Jelang Debat Ketiga Pilpres, Jenggala Center Bedah Isu Ketenagakerjaan

Jum'at, 15 Maret 2019 - 18:23 WIB
Jelang Debat Ketiga Pilpres, Jenggala Center Bedah Isu Ketenagakerjaan
Jelang Debat Ketiga Pilpres, Jenggala Center Bedah Isu Ketenagakerjaan
A A A
JAKARTA - Jenggala Center kembali diskusi publik tematik jilid III bertajuk Revolusi Industri 4.0 vs Ketenagakerjaan Kita.

Melalui diskusi ini, Jenggala Center membedah isu ketenagakerjaan menjelang debat ketiga Pilpres 2019 yang diikuti kedua calon wakil presiden (cawapres) pada 17 April 2019.

Narasumber diskusi adalah mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi yang berbicara tentang penguatan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi fokus dan program pemerintah dalam menghadapi industri 4.0.

Menurut Sofjan, penguatan SDM yang dicanangkan pemerintah tersebut harus mendapat dukungan semua pihak. Sebab, SDM akan menentukan masa depan Indonesia.

"Tanpa SDM payah kita. Dan ini yang direncakan pak Jokowi, bukan lagi infrastruktur, tapi SDM," tutur Sofjan di kantor Jenggala Center, Jakarta Selatan, Jumat (15/3/2019).

Sofjan mencontohan beberapa negara yang kuat karena didorong SDM. China dan Jepang adalah di antaranya. Menurut dia, Indonesia bisa saja menjadi negara kuat seperti China dan Jepang. Tapi hal itu tergantung kesiapan SDM dalam mengelola sumber daya alam Indonesia yang melimpah ini.

"Kerena bangsa kita ini kaya suber daya alam, penduduk kita banyak," katanya.

Sofjan juga memaparkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi industri 4.0. Selain SDM, Sofjan menyebut tantangannya adalah tidak adanya kerjasama antara pengusaha.

"Di mana-mana du dunia ini kita berkelahi dengan manusia, bersaing bukan dengan besi. Besi-besi itu bisa kita beli," tandasnya.

Dia lantas mendorong pengusaha pemula lebih giat, terbuka, dan transparan dalam melakukan kerja sama dalam membangun perusahaan. Selain demi mendapat keuntungan secara bersama-sama, hal tersebut juga sebagau start up bersaing dengan pengusaha-pengusaha kelas atas.

"Jangan sendiri-sendiri, harus ada kerja sama untuk melawan (pengusaha-red) gede-gede. Itu enggak mungkin lagi bisa dilawan kalau tidak ada kerjasama," katanya.

Di tempat yang sama, pakar politik dan hukum Setya Arinanto menegaskan teknologi tidak mungkin dapat menggantikan posisi dan peran sentral manusia. Sebab, apa pun itu yang membuat teknologi berkembang pesat adalah manusia itu sendiri.

"Di China sudah ada pembaca berita perempuan, tapi itu robot. Dia baca teks berita-berita baru. Dia ngomong terus, tapi manusia tetang penting," katanya.

Dalam perspektif hukum dan politik, Setya menegaskan tetap akan ada kepentingan politik dan bisnis dalam implementasi industri 4.0 dan ketenagakerjaan. Dia mencontohkan soal peraturan outsourcing.

"Ada orang yang berusaha menghapus outsourcing tapi ada juga yang ingin mempertahankan. Ini karena kepentingan, walaupun sudah sudah ada keputusan MK, walaupun tinggal mengubah UU atau menerbitkan peraturan pemerintah," katanya.

Meskipun Indonesia akan menghadapi industri 4.0 dan 5.0, Satya menegaskan ada lima hal yang perlu dipersiapkan secara matang. "Pertama karena komunikasi, kedua kepemimpinan, ketiga kreasi, keempat keingin tahuan dan kelima literasi," tandas dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab menyoroti soal tidak jelasnya road map industri 4.0. Padahal, road map tersebut sangat penting untuk melindugi sektor ketenagakerjaan.

"Apalagi serbuan tenaga asing tak bisa hindarkan. Makanya diperlukan regulasi yang ketat untuk melindungi hak-hak warga negara," katanya.

Dia lantas berharap presiden terpilih pada Pilpres 17 April 2019 menempatkan isu ketenagakerjaan baik dalam maupun luar negeri menjadi bagian penting dari kebijakan nasional untuk menambah devisa.

"Outsourcing perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi karena lebih banyak merugikan hak-hak tenaga kerja kita," kata Syamsuddin.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6885 seconds (0.1#10.140)