KPU Condong Buka TPS Baru untuk Atasi DPTb Membludak
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) lebih condong untuk membuka Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus untuk memfasilitasi pemilih tambahan yang membludak di beberapa TPS lantaran kekurangan surat suara.
Sebelumnya, selain opsi pembukaan TPS khusus muncul sejumlah alternatif lain untuk mengatasi persoalan tersebut seperti revisi Undang-Undang Pemilu, pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), hingga uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut diungkapkan oleh Komisioner KPU Viryan Aziz sebagai solusi yang paling mungkin dilakukan untuk pemilih yang berpindah TPS atau yang tercatat di Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
"Opsi itu baru akan diambil jika proses distribusi pemilih tambahan ke TPS terdekat tidak mungkin dilakukan karena jumlah pemilih tambahan yang sangat banyak pada satu titik," ujarnya di Gedung KPU Jakarta, (26/2/2019).
(Baca juga: KPU Belum Temukan Solusi Polemik DPTb)
Seperti di lapas dan rutan, sambungnya, tidak mungkin memilihnya di luar lapas dan rutan. Begitupun terhadap pemilih yang konsentrasi jumlahnya mencapai ribuan.
"Jadi secara teknis tidak memungkinkan untuk didistribusikan. Namun KPU masih mengoptimalkan pendistribusian pemilih DPTb ke tempat pemungutan suara terdekat," katanya.
Menurutnya, solusi terpenting dari permasalahan surat suara ini, upaya KPU untuk melindungi hak pilih warga negara. "Prinsipnya bagi KPU melindungi hak pilih warga negara itu wajib. Hanya solusi teknisnya bagaimana, itu yang sedang terus kita lalukan pembahasan," tegasnya.
Terkait opsi judicial review sempat mencuat sebagai solusi, pihaknya enggan menjadi pemohon uji materi lantaran masih mempertimbangkan opsi lain untuk menyelesaikan persoalan kekurangan surat suara untuk DPTb.
"KPU sudah membahas kemarin, opsi judicial review tidak KPU lakukan (sebagai pemohon), tapi mungkin dari pihak lain," tegasnya.
Menurutnya, masyarakat yang tercatat sebagai pemilih DPTb justru yang punya legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi. "Lembaga sosial, warga negara kan juga punya hak untuk melakukan judicial review. Terkait dengan legal standing, kemudian juga ada hal-hal teknis lainnya yang juga perlu jadi pertimbangan kami," jelasnya.
KPU, lanjutnya juga tak merekomendasikan opsi Perppu lantaran proses tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama. "Kalau Perppu kan nanti setelah Perppu keluar harus dibawa ke DPR, nanti dibahas, bisa diterima bisa ditolak," jelasnya.
(Baca juga: Soal DPTb, KPU Yakin Jumlah Pemilih Tidak Membengkak)
Sementara itu, Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai opsi yang paling memungkinkan mengatasi polemik DPTb, KPU perlu membuat TPS khusus bagi para pemilih DPTb, agar para pemilih tambahan tidak tersebar sehingga memudahkan KPU melakukan pengaturan.
"Menurut saya bahkan baiknya di daerah-daerah yang memang jumlahnya sangat besar di lokasi yang terkonsentrasi seperti di lingkungan universitas, lebih baik dibuat saja TPS berdasarkan DPTb ini," ucapnya saat dihubungi wartawan.
Solusi ini memungkinkan agar para pemilih tetap yang telah mengurus sebagai pemilih pindah tetap bisa menggunakan hak suaranya. "Jadi dia dibikin berdasarkan DPTb, jadi mereka nggak harus terpisah-terpisah kalau memang di dekat kampus ya dibikin saja TPS berdasarkan DPTb nya. Akan lebih mudah lagi pengaturannya," jelasnya.
Angka DPTb yang ada saat ini harus dijadikan dasar untuk diketahui di mana-mana saja surat suara tersebut akan diadakan.
Sebelumnya, selain opsi pembukaan TPS khusus muncul sejumlah alternatif lain untuk mengatasi persoalan tersebut seperti revisi Undang-Undang Pemilu, pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), hingga uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut diungkapkan oleh Komisioner KPU Viryan Aziz sebagai solusi yang paling mungkin dilakukan untuk pemilih yang berpindah TPS atau yang tercatat di Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
"Opsi itu baru akan diambil jika proses distribusi pemilih tambahan ke TPS terdekat tidak mungkin dilakukan karena jumlah pemilih tambahan yang sangat banyak pada satu titik," ujarnya di Gedung KPU Jakarta, (26/2/2019).
(Baca juga: KPU Belum Temukan Solusi Polemik DPTb)
Seperti di lapas dan rutan, sambungnya, tidak mungkin memilihnya di luar lapas dan rutan. Begitupun terhadap pemilih yang konsentrasi jumlahnya mencapai ribuan.
"Jadi secara teknis tidak memungkinkan untuk didistribusikan. Namun KPU masih mengoptimalkan pendistribusian pemilih DPTb ke tempat pemungutan suara terdekat," katanya.
Menurutnya, solusi terpenting dari permasalahan surat suara ini, upaya KPU untuk melindungi hak pilih warga negara. "Prinsipnya bagi KPU melindungi hak pilih warga negara itu wajib. Hanya solusi teknisnya bagaimana, itu yang sedang terus kita lalukan pembahasan," tegasnya.
Terkait opsi judicial review sempat mencuat sebagai solusi, pihaknya enggan menjadi pemohon uji materi lantaran masih mempertimbangkan opsi lain untuk menyelesaikan persoalan kekurangan surat suara untuk DPTb.
"KPU sudah membahas kemarin, opsi judicial review tidak KPU lakukan (sebagai pemohon), tapi mungkin dari pihak lain," tegasnya.
Menurutnya, masyarakat yang tercatat sebagai pemilih DPTb justru yang punya legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi. "Lembaga sosial, warga negara kan juga punya hak untuk melakukan judicial review. Terkait dengan legal standing, kemudian juga ada hal-hal teknis lainnya yang juga perlu jadi pertimbangan kami," jelasnya.
KPU, lanjutnya juga tak merekomendasikan opsi Perppu lantaran proses tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama. "Kalau Perppu kan nanti setelah Perppu keluar harus dibawa ke DPR, nanti dibahas, bisa diterima bisa ditolak," jelasnya.
(Baca juga: Soal DPTb, KPU Yakin Jumlah Pemilih Tidak Membengkak)
Sementara itu, Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai opsi yang paling memungkinkan mengatasi polemik DPTb, KPU perlu membuat TPS khusus bagi para pemilih DPTb, agar para pemilih tambahan tidak tersebar sehingga memudahkan KPU melakukan pengaturan.
"Menurut saya bahkan baiknya di daerah-daerah yang memang jumlahnya sangat besar di lokasi yang terkonsentrasi seperti di lingkungan universitas, lebih baik dibuat saja TPS berdasarkan DPTb ini," ucapnya saat dihubungi wartawan.
Solusi ini memungkinkan agar para pemilih tetap yang telah mengurus sebagai pemilih pindah tetap bisa menggunakan hak suaranya. "Jadi dia dibikin berdasarkan DPTb, jadi mereka nggak harus terpisah-terpisah kalau memang di dekat kampus ya dibikin saja TPS berdasarkan DPTb nya. Akan lebih mudah lagi pengaturannya," jelasnya.
Angka DPTb yang ada saat ini harus dijadikan dasar untuk diketahui di mana-mana saja surat suara tersebut akan diadakan.
(kri)