Anak Rawan Jadi Korban Kejahatan Media Sosial
A
A
A
JAKARTA - Semakin viralnya penggunaan media sosial membuat kasus kejahatan semakin marak, terutama terhadap anak. Anak sering kali menjadi korban kasus kekerasan dan eksploitasi seksual lewat media sosial karena berlebihan mengakses internet.
Masalah ini terjadi tidak jauh dari kehidupan sosial anak, baik di lingkungan rumah atau keluarga, pergaulan, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, atau di mana pun selama akses internet dapat dilakukan. Bahkan, ironisnya, pelakunya merupakan orang terdekat seperti teman dan keluarga.
“Di era digital seperti saat ini, internet telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak di Indonesia. Dari catatan, ada sekitar 75% anak berusia 10–12 tahun telah menggunakan ponsel dan memiliki media sosial. Sementara anak yang terlahir di atas tahun 2000 sudah terpapar teknologi sejak lahir atau dikenal dengan digital native,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar saat memberikan sambutan pada acara #GenZBerkreasi: Internet Asyik Bareng Generasi Z di Jakarta kemarin.
Nahar mengungkapkan, berdasarkan data Bareskrim Mabes Polri, pada 2016 hingga Februari 2018, terjadi 1.127 kasus eksploitasi seksual anak. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan hingga 2018 tercatat 1.809 kasus eksploitasi anak melalui media sosial. Dari data-data yang telah ada itu, maka perlu adanya perlindungan khusus bagi anak di internet.
“Karena internet dan media sosial merupakan gerbang masuknya anak menjadi korban eksploitasi seksual. Internet membawa banyak dampak positif pada anak, seperti untuk edukasi, hiburan, kreativitas, dan sebagainya. Tapi tidak dapat dipungkiri terdapat resiko dampak negatif internet pada anak. Anak bisa menjadi sasaran cyberbullying, radikalisme, incaran para predator pedofil dan pelanggaran privasi hingga pengaruh konten yang tidak pantas,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti mengatakan, seharusnya dunia maya bisa memberikan ruang bagi anak untuk bersuara agar mereka benar-benar didengar oleh para pembuat kebijakan. “Kami menekankan bahwa yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia adalah dukungan dan perlindungan dari berbagai pihak terhadap segala risiko dan ancaman yang dapat menimpa mereka baik di dunia nyata maupun di dunia maya,” tandasnya.
Menurut Dini, kekerasan terhadap anak pemicunya adalah penggunaan media sosial yang tidak sehat. Akses porno yang semakin mudah, tidak ada batasan anak-anak melihat video porno, bahkan banyak kasus di mana para anak hingga remaja diperkosa karena kenalan melalui media sosial. “Maka itu, kita harus memutus rantai itu dengan memberikan pendampingan kepada anak,” tandasnya. (Binti Mufarida)
Masalah ini terjadi tidak jauh dari kehidupan sosial anak, baik di lingkungan rumah atau keluarga, pergaulan, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, atau di mana pun selama akses internet dapat dilakukan. Bahkan, ironisnya, pelakunya merupakan orang terdekat seperti teman dan keluarga.
“Di era digital seperti saat ini, internet telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak di Indonesia. Dari catatan, ada sekitar 75% anak berusia 10–12 tahun telah menggunakan ponsel dan memiliki media sosial. Sementara anak yang terlahir di atas tahun 2000 sudah terpapar teknologi sejak lahir atau dikenal dengan digital native,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar saat memberikan sambutan pada acara #GenZBerkreasi: Internet Asyik Bareng Generasi Z di Jakarta kemarin.
Nahar mengungkapkan, berdasarkan data Bareskrim Mabes Polri, pada 2016 hingga Februari 2018, terjadi 1.127 kasus eksploitasi seksual anak. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan hingga 2018 tercatat 1.809 kasus eksploitasi anak melalui media sosial. Dari data-data yang telah ada itu, maka perlu adanya perlindungan khusus bagi anak di internet.
“Karena internet dan media sosial merupakan gerbang masuknya anak menjadi korban eksploitasi seksual. Internet membawa banyak dampak positif pada anak, seperti untuk edukasi, hiburan, kreativitas, dan sebagainya. Tapi tidak dapat dipungkiri terdapat resiko dampak negatif internet pada anak. Anak bisa menjadi sasaran cyberbullying, radikalisme, incaran para predator pedofil dan pelanggaran privasi hingga pengaruh konten yang tidak pantas,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti mengatakan, seharusnya dunia maya bisa memberikan ruang bagi anak untuk bersuara agar mereka benar-benar didengar oleh para pembuat kebijakan. “Kami menekankan bahwa yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia adalah dukungan dan perlindungan dari berbagai pihak terhadap segala risiko dan ancaman yang dapat menimpa mereka baik di dunia nyata maupun di dunia maya,” tandasnya.
Menurut Dini, kekerasan terhadap anak pemicunya adalah penggunaan media sosial yang tidak sehat. Akses porno yang semakin mudah, tidak ada batasan anak-anak melihat video porno, bahkan banyak kasus di mana para anak hingga remaja diperkosa karena kenalan melalui media sosial. “Maka itu, kita harus memutus rantai itu dengan memberikan pendampingan kepada anak,” tandasnya. (Binti Mufarida)
(nfl)