Puisi yang Mengancam

Senin, 25 Februari 2019 - 08:30 WIB
Puisi yang Mengancam
Puisi yang Mengancam
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

PENGGUNAAN puisi belakangan ini menjadi tren dalam kontestasi politik menyambut gelaran Pilpres 2019. Belakangan ini puisi kerap kali dipergunakan dalam menyampaikan maksud politik. Meskipun sebenarnya penggunaan puisi sebagai alat perjuangan bukan hal yang baru.

Seperti puisi Chairil Anwar berjudul "Karawang-Bekasi" yang dipergunakan untuk membangun nasionalisme dalam perjuangan melawan penjajah kala itu. Bedanya penggunaan puisi kala itu tujuannya mempersatukan, sedangkan tren penggunaan puisi saat ini lebih sebagai reaksi atas kontestasi politik sehingga berpotensi mengancam keutuhan NKRI.

Saat ini secara kontekstual puisi lebih dimaknai sebagai media kampanye guna tujuan sempit dan pragmatis. Bahkan, ironisnya penggunaan puisi kerap kali dijadikan sebagai "media olok-olok" dengan mengabaikan etika berpolitik yang sehat dengan berlindung pada penggunaan kata ganti dan hak kebebasan berekspresi. William (2000) menyatakan, perlindungan ekspresi pada karya sastra dibatasi pada kondisi bahwa substansi karya sastra tersebut tidak melanggar etika dan hak orang lain.

Para elite politik yang berpartisipasi dalam kontestasi politik beserta pendukungnya harus menyadari bahwa penggunaan puisi sudah melenceng dari tujuan puisi, baik sebagai karya sastra maupun media perjuangan. Secara empiris, contoh bahwa penggunaan puisi sudah melenceng dan mengancam keutuhan NKRI adalah banyaknya kontroversi dan protes yang ditimbulkan sebagai dampak penggunaan puisi sebagai media dalam menyampaikan intensi politik.

Di tengah kebutuhan bangsa akan politik teduh untuk merawat demokrasi yang sehat dan menjaga keutuhan NKRI, maka penggunaan puisi dalam politik praktis harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keutuhan bangsa, mengingat dalam politik praktis selalu melahirkan pro dan kontra.

Di era pesatnya penggunaan media sosial dan gawai dampak dari berbalas puisi yang berakhir pada kegaduhan justru mengancam membelah NKRI. Mengingat belum tentu semua pengguna media sosial mampu menakar makna puisi. Sebaliknya, masyarakat dan pengguna media sosial justru larut dalam kegaduhan yang tercipta akan penggunaan puisi untuk kepentingan praktis tersebut pada akhirnya akan meregangkan soliditas bangsa.

Maksud dan Makna
Para elite saat ini memang harus melakukan reorientasi atas maksud penggunaan puisi dalam kaitannya dengan kontestasi pilpres. Purwadarminta (1990) menjelaskan, maksud akan melahirkan makna verbal dari sebuah tulisan. Dalam hal ini, maksud penggunaan puisi dalam kontestasi politik perlu mengalami reorientasi dari puisi yang berpotensi memobilisasi masyarakat sehingga tercipta kegaduhan, menjadi puisi yang teduh serta memobilisasi masyarakat pada tujuan kebangsaan untuk merawat NKRI.

Reorientasi maksud dalam hal ini adalah tergantung situasi yang dibangun pada saat penyampaian puisi tersebut kepada publik. Puisi harus dimaknai kontekstual bukan sekadar makna tekstual sebagaimana tertulis dalam isi teks puisi tersebut. Kontekstual artinya berdasarkan kesesuaian niat dan kronologis, yakni mulai dari maksud dipersiapkan puisi tersebut, substansi puisi, dan penyampaian puisi kepada khalayak sehingga publik bisa menilai maksud dari si pembuat puisi itu.

Dalam hal ini, artinya secara kontekstual puisi tidak diciptakan dengan tujuan provokatif untuk tujuan sesaat, tetapi secara kontekstual puisi diciptakan untuk melakukan provokasi pada tujuan kebangsaan. Misalnya saat ini diperlukan puisi-puisi kebangsaan bertema pluralisme maupun NKRI. Puisi-puisi dengan tema itu adalah puisi yang bisa diterima oleh siapa pun karena bukan diciptakan secara subjektif di tengah kontestasi pilpres dan sebagai respons atas politik praktis yang tentu menimbulkan kegaduhan yang mengancam keutuhan bangsa.

Razak (1969) menjelaskan, esensi dari demokrasi adalah menyempurnakan sebuah peradaban, sama halnya dengan makna tekstual dalam sebuah puisi sehingga makna tekstual sebuah puisi harus menyesuaikan kebutuhan sebuah peradaban secara kontekstual. Jika secara kontekstual puisi sudah dipergunakan tepat untuk tujuan objektif, misalnya tujuan kebangsaan, maka makna tekstual puisi akan mengikuti tujuan tersebut.

Secara kontekstual jika tujuan dibuatnya puisi tersebut adalah baik adanya, maka makna tekstual terkandung di dalam puisi tersebut tentu tidak akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Justru makna tekstual tersebut melahirkan respons dan energi positif, seperti misalnya puisi Chairil Anwar berjudul "Karawang-Bekasi" dengan bahasa yang lugas dan tanpa banyak kata ganti mampu menyatukan seluruh bangsa.

Lugas Versus Tafsir
Masyarakat Indonesia membutuhkan puisi yang bisa merekatkan bangsa dari ancaman keterbelahan akibat kontestasi politik. Masyarakat Indonesia perlu bahasa-bahasa lugas dengan makna jelas dan mudah dipahami. Secara kontekstual guna menetralkan kegaduhan yang terjadi saat ini setelah puisi dipergunakan sebagai bagian dari politik praktis, maka diperlukan puisi kebangsaan untuk merekatkan bangsa dengan bahasa lugas dan dapat dipahami seluruh lapisan masyarakat.

Bahasa lugas diperlukan guna menghindari kegaduhan akibat kalimat-kalimat yang maknanya harus ditafsirkan sebagaimana banyak digunakan para elite dan pendukungnya. Saat ini penggunaan puisi sebagai bagian dari politik praktis mengancam membelah bangsa. Secara kontekstual terlihat memang sengaja dipergunakan kalimat yang maknanya perlu ditafsirkan.

Tren penggunaan kalimat dengan tafsir itu dimaksudkan agar masih ada ruang untuk menjawab kritik dari lawan politik ketika puisi tersebut dipersoalkan. Sebagaimana yang terjadi kerap kali ketika sebuah puisi disoal, maka pembuat puisi berlindung dibalik tafsir yang berbeda maupun tafsir atas kata ganti karena memang sejak awal puisi tersebut dibuat untuk membuat "keriuhan" pada pentas politik praktis.

Kini idealnya, para elite selain menahan diri untuk tidak membuat puisi yang dipenuhi tafsir provokatif sempit untuk kepentingan politis maupun mengancam keutuhan bangsa, juga sebaiknya dihindari kiasan multitafsir yang bisa menambah panasnya suhu eskalasi kontestasi politik. Justru seorang negarawan dalam hal ini harus memberi keteduhan, bukan dengan membuat puisi yang bisa mengancam keutuhan bangsa, tetapi sebaliknya dengan membuat puisi yang teduh dengan bahasa lugas.

Selama ini tema puisi diangkat masing-masing pihak yang berkontestasi selalu menganalogikan kontestasi Pilpres 2019 dengan perang, kebencian, dan permusuhan. Padahal kontestasi Pilpres 2019 adalah bagian dari pesta demokrasi untuk membangun peradaban yang lebih baik. Kini diperlukan puisi kebangsaan dengan kalimat lugas sehingga bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali guna menetralkan puisi-puisi yang mengancam keutuhan NKRI.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2211 seconds (0.1#10.140)