Menghangatkan Perekonomian

Senin, 11 Maret 2019 - 07:36 WIB
Menghangatkan Perekonomian
Menghangatkan Perekonomian
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

SALAH satu isu strategis yang terus menarik perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir ialah perihal perkembangan indeks harga konsumen (inflasi). Pergerakan tingkat inflasi menjadi ihwal penting karena merepresentasikan dinamika makroekonomi nasional secara simultan, baik itu sisi produksi (supply side) maupun konsumsi (demand side).

Banyak pula faktor yang dapat diukur bagaimana kinerjanya melalui pergerakan inflasi, misalnya terkait bagaimana dampak peranan (intervensi) pemerintah dan/atau sektor moneter dalam stabilitas harga, dinamika tingkat pendapatan dan produktivitas rumah tangga, karakteristik antardaerah, hingga perubahan selera pasar.

Selain itu faktor lain yang menjadikan inflasi sebagai acuan penting adalah pengaruhnya terhadap psikologis pasar. Rata-rata pelaku pasar merujuk perkembangan inflasi untuk menentukan apakah sebaiknya akan menggenjot investasi, produksi, dan konsumsi, ataukah justru sebaliknya, lebih baik menahan diri daripada terjebak pada sebuah risiko sistemik.

Perkembangan tingkat perubahan harga konsumen pada Februari kemarin secara umum menandakan adanya penurunan harga secara agregat. Kita mengalami deflasi sebesar 0,08% dibandingkan periode sebelumnya (mtm).

Dari 7 kelompok pengeluaran yang menjadi indikator perubahan harga, hanya 1 yang mengalami deflasi, yakni kelompok bahan makanan yang harganya turun 1,11% (mtm). Kendati demikian andilnya juga yang paling besar terhadap agregat inflasi, yakni minus 0,24% (mtm).

Adapun kelompok lainnya sedang mengalami inflasi meskipun angkanya tidak cukup signifikan. Atas dasar kondisi tersebut, ada beberapa hal yang sedianya perlu segera disikapi dengan sigap dan cepat. Minimal kita perlu mengetahui apa saja faktor-faktor penyebabnya.

Secara teoretis, inflasi yang rendah adalah pertanda yang cukup baik bagi sebuah perekonomian. Akan tetapi perlu dilihat kembali apa saja faktor penyebabnya.

Deflasi/inflasi yang rendah tidak akan berarti apa-apa jika penyebabnya bukan karena perubahan struktural yang menjurus pada efisiensi dan peningkatan produktivitas pasar. Sumber perubahan harga akan terus berkutat pada strategi untuk menyeimbangkan antara tingkat permintaan dan penawaran.

Terkait kondisi yang sekarang, banyak pakar perekonomian yang berusaha menebak faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya deflasi. Faktor penurunan harga bisa banyak sumbernya, misalnya karena distribusi yang lebih baik, atau karena produksi yang semakin seimbang dengan permintaan pasar.

Kemungkinan lain (yang nadanya cenderung negatif) adalah prediksi bahwa deflasi bersumber dari suplai yang terlalu berlimpah (excess/over supply). Artinya jumlah produk-produk yang dipasarkan melebihi tingkat permintaan masyarakat.

Dugaan yang lebih parah lagi adalah terkait tingkat daya beli masyarakat sedang tertahan/menurun. Atas berbagai pertimbangan, bisa jadi konsumen sedang memilih menahan belanjanya karena sedang berjaga-jaga dengan segala ketidakpastian ekonomi.

Hal itu juga dapat “memaksa” para pedagang untuk menurunkan nilai produknya daripada harga jualnya tidak terjangkau/diminati masyarakat. Apalagi suasana politik yang suhunya memanas membuat banyak pelaku ekonomi yang memilih wait and see (untuk investasi/konsumsi). Risikonya dianggap lebih terkendali ketimbang nantinya dikatakan terlalu berani hingga akhirnya dipaksa kalah “berjudi”.

Akar Dinamika Harga
Dalam pengertian mendasar, inflasi sebenarnya adalah kondisi meningkatnya harga secara umum dan terjadi secara terus-menerus. Logikanya tingkat permintaan memang akan terus meningkat seiring semakin bertambahnya jumlah permintaan yang didorong pertumbuhan jumlah penduduk, terutama pada jenis-jenis kebutuhan primer.

Jadi faktor utamanya adalah jumlah, pasokan, atau produksi komoditas/barang, baik melalui mekanisme pasar atau komoditas yang harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah. Pada suatu kondisi, kadang-kadang permasalahan inflasi bukan karena faktor produksi, tetapi ada masalah pada distribusi yang kurang merata.

Karena itu dalam suatu waktu ada satu daerah yang surplus, tetapi daerah lain justru mengalami kekurangan. Kita sendiri sudah sering kali mengalaminya hanya karena transaksi antardaerah yang terhambat sarana-prasarana logistik. Untuk itu sangat penting koneksitas yang terhubung dengan baik untuk memperbaiki distribusi antardaerah, apalagi jika turut diikuti dengan penurunan biaya logistik yang mendorong efisiensi usaha.

Beberapa usaha pemerintah untuk mencegah kejadian ini salah satunya dengan mendirikan TPID (tim pengendalian inflasi daerah) yang untuk saat ini dikomandoi oleh Bank Indonesia (BI). BI juga membentuk beberapa kluster komoditas untuk memberikan edukasi pengelolaan produksi yang baik kepada masyarakat, termasuk mengelola komoditas sampai pada tingkat off-farm (pascapanen).

Pengelolaan pascapanen (terutama untuk produk pertanian) sangat penting karena rata-rata sering terjadi oversupply pada saat musim panen raya sehingga shifting produksi dibutuhkan untuk menyeimbangkan dengan tingkat permintaan. Selain itu bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan seiring pertumbuhan sublini produksi.

Hal lain yang tak mungkin ditinggalkan adalah tingkat daya beli masyarakat. Karena bagaimanapun inflasi adalah pertemuan kemampuan produksi dan konsumsi.

Dari sisi konsumsi, faktor determinannya adalah tingkat pendapatan dan harga pasar. Tingkat pendapatan bisa didorong dari cara meningkatkan nilai aktivitas ekonomi masyarakat.

Ketika masyarakat semakin produktif dan diimbangi dengan kenaikan nilai produksi, dampaknya akan memperkuat pada daya belanja. Akan tetapi pemikiran ini tidak cukup berhenti sampai di sini karena daya beli juga didorong oleh faktor harga yang diterima masyarakat. Nah, di sinilah kejelian intervensi pemerintah dan BI amat sangat dipertaruhkan.

Pemerintah sudah berusaha menginjeksi kapasitas ekonomi domestik melalui berbagai cara. Dua kebijakan yang mungkin paling sering terdengar adalah gelontoran pembangunan infrastruktur dan efisiensi kelembagaan melalui deregulasi perizinan.

Di balik segala macam kontroversi yang berkembang pada saat pembangunan infrastruktur dilakukan, terbukti berdasarkan skor logistic performance index yang disusun Bank Dunia, peringkat kita meningkat dari urutan ke-63 dunia (2016) menjadi ke-46 dunia pada 2018. Dari 6 indikator yang menjadi parameter, hanya aspek kepabeanan (customs) yang nilainya terlihat menurun.

Adapun indikator lainnya mulai dari kondisi infrastruktur (infrastructure) perdagangan dan transportasi (pelabuhan, perkeretaapian, jalanan dan teknologi informasi), kemudahan mencari kapal pengangkutan barang (international shipments), kompetensi dan kualitas jasa logistik (logistic competence), kemudahan proses pelacakan dan penelusuran barang (tracking and tracing) hingga ketepatan waktu (timeliness) semuanya meningkat. Tentu muara dari perbaikan itu adalah semakin menurunnya biaya logistik yang menjurus pada semakin baiknya pengendalian inflasi dari sisi produksi dan distribusi.
Sementara itu keputusan pemerintah untuk melakukan deregulasi kebijakan ditujukan untuk meningkatkan daya saing investasi. Kebijakan ini dilakukan untuk melengkapi tujuan dari pembangunan infrastruktur.

Jadi diharapkan semakin banyak investor yang mau menanamkan modalnya dengan adanya kemudahan birokrasi beserta peningkatan akses ekonomi. Investasi akan selalu dibutuhkan untuk meningkatkan produksi dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Terlebih jika arah investasi ditujukan pada sektor-sektor padat karya dan mampu memberdayakan sumber daya lokal.

Mungkin, salah satu pekerjaan rumah yang masih belum tuntas diselesaikan pemerintah adalah mengatasi kehadiran broker ekonomi yang sifatnya destruktif. Ada yang mengistilahkan kelompok ini sebagai para mafia atau spekulan ekonomi. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar mekanisme pasar kita masih dikuasai oleh para broker, khususnya pada penentuan harga jual-beli.

Perilaku para oknum ini semestinya perlu semakin dibatasi karena sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak. Sudah menjadi tugas bagi pemerintah untuk melindungi para pelaku ekonomi yang tampaknya semakin hari semakin termarginalkan. Misalnya dengan membangun sistem transaksi yang semakin terbuka dan berkeadilan, terutama pada kelompok-kelompok usaha yang kapasitas jaringan pemasarannya rendah dan bergantung pada pihak lain untuk menjual produknya.

Jika tidak segera teratasi, mungkin kita akan melihat jumlah produsen yang kian kecil, terutama pada kelompok usaha primer seperti petani dan peternak. Selama ini mereka semakin termarginalkan oleh mekanisme pasar yang dikendalikan para broker.

Mengingat begitu banyak kebijakan yang dilakukan pemerintah dan BI untuk mengelola inflasi ini, perlu kita pahami mengapa kita perlu menghangatkan perekonomian kita dengan inflasi yang sedikit lebih tinggi. Hal yang jelas adalah penurunan harga (deflasi) menandakan perlunya injeksi perekonomian seperti investasi, kucuran kredit, pencairan anggaran yang lebih cepat dan merata (dari sisi waktu) maupun konsumsi yang tinggi dari masyarakat.

Kita perlu menggagas agar semakin banyak aktivitas ekonomi yang muncul sebagai dampak injeksi pendanaan tersebut. Untuk itu pemerintah perlu menjaga injeksi agar terus berkelanjutan dan BI dapat memperkuatnya melalui kebijakan tingkat suku bunga.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6851 seconds (0.1#10.140)