Banjir Sentani dan Perusakan Hutan
A
A
A
Banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang wilayah Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua menimbulkan kerugian sangat besar. Tidak hanya korban jiwa namun juga kerusakan infrastruktur parah.
Hingga kemarin sedikitnya tercatat 58 orang tewas, dan ribuan lainnya terpaksa harus mengungsi. Pemerintah diharapkan bisa bekerja cepat untuk memulihkan kondisi di Sentani. Para korban juga harus dijamin tertangani dengan baik dan semua kebutuhan yang besifat darurat terpenuhi.
Banjir bandang di provinsi paling timur Indonesia ini kembali mengingatkan kita betapa kerusakan lingkungan akan berbuah malapetaka bagi manusia. Dari berbagai kejadian bencana banjir bandang di Tanah Air umumnya dipicu oleh perusakan hutan. Areal hutan yang harusnya menjadi daerah resapan air terus tergerus oleh aktivitas penebangan hutan liar.
Akibatnya, air tidak lagi mampu tertahan di hulu dan berubah menjadi bah yang membawa bencana. Kondisi ini pula yang diduga terjadi di Sentani. Selain curah hujan yang memang tinggi, dugaan sementara terjangan air bah ke wilayah permukiman penduduk disebabkan pembabatan hutan di wilayah hulu.
Kerusakan ekosistem di Gunung Cycloop, Jayapura, Papua yang sudah berlangsung lama disebut-sebut sebagai penyebab bencana. Dugaan ini cukup kuat karena ditemukan material berupa potongan-potongan kayu hutan yang terbawa air.
Idealnya, wilayah hutan di pegunungan seharusnya tetap dipertahankan sebagai daerah resapan dan penahan longsor. Namun yang terjadi wilayah hijau pegunungan ini sebagian sudah disulap menjadi ladang dan kebun.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana yang sama juga terjadi di Sentani pada 2007 lalu yang juga menimbulkan korban jiwa. Saat itu penebangan hutan juga disebut-sebut sebagai pemicu banjir bandang.
Artinya, pemerintah daerah setempat tidak belajar dari kejadian bencana sebelumnya. Bisa jadi aktivitas penebangan hutan di hulu masih terus berlangsung dan tidak dilakukan upaya rehabilitasi hutan rusak secara memadai.
Jika upaya penghijauan tidak pernah dilakukan secara benar maka ancaman bencana akan terus mengintai. Ini tidak hanya berlaku di Sentani, tapi juga daerah-daerah lain di Indonesia.
Dalam upaya mencegah kerusakan hutan yang lebih massif, pemerintah telah memberlakukan moratorium pembukaan hutan dan lahan gambut. Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Langkah pemerintah pusat ini seharusnya ditindaklanjuti oleh seluruh pemerintah daerah. Jangan sampai ada yang membandel dengan tetap memberikan izin kepada pengusaha. Bahkan untuk memulihkan lingkungan yang terlanjur rusak ini, moratorium pembukaan hutan dan lahan saja tidak cukup. Melainkan harus dibarengi langkah penghijauan. Intinya, pemerintah harus memastikan tidak ada aktivitas penebangan hutan ilegal di wilayah pegunungan.
Pada debat calon presiden yang kedua beberapa waktu lalu, dua kandidat calon presiden, Jokowi dan Prabowo Subianto sudah menyatakan komitmennya di bidang lingkungan hidup. Siapa pun yang akhirnya akan terpilih menjadi presiden pada lima tahun ke depan, diharapkan ada perbaikan yang lebih baik dalam penyelamatan lingkungan. Ini dalam upaya menghindarkan masyarakat menjadi korban akibat ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam.
Memang angka laju deforestasi atau perusakan hutan di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir menurun. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengklaim pada kurun 2014-2015, angka penebangan hutan mencapai 1,09 juta hektare. Seluas 820.000 hektare deforestasi berada di area hutan, sedangkan 280.000 berada di area non-hutan.
Namun, angka tersebut berkurang pada kurun 2015-2016 tinggal menjadi 630.000 hektare dengan rincian 430.000 hektar di area hutan, dan 200.000 di area non-hutan. Laju penurunan kerusakan hutan diklaim terus berlanjut pada 2016-2017. Penebangan hutan diklaim terjadi 480.000 hektare, 310.000 hektare di area hutan dan 170.000 di area non-hutan. Ke depan, upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan harus dilakukan secara serius.
Langkah ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Agar kejadian di Sentani tidak terulang investigasi lebih lanjut soal penyebab banjir bandang harus dilakukan. Jika memang ditemukan ada pelanggaran, aparat hukum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu. Pembangunan jangan dilakukan secara semborono tanpa memperhatikan aspek keselamatan jiwa manusia.
Hingga kemarin sedikitnya tercatat 58 orang tewas, dan ribuan lainnya terpaksa harus mengungsi. Pemerintah diharapkan bisa bekerja cepat untuk memulihkan kondisi di Sentani. Para korban juga harus dijamin tertangani dengan baik dan semua kebutuhan yang besifat darurat terpenuhi.
Banjir bandang di provinsi paling timur Indonesia ini kembali mengingatkan kita betapa kerusakan lingkungan akan berbuah malapetaka bagi manusia. Dari berbagai kejadian bencana banjir bandang di Tanah Air umumnya dipicu oleh perusakan hutan. Areal hutan yang harusnya menjadi daerah resapan air terus tergerus oleh aktivitas penebangan hutan liar.
Akibatnya, air tidak lagi mampu tertahan di hulu dan berubah menjadi bah yang membawa bencana. Kondisi ini pula yang diduga terjadi di Sentani. Selain curah hujan yang memang tinggi, dugaan sementara terjangan air bah ke wilayah permukiman penduduk disebabkan pembabatan hutan di wilayah hulu.
Kerusakan ekosistem di Gunung Cycloop, Jayapura, Papua yang sudah berlangsung lama disebut-sebut sebagai penyebab bencana. Dugaan ini cukup kuat karena ditemukan material berupa potongan-potongan kayu hutan yang terbawa air.
Idealnya, wilayah hutan di pegunungan seharusnya tetap dipertahankan sebagai daerah resapan dan penahan longsor. Namun yang terjadi wilayah hijau pegunungan ini sebagian sudah disulap menjadi ladang dan kebun.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana yang sama juga terjadi di Sentani pada 2007 lalu yang juga menimbulkan korban jiwa. Saat itu penebangan hutan juga disebut-sebut sebagai pemicu banjir bandang.
Artinya, pemerintah daerah setempat tidak belajar dari kejadian bencana sebelumnya. Bisa jadi aktivitas penebangan hutan di hulu masih terus berlangsung dan tidak dilakukan upaya rehabilitasi hutan rusak secara memadai.
Jika upaya penghijauan tidak pernah dilakukan secara benar maka ancaman bencana akan terus mengintai. Ini tidak hanya berlaku di Sentani, tapi juga daerah-daerah lain di Indonesia.
Dalam upaya mencegah kerusakan hutan yang lebih massif, pemerintah telah memberlakukan moratorium pembukaan hutan dan lahan gambut. Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Langkah pemerintah pusat ini seharusnya ditindaklanjuti oleh seluruh pemerintah daerah. Jangan sampai ada yang membandel dengan tetap memberikan izin kepada pengusaha. Bahkan untuk memulihkan lingkungan yang terlanjur rusak ini, moratorium pembukaan hutan dan lahan saja tidak cukup. Melainkan harus dibarengi langkah penghijauan. Intinya, pemerintah harus memastikan tidak ada aktivitas penebangan hutan ilegal di wilayah pegunungan.
Pada debat calon presiden yang kedua beberapa waktu lalu, dua kandidat calon presiden, Jokowi dan Prabowo Subianto sudah menyatakan komitmennya di bidang lingkungan hidup. Siapa pun yang akhirnya akan terpilih menjadi presiden pada lima tahun ke depan, diharapkan ada perbaikan yang lebih baik dalam penyelamatan lingkungan. Ini dalam upaya menghindarkan masyarakat menjadi korban akibat ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam.
Memang angka laju deforestasi atau perusakan hutan di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir menurun. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengklaim pada kurun 2014-2015, angka penebangan hutan mencapai 1,09 juta hektare. Seluas 820.000 hektare deforestasi berada di area hutan, sedangkan 280.000 berada di area non-hutan.
Namun, angka tersebut berkurang pada kurun 2015-2016 tinggal menjadi 630.000 hektare dengan rincian 430.000 hektar di area hutan, dan 200.000 di area non-hutan. Laju penurunan kerusakan hutan diklaim terus berlanjut pada 2016-2017. Penebangan hutan diklaim terjadi 480.000 hektare, 310.000 hektare di area hutan dan 170.000 di area non-hutan. Ke depan, upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan harus dilakukan secara serius.
Langkah ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Agar kejadian di Sentani tidak terulang investigasi lebih lanjut soal penyebab banjir bandang harus dilakukan. Jika memang ditemukan ada pelanggaran, aparat hukum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu. Pembangunan jangan dilakukan secara semborono tanpa memperhatikan aspek keselamatan jiwa manusia.
(nag)