai "global meeting point ." Nusantara menjadi ruang beragam budaya dan pengetahuan, sekaligus menjadi pusat penyebaran ke daerah lainnya, seperti perkembangan agama Buddha, Islam, dan Kristen di daerah Tiongkok yang tidak lepas peranan Nusantara. Sebab itu, kemajuan ekonomi semasa Jalur Rempah amat terkait dengan berseminya gagasan mengenai universalisme di Nusantara.
Nusantara bukan saja menyediakan tempat bagi para pedagang global untuk sibuk bertransaksi, namun juga memungkinkan pula pertukaran pengetahuan maupun terbangunnya jejaring global. Pelabuhan-pelabuhan Nusantara menjadi begitu kosmopolit sehingga setiap pelayar dari berbagai bangsa, seperti China, India, dan Eropa, dapat berinteraksi dalam satu ruang sosial sehingga tidak mengherankan jika terjalin pelayaran antara Aceh ke Istanbul maupun terhubungnya jalur Banten dan London melalui pelayaran.
Selain itu, Nusantara sebagai global meeting point memunculkan masyarakat yang sangat plural di Makassar. Rekam jejak sejarah di atas semakin menegaskan jika posisi Nusantara sebagai global meeting point , suatu area di sudut belahan dunia yang sudah menjalankan dan menyebarkan gagasan atas keterbukaan sejak dahulu. Lantas, mengapa pada akhirnya karakteristik maritim Nusantara yang menekankan keterbukaan lantas meredup?Anthony Reid, dalam penutup kuliahnya, menyebut sejumlah rangkaian peristiwa memang menyebabkan orientasi kemaritiman di Nusantara meredup. Namun, satu hal yang menarik adalah, dalam refleksinya mengenai berdirinya negara-bangsa modern, bangkitnya nasionalisme rupanya berperan dalam meredupnya orientasi kemaritiman. Permasalahannya, gagasan nasionalisme yang semula mengusung gagasan anti-imperialisme dan kosmopolit pada akhirnya malah terjebak pada gagasan yang selalu memandang ke dalam sehingga membuat bangsa ini melupakan gagasan keterbukaan, pluralitas, dan kemaritiman.
Merancang Orientasi Maritim Indonesia Tidak dapat terpungkiri, pidato Presiden Joko Widodo mengenai "Poros Maritim Dunia" perlu ditempatkan sebagai awal dari mengonkretkan diskursus kemaritiman di Indonesia. Seperti banyak diulas para ahli selama IFSR 2019, relevansi dari mendiskusikan sejarah Jalur Rempah bukanlah pada upaya untuk mencari legitimasi sejarah demi retorika kemaritiman. Namun, dari sejarahlah, kita dapat berefleksi serta menerjemahkannya sebagai rancangan aksi dan strategi kebijakan yang nyata.Seperti kita sadari, orientasi kita yang selama ini terfokus pada pembangunan "kontinental." Selama berpuluh tahun, infrastruktur "darat" adalah prioritas. Di satu sisi, infrastruktur "darat" menyokong pembangunan, namun di sisi lainnya pula melestarikan ketimpangan dan ketidakadilan, terutama pada model ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya.
Sebab itu, gagasan atas "Poros Maritim Dunia" perlulah diarahkan pada komitmen terhadap sektor kemaritiman itu sendiri. Sudah waktunya kita merealisasikan segala impian dan menanggalkan segala retorika. Salah satu upaya adalah dengan memberikan perhatian pada infrastruktur kemaritiman. Bukan sebagai aksi reaktif atas dominannya fokus terhadap infrastruktur "darat," namun perlu dilihat sebagai bagian strategi bangsa yang berupaya untuk menciptakan model pembangunan yang berkeadilan di masa depan.
Antara infrastruktur "darat" dan "maritim" pada dasarnya tidaklah kontradiktif, namun paradigma kita seringkali melupakan kesetaraan dan keseimbangan di antaranya. Sebab itu, sebagai salah satu upaya untuk merealisasikan visi kemajuan bangsa pada 2045, kita perlu untuk berkomitmen dalam pengembangan potensi sektor kemaritiman. Pengembangan yang perlu dirancang menjadi alternatif dalam merancang model pembangunan seperti apa yang kita harapkan dapat diterapkan di masa depan.
Namun, apakah mungkin dengan mengembangkan sektor kemaritiman, kita dapat merancang model yang terlihat ideal itu? Jika merefleksikan kembali sejarah Nusantara sebagai Jalur Rempah, orientasi pembangunan maritim mungkin dapat menjadi alternatif lain dalam menciptakan skema pembangunan berkeadilan. Seperti terulas dalam rekaman sejarah bahwa Nusantara adalah global meeting point , sebagaimana gagasan Anthony Reid, yang menyemaikan gagasan keterbukaan dan pertukaran yang adil di antara bangsa-bangsa. Perhatian terhadap sektor kemaritiman bukan saja mengakselerasi peranan Indonesia dalam perekonomian maupun peradaban dunia di masa depan, namun berkontribusi bagi Indonesia sebagai poros maritim yang membuka ruang bagi pertukaran ekonomi dan pengetahuan oleh berbagai bangsa secara berkeadilan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6399 seconds (0.1#10.140)