Paradoks Makna Kebebasan Berpendapat

Rabu, 13 Maret 2019 - 06:38 WIB
Paradoks Makna “Kebebasan...
Paradoks Makna Kebebasan Berpendapat
A A A
Satria Sukananda

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

ERA reformasi ditandai dengan konsep open ideology, yang salah satu komponen utamanya adalah “kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara”. Berpendapat secara umum dapat diartikan sebagai kemerdekaan menyampaikan pendapat maupun keadaan bebas dari tekanan untuk mengemukakan gagasan atau buah pikiran, baik secara lisan maupun tertulis yang dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab.

Dalam kehidupan negara Indonesia pada era reformasi ini, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan gagasannya dijamin secara konstitusional. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan (constitutional guarantee) dalam perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfil) terhadap kemerdekaan mengemukakan pendapat. Dalam Pasal 28 UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Hal tersebut secara spesifik diatur pada pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kedua pasal ini membuktikan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara Indonesia memberikan jaminan bahwa mengemukakan pendapat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum.

Dalam dunia internasional, kebebasan berpendapat diatur dalam Universal Declaration of Human Rights pada pasal 19 yang berbunyi “Everyone has the right to freedom of opinion and expression, this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontier (setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas).

Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi” pada DUHAM PBB tersebut, kemudian diperkuat pada Resolusi Majelis Umum PBB 16 Desember 1966 melalui Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ketentuan ini secara filosofis juga menjadi acuan MPR untuk menyusun Bab XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945. Melihat penjelasan di atas menunjukkan bahwa memang kebebasan berpendapat sangat dilindungi bahkan di lingkup internasional.

Kehilangan Makna

Jika melihat pada keadaan faktual di Indonesia, akhir-akhir ini seakan hak untuk menyatakan pendapat kehilangan kebermaknaannya. Masyarakat Indonesia saat ini sangat disibukkan setiap harinya dengan pelaporan-pelaporan terkait delik ujaran kebencian dan penghinaan, baik secara langsung maupun melalui media sosial, mulai pelaporan atas Jonru Ginting, Ahmad Dhani, Rocky Gerung, dan baru-baru ini dengan penangkapan Robertus Robert pada Aksi Kamisan. Ini menambah pertanyaan besar akan paradoks kebebasan berpendapat dan berekspresi di muka umum pada era reformasi. Persoalan-persoalan ini kemudian muncul dari dasar pertanyaan mengenai letak sebenarnya batasan-batasan antara hak asasi manusia dalam kaitannya dengan kebebasan berpendapat dan pelanggaran hukum.

Pelaporan atas seseorang yang menyatakan pendapat di muka umum jika dilihat dari kacamata hukum pidana memang dinilai sah-sah saja. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan hak kepada setiap orang untuk melakukan laporan dan pengaduan. Namun, yang menjadi persoalan adalah tafsiran masing-masing individu terkait tindakan yang dapat dilaporkan tersebut. Hal ini menjadi permasalahan baru jika dipandang dari kacamata negara demokrasi karena memang fundamen dari negara yang demokratis adalah ditegakkannya hak-hak sipil. Apabila hak-hak sipil tersebut tidak ditegakkan oleh negara maka negara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai negara demokratis.

Menilik penjelasan di atas, bahwa sebab dari seluruh rangkaian peristiwa tersebut adalah ketidakjelasan irisan antara hak asasi manusia untuk menyatakan pendapat dan penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum yang terlalu kaku seolah-olah dapat membelenggu makna asli dari kebebasan berpendapat yang secara rigid telah diatur oleh konstitusi, yang kemudian akan bermuara pada masalah baru berupa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan tidak lagi dijalankannya due process of law yang baik dan benar. Hal ini sejalan dengan pendapat yang pernah dikemukakan oleh John Emerich Edward Acton bahwa “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”.

Kondisi seperti penjelasan di atas sangat dikhawatirkan dapat berdampak pada masa yang akan datang saat semua warga negara akan sangat mungkin dilimitasi hak atas kebebasan berpendapatnya. Di mana letak hak asasi manusia pada masa itu? Padahal, kebebasan berpendapat pada negara demokrasi modern adalah suatu hal yang mutlak. Hal ini sejalan dengan pendapat John Stuart Mill filsuf Inggris abad ke-17 yang gigih memperjuangkan kebebasan dan menegaskannya dalam kehidupan masyarakat demokrasi dalam pernyataannya yang berbunyi “Semakin luas kebebasan berekspresi dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban maka masyarakat atau peradaban tersebut semakin maju dan berkembang.”

Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang ke-16, juga mengemukakan hal yang sama bahwa proses demokrasi adalah proses pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people). Kehadiran demokrasi tidak dapat tercapai jika kebebasan berpendapat terkungkung di dalam dogmatik hukum yang abu-abu.

Antara Hukum dan HAM

Secara konseptual, penegakan hukum dalam negara demokrasi sesungguhnya mempunyai dua sisi, yaitu sisi pencegahan (preventif) agar orang tidak melanggar hukum dan sisi penindakan (represif) terhadap orang yang melanggar hukum. Aspek pencegahan menitikberatkan kepada usaha mempertahankan tertib sosial, sedangkan aspek represif menitikberatkan kepada pemulihan tertib sosial yang terganggu akibat adanya pelanggaran hukum.

Konsep tersebut merupakan konsep yang ideal jika dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat yang mengharuskan hukum untuk benar-benar bisa memahami irisan antara kedua keadaan tersebut. Penegakan hukum harus dapat menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam hal kebebasan berpendapat demi terciptanya keseimbangan terkait hal tersebut. Pemberian ruang bagi setiap warga negara pada proses demokrasi menjadi hak asasi bagi yang bersangkutan.

Irisan antara hak asasi manusia dan hukum dalam negara demokrasi inilah yang harus dijaga. Jika hukum lebih dominan maka hukum dapat menjadi tirani yang membelenggu hak asasi manusia. Begitu juga sebaliknya, pemaknaan atas hak asasi manusia yang bersifat absolut tanpa ada pembatasan merupakan sebuah kekeliruan.

Penegak hukum, khususnya aparat peradilan, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim memainkan peran penting dalam hal ini. Penegak hukum harus benar-benar memahami konteks makna kebebasan berpendapat sebab penafsiran irisan antara hak asasi manusia dalam hal kebebasan berpendapat dan pelanggaran hukum yang kacau dan sering kali dikriminalisasi hanya bisa diserahkan oleh kebijaksanaan para penegak hukum dalam proses peradilan.

Selama pendapatnya tidak melanggar hak orang lain tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku maka sepantasnya hak tersebut harus dilindungi atas dasar konstitusi. Tetapi apabila pendapatnya tersebut melanggar hak orang lain dan melanggar instrumen hukum, hak demikian bukanlah ekspresi kebebasan berpendapat, melainkan suatu delik pidana.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0579 seconds (0.1#10.140)