Menjamin Hak Pilih Rakyat
A
A
A
HARI pemungutan suara Pemilu 2019 tersisa 44 hari lagi. Sejumlah isu mengemuka berkaitan dengan masalah hukum yang kemungkinan muncul pada hari pencoblosan nanti. Salah satunya mengenai hak pilih warga yang bisa saja tidak terakomodasi. Ini terutama berlaku bagi pemilih yang berpindah domisili karena alasan tertentu.
Artinya, alamat warga saat tercatat sebagai daftar pemilih tetap (DPT) berbeda dengan lokasi tempat dia akan mencoblos. Sebagaimana pada pemilu sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyiapkan langkah antisipasi untuk menyelamatkan hak pilih warga yang pindah TPS ini.
Pemilih yang ingin pindah memilih dipersilakan mengurus surat pindah memilih menggunakan form A5 melalui Panitia Pemungutan Suara (PPS/kelurahan) paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara 17 April 2019. Setelah melapor petugas PPS akan memberikan form A5 untuk diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelurahan/desa lokasi tempat mencoblos. Mereka ini kemudian akan dimasukkan sebagai daftar pemilih tambahan (DPTb)
Namun, solusi menggunakan form A5 ini tidak lantas menyelesaikan persoalan. Tetap muncul kekhawatiran, misalnya bagaimana jika pemilih yang pindah lokasi mencoblos tersebut tidak mendapatkan surat suara di TPS tujuan. Ini bisa terjadi karena setiap TPS hanya menyediakan surat suara sesuai jumlah DPT ditambah 2% sebagai cadangan. Ini sudah tegas diatur dalam Pasal 350 ayat (3) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Lalu, bagaimana jika sebuah TPS menerima banyak pemilih pindahan lalu surat suara yang tersedia kurang, apakah pemilih tersebut begitu saja akan kehilangan hak pilihnya?
Ini memang bukan perkara mudah bagi KPU karena lembaga ini belum tentu bisa memiliki data yang akurat soal jumlah pemilih pindahan di setiap TPS. Apalagi, tersedia waktu 30 hari sebelum pencoblosan bagi calon pemilih untuk berpindah tempat. Artinya, data perpindahan pemilih yang akurat untuk menyesuaikannya dengan jumlah surat suara di TPS, memang tidak mudah.
Beragam saran dikemukakan oleh pakar dan pengamat untuk menyelamatkan suara pemilih pindahan ini. Apalagi, dari sisi jumlah, warga yang kini terdaftar sebagai pemilih DPTb cukup besar. Hingga pertengahan Februari 2019 warga yang sudah terdata pindah tempat memilih ini sebanyak 275.923. Mereka tersebar di 87.483 TPS di 496 kota/kabupaten di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan masih bertambah sebelum penutupan pendaftaran pada H-30 sebelum pencoblosan. Pemilih pindahan terbanyak ada tiga provinsi dengan DPT terbesar, yakni Jawa Timur, (61.719 pemilih), Jawa Barat (41.000), dan Jawa Tengah (40.000).
Ada yang menyarankan agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Melalui perppu itu bisa diatur soal izin bagi KPU mencetak surat suara cadangan di atas batas 2%. Namun, ini juga tidak mudah karena usulan mencetak surat suara tambahan bakal memicu kegaduhan. Akan muncul kecurigaan bahwa ini modus baru untuk melakukan kecurangan.
Belum lagi soal perppu yang membutuhkan persetujuan DPR sebelum diubah menjadi undang-undang baru. Akan terjadi tarik menarik kepentingan yang alot. Mengingat mepetnya waktu yang tersisa sebelum pencoblosan, perppu sepertinya bukan solusi terbaik.
Sementera pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyarankan agar KPU menempuh tiga cara alternatif yang disebutnya sebagai solusi “three in one” untuk menyelamatkan suara rakyat. Solusi ini diharapkan dijalankan secara paralel nanti. Pertama, KPU mengajukan judicial review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), kedua, membuat Peraturan KPU, dan ketiga, melakukan persiapan teknis lapangan untuk menjawab persoalan yang ada. Contoh solusi teknis lapangan adalah mempercepat perpindahan sisa surat suara di antara TPS yang berdekatan. Solusi teknis ini bisa diatur melalui PKPU.
Apapun solusi yang ditawarkan, yang terpenting nanti adalah masyarakat tidak kehilangan hak pilihnya. Sangat ironis jika hak pilih warga tidak tersalurkan dikarenakan persoalan teknis, misalnya karena kurangnya surat suara di TPS. Kita tidak boleh melihat besar kecilnya jumlah pemilih pindahan. Persoalan utama bukan pada signifikan atau tidak suara pemilih tambahan tersebut dalam memengaruhi hasil pemilu. Hal yang paling utama adalah bagaimana agar hak pilih warga yang dijamin konstitusi itu tidak hilang karena masalah administrasi.
Artinya, alamat warga saat tercatat sebagai daftar pemilih tetap (DPT) berbeda dengan lokasi tempat dia akan mencoblos. Sebagaimana pada pemilu sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyiapkan langkah antisipasi untuk menyelamatkan hak pilih warga yang pindah TPS ini.
Pemilih yang ingin pindah memilih dipersilakan mengurus surat pindah memilih menggunakan form A5 melalui Panitia Pemungutan Suara (PPS/kelurahan) paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara 17 April 2019. Setelah melapor petugas PPS akan memberikan form A5 untuk diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelurahan/desa lokasi tempat mencoblos. Mereka ini kemudian akan dimasukkan sebagai daftar pemilih tambahan (DPTb)
Namun, solusi menggunakan form A5 ini tidak lantas menyelesaikan persoalan. Tetap muncul kekhawatiran, misalnya bagaimana jika pemilih yang pindah lokasi mencoblos tersebut tidak mendapatkan surat suara di TPS tujuan. Ini bisa terjadi karena setiap TPS hanya menyediakan surat suara sesuai jumlah DPT ditambah 2% sebagai cadangan. Ini sudah tegas diatur dalam Pasal 350 ayat (3) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Lalu, bagaimana jika sebuah TPS menerima banyak pemilih pindahan lalu surat suara yang tersedia kurang, apakah pemilih tersebut begitu saja akan kehilangan hak pilihnya?
Ini memang bukan perkara mudah bagi KPU karena lembaga ini belum tentu bisa memiliki data yang akurat soal jumlah pemilih pindahan di setiap TPS. Apalagi, tersedia waktu 30 hari sebelum pencoblosan bagi calon pemilih untuk berpindah tempat. Artinya, data perpindahan pemilih yang akurat untuk menyesuaikannya dengan jumlah surat suara di TPS, memang tidak mudah.
Beragam saran dikemukakan oleh pakar dan pengamat untuk menyelamatkan suara pemilih pindahan ini. Apalagi, dari sisi jumlah, warga yang kini terdaftar sebagai pemilih DPTb cukup besar. Hingga pertengahan Februari 2019 warga yang sudah terdata pindah tempat memilih ini sebanyak 275.923. Mereka tersebar di 87.483 TPS di 496 kota/kabupaten di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan masih bertambah sebelum penutupan pendaftaran pada H-30 sebelum pencoblosan. Pemilih pindahan terbanyak ada tiga provinsi dengan DPT terbesar, yakni Jawa Timur, (61.719 pemilih), Jawa Barat (41.000), dan Jawa Tengah (40.000).
Ada yang menyarankan agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Melalui perppu itu bisa diatur soal izin bagi KPU mencetak surat suara cadangan di atas batas 2%. Namun, ini juga tidak mudah karena usulan mencetak surat suara tambahan bakal memicu kegaduhan. Akan muncul kecurigaan bahwa ini modus baru untuk melakukan kecurangan.
Belum lagi soal perppu yang membutuhkan persetujuan DPR sebelum diubah menjadi undang-undang baru. Akan terjadi tarik menarik kepentingan yang alot. Mengingat mepetnya waktu yang tersisa sebelum pencoblosan, perppu sepertinya bukan solusi terbaik.
Sementera pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyarankan agar KPU menempuh tiga cara alternatif yang disebutnya sebagai solusi “three in one” untuk menyelamatkan suara rakyat. Solusi ini diharapkan dijalankan secara paralel nanti. Pertama, KPU mengajukan judicial review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), kedua, membuat Peraturan KPU, dan ketiga, melakukan persiapan teknis lapangan untuk menjawab persoalan yang ada. Contoh solusi teknis lapangan adalah mempercepat perpindahan sisa surat suara di antara TPS yang berdekatan. Solusi teknis ini bisa diatur melalui PKPU.
Apapun solusi yang ditawarkan, yang terpenting nanti adalah masyarakat tidak kehilangan hak pilihnya. Sangat ironis jika hak pilih warga tidak tersalurkan dikarenakan persoalan teknis, misalnya karena kurangnya surat suara di TPS. Kita tidak boleh melihat besar kecilnya jumlah pemilih pindahan. Persoalan utama bukan pada signifikan atau tidak suara pemilih tambahan tersebut dalam memengaruhi hasil pemilu. Hal yang paling utama adalah bagaimana agar hak pilih warga yang dijamin konstitusi itu tidak hilang karena masalah administrasi.
(kri)