Pengamat Nilai Ada Upaya Sistematis Mendelegitimasi KPU
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Politik asal UIN Jakarta, Adi Prayitno menduga ada upaya sistematis untuk mendelegitimasi integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini patut diduga dengan aksi FUI dan Amien Rais ke KPU pada Jumat lalu yang menuntut audit forensik sistem informasi KPU dan daftar pemilih.
"Itu logika yang dibangun untuk mendelegitimasi posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Menurut saya ada upaya sistematis untuk mendelegitimasi KPU," ujar Adi kepada SINDOnews, Minggu (3/3/2019).
Adi menilai, pola yang sama sebenarnya sudah pernah terjadi di Pemilu 2014 lalu. Hanya saja upaya terjadi setelah pilpres. Kini pola tersebut digencarkan sebelum pemilu.
Di sisi lain, masyarakat semakin terabaikan untuk mendapatkan informasi tentang rekam jejak dan program yang ditawarkan peserta pemilu khususnya paslon pilpres. "Sebaiknya semua kubu lebih fokus pada penyampaian gagasan, visi, dan program," tegas Adi.
Menurut Adi, di era demokrasi dengan serba keterbukaan informasi, KPU justru satu-satunya lembaga yang mestinya dipercaya untuk menyelenggarakan pemilihan. "Saya kira cukup berlebihan kalau ada upaya mengaudit IT KPU, sedangkan penghitungan suara di Indonesia masih secara manual," jelas Adi.
Adi juga heran dengan usulan agar kotak suara di simpan di Markas Koramil. Kalau itu diwujudkan malah melanggar peraturan. "Apa aturannya? Itu tidak sesuai prosedur," tandasnya.
Dia menyampaikan, di setiap TPS ada banyak saksi dari kandidat dan partai politik. Mereka lah yang akan mengawasi jalannya pemilihan. Tidak hanya itu, proses pemilihan juga diawasi lembaga independen.
Rasanya tidak baik kalau terlalu berprasangkan akan terjadi kecurangan dalam Pemilu 2019. Alhasil, nanti siapapun yang menang akan dicurigai hasil pemilihan yang curang. "Ini tidak bagus untuk demokrasi. Saya kira tidak ada juga indikasi KPU curang," pungkasnya.
"Itu logika yang dibangun untuk mendelegitimasi posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Menurut saya ada upaya sistematis untuk mendelegitimasi KPU," ujar Adi kepada SINDOnews, Minggu (3/3/2019).
Adi menilai, pola yang sama sebenarnya sudah pernah terjadi di Pemilu 2014 lalu. Hanya saja upaya terjadi setelah pilpres. Kini pola tersebut digencarkan sebelum pemilu.
Di sisi lain, masyarakat semakin terabaikan untuk mendapatkan informasi tentang rekam jejak dan program yang ditawarkan peserta pemilu khususnya paslon pilpres. "Sebaiknya semua kubu lebih fokus pada penyampaian gagasan, visi, dan program," tegas Adi.
Menurut Adi, di era demokrasi dengan serba keterbukaan informasi, KPU justru satu-satunya lembaga yang mestinya dipercaya untuk menyelenggarakan pemilihan. "Saya kira cukup berlebihan kalau ada upaya mengaudit IT KPU, sedangkan penghitungan suara di Indonesia masih secara manual," jelas Adi.
Adi juga heran dengan usulan agar kotak suara di simpan di Markas Koramil. Kalau itu diwujudkan malah melanggar peraturan. "Apa aturannya? Itu tidak sesuai prosedur," tandasnya.
Dia menyampaikan, di setiap TPS ada banyak saksi dari kandidat dan partai politik. Mereka lah yang akan mengawasi jalannya pemilihan. Tidak hanya itu, proses pemilihan juga diawasi lembaga independen.
Rasanya tidak baik kalau terlalu berprasangkan akan terjadi kecurangan dalam Pemilu 2019. Alhasil, nanti siapapun yang menang akan dicurigai hasil pemilihan yang curang. "Ini tidak bagus untuk demokrasi. Saya kira tidak ada juga indikasi KPU curang," pungkasnya.
(kri)