Energi dan Hajat Keadilan

Rabu, 06 Maret 2019 - 08:10 WIB
Energi dan Hajat Keadilan
Energi dan Hajat Keadilan
A A A
Mutiara Alam Addini
Alumni LPDP, McCourt School of Public Policy, Georgetown University, Amerika Serikat

LONJAKAN harga minyak dunia tahun lalu telah memberi tekanan yang cukup berarti bagi ekonomi nasional. Hal itu terlihat dari melebarnya defisit neraca perdagangan migas yang pada akhirnya menekan kinerja neraca perdagangan nonmigas. Padahal, neraca nonmigas menunjukkan kinerja yang positif.

Akumulasi surplus neraca perdagangan nonmigas hampir menyamai rekor pada 2013 sebesar USD180 miliar. Dampak lainnya terlihat dari kecenderungan depresiasi rupiah sepanjang triwulan I hingga triwulan III-2018. Kondisi yang demikian akhirnya memaksa kinerja transaksi berjalan kembali loyo pada 2018, setelah tiga tahun sebelumnya mencatat perbaikan.

Pada bagian lain, kenaikan harga minyak juga berperan penting dalam pencapaian penerimaan negara sepanjang 2018. Data Kementerian Keuangan (2019) menjelaskan realisasi pendapatan negara mencapai 102,5% dari target APBN 2018 sebesar Rp1.894,7 triliun. Pencapaian ini menjadi yang terbaik dalam beberapa tahun belakangan. Penerimaan pajak tercapai 94% dari target Rp1.618,1 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai 147,8% dari target sebesar Rp275,4 triliun. Realisasi penerimaan tersebut berkontribusi positif terhadap penurunan defisit keseimbangan primer yang pada 2018 hanya sebesar Rp1,8 triliun atau 0,01% dari PDB. Meski didera tekanan harga minyak dunia, pemerintah terus berupaya mewujudkan kebijakan energi yang berkeadilan.

Setidaknya terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan. Pertama, pemerintah memangkas belanja subsidi energi secara signifikan. Menurut data Kementerian Keuangan, pada 2014 belanja subsidi BBM mencapai Rp240 triliun dan menurun menjadi Rp100 triliun pada 2019. Sepanjang 2014-2019 pemerintah memotong belanja subsidi hingga Rp140 triliun.

Langkah tersebut dimulai pada 2015, ketika pemerintah merestrukturisasi belanja nonproduktif (subsidi BBM) menjadi belanja produktif (belanja modal). Pada 2014 belanja modal hanya Rp163,2 triliun dan meningkat tajam menjadi Rp281,7 triliun dan Rp316,6 triliun pada 2016. Sejak 2018, belanja modal sudah di atas Rp400 triliun.

Kedua, kebijakan “BBM satu harga” untuk memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat khususnya di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Kebijakan ini telah diresmikan sejak Oktober 2016. Landasan hukum program tersebut (i) Perpres Nomor 191/2014; dan (ii) Permen ESDM Nomor 39/2016. Pada 2017, Pertamina telah merealisasikan program “BBM satu harga” di 38 titik; dan mencapai 130 titik pada 2018. Pada 2019, Pertamina ditargetkan merealisasikan program “BBM satu harga” hingga 160 titik.

Kebijakan ini telah terasa manfaatnya. Sebagai contoh, sebelum kebijakan BBM satu harga diimplementasikan, harga BBM di Kabupaten Puncak (Papua) mencapai Rp100.000 per liter, sedangkan di Nunukan (Kalimantan Utara) harganya Rp40.000. Harga BBM di Pegunungan Arfak (Papua Barat) dapat mencapai Rp30.000.

Saat ini harga jual biosolar dan premium di wilayah itu masing-masing Rp5.150 dan Rp6.450 per liter (Kementerian ESDM, 2018). Dampak lain juga terlihat dari realisasi inflasi dan rasio Gini. Menurut BPS, inflasi di Papua Barat turun dari 7,28% (2013) menjadi 5,21% (2018). Rasio Gini Papua Barat juga turun dari 0,42 (2014) menjadi 0,391 (2018).

Ketiga, peningkatan rasio elektrifikasi meningkat menjadi 98,3%. Pada 2014, rasio elektrifikasi masih di bawah 85%. Rasio elektrifikasi di Papua mencapai 90,47%; Papua Barat 99,99%; Maluku Utara dan Maluku masing-masing 99,99% dan 90,28%. Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi hingga 99,9% pada akhir 2019. (Kementerian ESDM, 2018).

Pemerintah juga memberikan lampu surya tenaga hemat energi (LTSHE) gratis untuk rakyat. LTSHE mampu menyala 6-12 jam atau maksimum hingga 60 jam (dalam satu kali pengisian baterai). Menurut data ESDM, pada 2017 LTSHE telah membantu 79.556 rumah tangga di lima provinsi, sedangkan pada 2018 mencapai 172.996 rumah tangga di 16 provinsi.

Keempat, kemandirian energi semakin membaik sejalan dengan pengambilalihan Blok Mahakam dan Blok Rokan oleh Pertamina. Selama ini, blok-blok tersebut dikuasai asing. Dengan kondisi tersebut, kontribusi produksi minyak Pertamina terhadap total produksi minyak di Indonesia akan meningkat, dari 23% pada 2017 menjadi 60% pada 2021.

Selain itu, potensi pendapatan negara dari penguasaan blok tersebut diprediksi mencapai Rp825 triliun sepanjang 2021-2041. Dengan demikian, Indonesia bukan saja dapat meningkatkan ketahanan energi, namun juga peningkatan pendapatan negara, baik lewat pajak maupun PNBP.

Kelima, memperluas manfaat BBM untuk golongan menengah ke bawah. Salah satu upaya itu diwujudkan dengan memberikan konverter BBM ke elpiji sebagai upaya diversifikasi energi. Konverter dapat menghemat biaya operasional bagi nelayan, hingga Rp50.000 per hari.

Menurut data ESDM (2018), pemerintah telah merealisasikan pengadaan konverter BBM ke LPG sekitar 25,000 unit di 53 kabupaten/kota pada tahun 2018. Angka tersebut melonjak dari 17.081 unit pada 2017 (28 kabupaten/kota) sedangkan pada 2016 mencapai 5.473 unit (10 kabupaten/kota). Dampak dari langkah tersebut cukup menggembirakan. Nilai tukar sektor perikanan (nelayan) naik dari 100,8 (2014) menjadi 105 (2018).

Pemerintah juga membangun jaringan gas kota (jargas), yang mencapai 463.619 unit pada 2018. Jumlah tersebut melonjak lebih dua kali lipat dari 2014 sebanyak 200.000 unit. Kementerian ESDM (2018) menjelaskan beberapa dampak positif dari jargas bagi masyarakat, antara lain mengurangi biaya rumah tangga hingga Rp90.000 per bulan per keluarga, dan lebih praktis, bersih, serta aman dibandingkan tabung elpiji.

Segala upaya yang telah disebutkan di atas tentu layak diberikan apresiasi. Sumber daya energi sudah sepantasnya dikelola secara adil untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Tidak mudah menjalankan kebijakan energi yang berkeadilan di tengah banyaknya rayuan segelintir pihak agar kebijakan energi berpihak ke kantong mereka saja. Karena itu, setiap kebijakan di bidang energi wajib hukumnya dikelola secara transparan dan akuntabel demi kemakmuran rakyat.

Meskipun begitu, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang harusnya menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan energi nasional masih belum optimal. Harga EBT masih belum kompetitif sehingga masyarakat masih enggan menggunakannya. Pengembangan EBT ini juga masih terhalang akses pendanaan, infrastruktur, dan teknologi. Investasi di bidang teknologi EBT ini juga terhitung mahal, sehingga butuh dukungan dari berbagai pihak.

Ke depan, pemerintah harus mampu untuk memberikan insentif dalam pengembangan teknologi dan pemanfaatan EBT. Berbagai skema kemitraan dan kerja sama, melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU/ PPP) dan kemitraan dengan lembaga multilateral, dapat dilakukan untuk mengakselerasi capaian dalam usaha memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Hal ini juga merupakan ikhtiar dalam memenuhi komitmen target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.

Dalam jangka menengah, pemerintah diharapkan secara tuntas mampu memastikan bahwa impor hasil migas dapat diturunkan secara bertahap dan berkelanjutan melalui terobosan kebijakan, seperti B20 dan penggunaan EBT yang sudah dicanangkan. Dengan cara ini kebijakan sektor energi telah berkontribusi pada terciptanya kinerja makroekonomi yang prima, seperti neraca transaksi berjalan yang sehat dan membantu ekonomi terlepas dari risiko tinggi gejolak nilai tukar rupiah.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7401 seconds (0.1#10.140)