Berkaca dari Kasus Andi Arief
A
A
A
MASYARAKAT dikejutkan dengan tertangkapnya politikus Partai Demokrat Andi Arief (AA) oleh pihak kepolisian karena mengonsumsi narkoba di sebuah hotel di Jakarta pada Minggu (3/3). Polisi mengamankan sejumlah barang bukti dalam kasus tersebut antara lain alat hisap. Namun, barang bukti narkoba tidak ditemukan. Saat diperiksa urine, Andi Arief dinyatakan positif mengandung narkoba.
Penangkapan Andi Arief ini mengguncang publik sehingga menjadi ulasan utama media massa, baik cetak maupun elektronik. Media sosial pun tidak kalah hiruk-pikuk membahas penangkapan politikus yang terkenal kontroversial dengan pernyataan-pernyataannya ini.
Masih sangat lekat dalam ingatan masyarakat Tanah Air akan pernyataan Andi Arief menjelang penetapan pasangan calon presiden beberapa waktu lalu. Saat itu dia mecuit di Twitter dengan menyebut seseorang sebagai “jenderal kardus”. Sebutan tersebut dialamatkan kepada calon presiden Prabowo Subianto yang saat itu gagal berpasangan dengan politikus muda Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden. Tidak hanya itu, masih ada beberapa cuitan Andi Arief yang memicu respons karena kontroversial.
Tertangkapnya Andi Arief memberi banyak pesan kepada kita. Pertama adalah narkoba sampai detik ini masih merupakan momok yang bisa menjerat siapa saja, mulai kalangan masyarakat bawah hingga kalangan elite seperti Andi Arief. Peredarannya menyentuh hampir seluruh lapisan. Ini juga menjadi pelajaran berharga kepada semua bahwa hukum tidak mengenal siapa pun terutama ketika urusannya sudah menyangkut penyalahgunaan barang haram tersebut.
Banyak berseliweran informasi yang berisi dugaan bahwa Andi Arief sesungguhnya dijebak dalam kasus ini. Ada yang menyebut bahwa dia diincar oleh aparat kepolisian. Namun, yang terpenting sebenarnya adalah apakah dia menjadi pemakai narkoba atau tidak, jadi urusannya bukan dia dijebak atau tidak. Bahwa dia diincar, itu juga keharusan. Semua pengguna atau pengedar narkoba memang harus diincar oleh aparat. Hal yang pasti ketika seseorang menggunakan narkoba, maka hukum pasti akan bicara tanpa pandang bulu, tidak melihat status.
Kasus Andi Arief juga memberi gambaran betapa sebagian elite kita tidak berpikir jauh, gegabah, atau ceroboh. Mereka pasti sadar dengan risiko yang menanti ketika menjadi penyalah guna. Namun, faktanya hal itu dilakukan kendati harus mempertaruhkan segalanya. Dengan tertangkap lalu dihukum, baik hukuman pidana maupun hukuman rehabilitasi, dapat dipastikan bahwa karier politik yang bersangkutan sudah tamat.
Andi Arief sendiri sudah menyatakan mundur sebagai wakil sekretaris jenderal Partai Demokrat. Tidak satu pun lembaga termasuk partai politik yang memberi toleransi kepada anggotanya jika terbukti menjadi pengonsumsi atau pengedar narkoba. Partai politik mana pun umumnya akan langsung bertindak melakukan pemecatan karena jika tidak itu dikhawatirkan akan berdampak pada elektabilitas partai. Hal ini juga berlaku pada Demokrat.
Apes bagi partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono ini karena elitenya terjerat kasus narkoba justru ketika pemilu tersisa kurang dari dua bulan lagi. Sedikit-banyak ini akan berpengaruh pada keterpilihan partai.
Kasus Andi Arief menjadi cermin besar bagi elite politik lain atau siapa pun yang saat ini bermain-main dengan menjadi pengonsumsi narkoba. Jika tidak ingin bernasib sama, jangan pernah berani mencoba atau segera berhenti bagi yang sudah telanjur menjadi pengguna. Narkoba sudah demikian menggurita, beredar luas seiring gencarnya negara melakukan perang. Meski harga tergolong mahal, namun orang-orang seolah tidak mempedulikan.
Hal yang penting juga untuk diingat bahwa kejadian yang menimpa Andi Arief ini harus dilihat sebagai kasus hukum. Tidak perlu mengait-ngaitkan dengan politik menjelang pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Biarkanlah proses hukum yang berbicara.
Di lain pihak, kubu yang merasa “diuntungkan” oleh isu ini seyogianya tidak “menggorengnya” terus menerus karena kepentingan politik. Kasus ini sudah masuk wilayah hukum dan ditangani kepolisian. Biarlah kasus hukum jadi kasus hukum saja, tak perlu dicampur aduk.
Penangkapan Andi Arief ini mengguncang publik sehingga menjadi ulasan utama media massa, baik cetak maupun elektronik. Media sosial pun tidak kalah hiruk-pikuk membahas penangkapan politikus yang terkenal kontroversial dengan pernyataan-pernyataannya ini.
Masih sangat lekat dalam ingatan masyarakat Tanah Air akan pernyataan Andi Arief menjelang penetapan pasangan calon presiden beberapa waktu lalu. Saat itu dia mecuit di Twitter dengan menyebut seseorang sebagai “jenderal kardus”. Sebutan tersebut dialamatkan kepada calon presiden Prabowo Subianto yang saat itu gagal berpasangan dengan politikus muda Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden. Tidak hanya itu, masih ada beberapa cuitan Andi Arief yang memicu respons karena kontroversial.
Tertangkapnya Andi Arief memberi banyak pesan kepada kita. Pertama adalah narkoba sampai detik ini masih merupakan momok yang bisa menjerat siapa saja, mulai kalangan masyarakat bawah hingga kalangan elite seperti Andi Arief. Peredarannya menyentuh hampir seluruh lapisan. Ini juga menjadi pelajaran berharga kepada semua bahwa hukum tidak mengenal siapa pun terutama ketika urusannya sudah menyangkut penyalahgunaan barang haram tersebut.
Banyak berseliweran informasi yang berisi dugaan bahwa Andi Arief sesungguhnya dijebak dalam kasus ini. Ada yang menyebut bahwa dia diincar oleh aparat kepolisian. Namun, yang terpenting sebenarnya adalah apakah dia menjadi pemakai narkoba atau tidak, jadi urusannya bukan dia dijebak atau tidak. Bahwa dia diincar, itu juga keharusan. Semua pengguna atau pengedar narkoba memang harus diincar oleh aparat. Hal yang pasti ketika seseorang menggunakan narkoba, maka hukum pasti akan bicara tanpa pandang bulu, tidak melihat status.
Kasus Andi Arief juga memberi gambaran betapa sebagian elite kita tidak berpikir jauh, gegabah, atau ceroboh. Mereka pasti sadar dengan risiko yang menanti ketika menjadi penyalah guna. Namun, faktanya hal itu dilakukan kendati harus mempertaruhkan segalanya. Dengan tertangkap lalu dihukum, baik hukuman pidana maupun hukuman rehabilitasi, dapat dipastikan bahwa karier politik yang bersangkutan sudah tamat.
Andi Arief sendiri sudah menyatakan mundur sebagai wakil sekretaris jenderal Partai Demokrat. Tidak satu pun lembaga termasuk partai politik yang memberi toleransi kepada anggotanya jika terbukti menjadi pengonsumsi atau pengedar narkoba. Partai politik mana pun umumnya akan langsung bertindak melakukan pemecatan karena jika tidak itu dikhawatirkan akan berdampak pada elektabilitas partai. Hal ini juga berlaku pada Demokrat.
Apes bagi partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono ini karena elitenya terjerat kasus narkoba justru ketika pemilu tersisa kurang dari dua bulan lagi. Sedikit-banyak ini akan berpengaruh pada keterpilihan partai.
Kasus Andi Arief menjadi cermin besar bagi elite politik lain atau siapa pun yang saat ini bermain-main dengan menjadi pengonsumsi narkoba. Jika tidak ingin bernasib sama, jangan pernah berani mencoba atau segera berhenti bagi yang sudah telanjur menjadi pengguna. Narkoba sudah demikian menggurita, beredar luas seiring gencarnya negara melakukan perang. Meski harga tergolong mahal, namun orang-orang seolah tidak mempedulikan.
Hal yang penting juga untuk diingat bahwa kejadian yang menimpa Andi Arief ini harus dilihat sebagai kasus hukum. Tidak perlu mengait-ngaitkan dengan politik menjelang pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Biarkanlah proses hukum yang berbicara.
Di lain pihak, kubu yang merasa “diuntungkan” oleh isu ini seyogianya tidak “menggorengnya” terus menerus karena kepentingan politik. Kasus ini sudah masuk wilayah hukum dan ditangani kepolisian. Biarlah kasus hukum jadi kasus hukum saja, tak perlu dicampur aduk.
(thm)