Ubah Krisis Jadi Maslahat: Belajar dari Selandia Baru

Jum'at, 29 Maret 2019 - 08:29 WIB
Ubah Krisis Jadi Maslahat: Belajar dari Selandia Baru
Ubah Krisis Jadi Maslahat: Belajar dari Selandia Baru
A A A
Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo
Panglima TNI (2015-2017)

KRISIS nasional yang terjadi di Selandia Baru, Jumat, 15 Maret 2019, sungguh mengejutkan. Seorang pria penganut ideologi supremasi kulit putih menembak mati 50 orang yang sedang salat Jumat di dua masjid di Christchurch.

Selandia Baru selama ini dikenal sebagai negara yang aman dan damai. Rakyatnya hidup tenteram dengan toleransi dan solidaritas sosial yang tinggi. Hampir tidak terdengar gesekan sosial yang menonjol, apalagi dengan latar belakang unsur SARA. Maka ketika terjadi penembakan brutal itu, dunia pun terhenyak.

Hal yang menjadi sangat menarik adalah bagaimana Selandia Baru, baik pemimpin maupun rakyatnya, menyikapi dan bertindak menghadapi krisis yang sangat tidak diperkirakan ini. Kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Ardern, mulai dari respons awal, penyikapan, tindakan dan ucapan hingga berbagai langkah yang dilakukannya, mengundang pujian dari masyarakat dunia. Sebagai seorang pemimpin yang relatif muda baik dari sisi usia maupun masa jabatannya sebagai PM (mulai 2017), tindakannya sungguh sangat membanggakan. Bahkan oposisi Partai Nasional Judith Collins mengatakan kepada parlemen bahwa Perdana Menteri telah bertindak "luar biasa".

Kepemimpinan PM Ardern tidak hanya mampu mengatasi krisis. Ia mampu menjadikan peristiwa ini momentum untuk menyatukan rakyat dan bangsanya. Ardern memimpin Selandia Baru membangun kembali jalinan sosial yang coba dihancurkan oleh tindakan biadab teroris. Ia berhasil menemukan kata-kata yang tepat, mengucapkan nada yang tepat, dan menyatukan bangsanya--sesuatu yang hanya bisa dilakukan sedikit pemimpin dunia.

Dunia pun memuji kepemimpinannya. "Ardern telah menjadi wajah kesedihan dan kedukaan bangsanya dan tekad mereka," tulis Ishaan Tharoor di The Washington Post . "Beginilah sosok seorang pemimpin," kata Grace Back seperti dikutip majalah Marie Claire Australia.

"Kami adalah satu, mereka adalah kami." Dengan hanya enam kata itu Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyatukan semua warga Selandia Baru dan mengirim pesan yang jelas kepada dunia. Seluruh negeri apa pun ras dan agamanya, apa pun kewarganegaraannya, bersatu dalam simpati dan duka yang mendalam sekaligus meringankan derita korban penembakan dan keluarganya.

Alih-alih teroris berniat menghancurkan persatuan dan solidaritas sosial melalui penghancuran keberagaman, justru yang terjadi sebaliknya, keberagaman menjadi perekat untuk bersatu semakin erat tanpa sekat. Penghormatan terhadap nilai-nilai Islam, antara lain dari para wanita Selandia Baru, termasuk PM Ardern, dengan mengenakan kerudung sebagai wujud duka yang mendalam sungguh sangat meringankan beban duka muslim di negara itu.

Kegiatan salat Jumat, 22 Maret 2019, menjadi puncak dari sikap toleran dan solidaritas sosial rakyat Selandia Baru. Tidak hanya kegiatan tersebut dijaga oleh polisi dan masyarakat nonmuslim Selandia Baru, tetapi suara azan dan khutbah Jumatnya juga disiarkan ke segenap pelosok negeri yang mayoritas nonmuslim ini. Setelah azan, semua yang hadir mengheningkan cipta untuk para korban dan diakhiri dengan ucapan PM Ardern, "Selandia Baru berkabung bersama Anda semua, kita semua satu."

Sementara itu pada khutbah Jumat di lapangan di seberang Masjid Al Noor, satu dari dua masjid yang menjadi sasaran penembakan maut di Christchurch, Imam Gamal Fouda mengatakan, "Kita patah hati, tetapi kita tidak hancur. Kebencian dapat dihancurkan dan kasih akan memulihkan kita."

Sungguh suatu sikap saling menghormati yang sangat indah di antara rakyat Selandia Baru baik yang muslim maupun nonmuslim. Inilah krisis yang memilukan, tapi dapat diubah menjadi maslahat yang luar biasa tidak hanya untuk Selandia Baru, tetapi juga dunia.

Indonesia
Pertanyaannya kemudian, sebagai bangsa Indonesia, apakah kita bisa melakukan sikap dan tindakan yang sama manakala menghadapi situasi seperti itu (n a'udzubillahimindzalik )?

Sebagai bangsa yang mayoritas muslim dan Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi sekalian alam, rahmatan lil ‘alamin , apakah kita, baik pemimpin maupun rakyat Indonesia, mampu menunjukkan sikap dan tindakan yang lebih baik atau setidaknya sama baiknya dengan yang ditunjukkan oleh rakyat Selandia Baru?

Pertanyaan ini relevan untuk kita ajukan. Saat ini, di tengah hiruk-pikuk kampanye, yang kita dengar dan lihat justru situasi yang tidak mencerminkan sikap sebagai bangsa yang mayoritas muslim dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin. Bahkan jauh pula dari sikap sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila.

Ujaran kebencian, pengotak-ngotakan, sebutan ektremis dan radikal, fitnah, dan hoaks begitu mudah diucapkan, disebarkan, dan bahkan dengan mudah diviralkan hanya karena berbeda pilihan politik. Inikah negeri Pancasila, negeri yang semua penduduknya meyakini agama-agama besar dunia? Mungkin inilah saatnya kita semua merenung, apakah seperti ini praktik demokrasi yang ingin kita bangun dan kembangkan di Indonesia?

Selandia Baru mengajari kita bagaimana seluruh bangsa, pemimpin, dan rakyatnya bersatu padu mengubah krisis menjadi maslahat. Semoga kita menjadi bangsa yang pandai belajar dari sejarah bangsa sendiri maupun pengalaman bangsa lain.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5764 seconds (0.1#10.140)