Kecerdasan Hati
A
A
A
SALING serang antara kedua tim pasangan calon presiden masih mewarnai di media sosial atau media massa pascadebat. Narasinya dipastikan menganggap calon yang didukung benar dan juga menganggap lawannya salah. Adu argumen untuk saling menjatuhkan memang hal yang normal dalam mewarnai dua bulan menjelang pemilihan umum. Para tim sukses beradu tagar, beradu data, dan beradu kata-kata untuk memengaruhi masyarakat calon pemilih. Sayang, tidak ada narasi saling memuji. Seolah lawan selalu salah dan yang didukung selalu benar. Narasi lawan selalu salah dan kawan selalu benar ini yang membuat sikap saling serang tidak produktif dan cenderung tidak mendidik masyarakat.
Tidak mendidik masyarakat karena yang diunggah di media sosial atau media massa dikonsumsi oleh masyarakat. Narasi yang dikonsumsi masyarakat hanya lawan yang salah dan kawan yang benar. Seolah terjadi pengultusan calon yang diusung sehingga muncul narasi seperti di atas. Parahnya lagi, ketika ingin selalu membenarkan calonnya dan menyalahkan lawannya membuat informasi yang disampaikan jauh dari kebenaran atau bahkan hoaks. Tanpa disadari karena emosi hati yang tinggi, karena memuja dan membenci berlebihan, maka informasi yang disampaikan sekadar memuji dan menjatuhkan. Masyarakat hanya disuguhi hal-hal yang tidak produktif.
Apesnya, yang menampilkan itu adalah kelompok masyarakat terdidik seperti politikus, pejabat, atau bahkan pemuka agama. Dengan media yang ada dan cepat seperti media sosial di internet seolah para kelompok terdidik ini mempunyai arena yang nyaman serta cepat untuk menyerang. Media sosial memang bisa menjadi pisau bermata dua. Nah , di sini fungsi media massa seperti televisi, radio, cetak, dan online bisa menjadi kekuatan penyeimbang dan penetral. Media massa yang dianggap sebagai organisasi penangkal hoaks atau fake news harus mengambil peran penting dalam meredam ini. Tujuannya agar masyarakat semakin tidak tergiring dengan sekadar salah dan benar atau menang dan kalah.
Namun, media massa justru ikut terjebak dengan narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah. Isu-isu di media sosial justru digunakan bahan utama untuk ikut meramaikan saling serang. Media elektronik seolah mempunyai amunisi baru untuk meningkatkan programnya, media cetak pun menggunakan isu untuk mencuri perhatian pembaca, begitu juga dengan media online . Media massa justru terjebak dengan kondisi yang tidak produktif mengikuti gaya media sosial.
Sekali lagi, semestinya, media massa sebagai lembaga penyeimbang dan penetral dalam hal ini. Awak media atau jurnalis yang juga masih kelompok masyarakat terdidik justru juga terjebak dengan kondisi ini. Awak media justru menggarap informasi-informasi dengan narasi saling serang. Di media sosial (meski bersifat personal), awak media juga melakukan yang sama. Seolah justru menjadi kompor dengan me-share atau me-retweet narasi-narasi saling serang tersebut. Meski bersifat personal, semestinya awak media yang masuk kelompok terdidik bisa ikut menahan diri dengan baik.
Sangat disayangkan kelompok terdidik di atas yang menjadi patron masyarakat umum justru menjadi bagian dari narasi saling serang. Kelompok terdidik ini seolah bermuka dua. Di satu sisi, ingin pemilu yang cerdas dan damai. Namun, di sisi lain, saling serang dengan narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah. Apakah mereka tidak memikirkan dampaknya? Bukankah dengan cara-cara seperti di atas justru mendidik masyarakat kita dengan kebodohan? Semestinya mereka juga mempunyai kepintaran hati untuk menyikapi ini. Kelompok terdidik ini yang notabene mempunyai kecerdasan otak cukup baik semestinya merenung atau bahkan belajar tentang kecerdasan hati. Hanya dengan kecerdasan hati maka narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah akan berkurang atau bahkan hilang.
Sudah waktunya masyarakat kita diberikan narasi yang produktif sehingga ke depan mereka bisa menjadikan pesta demokrasi dengan kecerdasan. Menciptakan pemilu cerdas bukan sekadar dengan otak yang cerdas, namun juga dibutuhkan kecerdasan hati. Dibutuhkan kedewasaan dalam bersikap dan berucap agar kecerdasan otak yang ada pada kelompok terdidik tidak sia-sia. Ini menjadi tugas kelompok terdidik seperti politisi, akademisi, pemuka agama, ataupun awak media untuk menjadikan Pemilu 2019 sebagai pemilu yang cerdas. Pendewasaan demokrasi bangsa ini harus sudah mulai dituai, bukan lagi disemai.
Tidak mendidik masyarakat karena yang diunggah di media sosial atau media massa dikonsumsi oleh masyarakat. Narasi yang dikonsumsi masyarakat hanya lawan yang salah dan kawan yang benar. Seolah terjadi pengultusan calon yang diusung sehingga muncul narasi seperti di atas. Parahnya lagi, ketika ingin selalu membenarkan calonnya dan menyalahkan lawannya membuat informasi yang disampaikan jauh dari kebenaran atau bahkan hoaks. Tanpa disadari karena emosi hati yang tinggi, karena memuja dan membenci berlebihan, maka informasi yang disampaikan sekadar memuji dan menjatuhkan. Masyarakat hanya disuguhi hal-hal yang tidak produktif.
Apesnya, yang menampilkan itu adalah kelompok masyarakat terdidik seperti politikus, pejabat, atau bahkan pemuka agama. Dengan media yang ada dan cepat seperti media sosial di internet seolah para kelompok terdidik ini mempunyai arena yang nyaman serta cepat untuk menyerang. Media sosial memang bisa menjadi pisau bermata dua. Nah , di sini fungsi media massa seperti televisi, radio, cetak, dan online bisa menjadi kekuatan penyeimbang dan penetral. Media massa yang dianggap sebagai organisasi penangkal hoaks atau fake news harus mengambil peran penting dalam meredam ini. Tujuannya agar masyarakat semakin tidak tergiring dengan sekadar salah dan benar atau menang dan kalah.
Namun, media massa justru ikut terjebak dengan narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah. Isu-isu di media sosial justru digunakan bahan utama untuk ikut meramaikan saling serang. Media elektronik seolah mempunyai amunisi baru untuk meningkatkan programnya, media cetak pun menggunakan isu untuk mencuri perhatian pembaca, begitu juga dengan media online . Media massa justru terjebak dengan kondisi yang tidak produktif mengikuti gaya media sosial.
Sekali lagi, semestinya, media massa sebagai lembaga penyeimbang dan penetral dalam hal ini. Awak media atau jurnalis yang juga masih kelompok masyarakat terdidik justru juga terjebak dengan kondisi ini. Awak media justru menggarap informasi-informasi dengan narasi saling serang. Di media sosial (meski bersifat personal), awak media juga melakukan yang sama. Seolah justru menjadi kompor dengan me-share atau me-retweet narasi-narasi saling serang tersebut. Meski bersifat personal, semestinya awak media yang masuk kelompok terdidik bisa ikut menahan diri dengan baik.
Sangat disayangkan kelompok terdidik di atas yang menjadi patron masyarakat umum justru menjadi bagian dari narasi saling serang. Kelompok terdidik ini seolah bermuka dua. Di satu sisi, ingin pemilu yang cerdas dan damai. Namun, di sisi lain, saling serang dengan narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah. Apakah mereka tidak memikirkan dampaknya? Bukankah dengan cara-cara seperti di atas justru mendidik masyarakat kita dengan kebodohan? Semestinya mereka juga mempunyai kepintaran hati untuk menyikapi ini. Kelompok terdidik ini yang notabene mempunyai kecerdasan otak cukup baik semestinya merenung atau bahkan belajar tentang kecerdasan hati. Hanya dengan kecerdasan hati maka narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah akan berkurang atau bahkan hilang.
Sudah waktunya masyarakat kita diberikan narasi yang produktif sehingga ke depan mereka bisa menjadikan pesta demokrasi dengan kecerdasan. Menciptakan pemilu cerdas bukan sekadar dengan otak yang cerdas, namun juga dibutuhkan kecerdasan hati. Dibutuhkan kedewasaan dalam bersikap dan berucap agar kecerdasan otak yang ada pada kelompok terdidik tidak sia-sia. Ini menjadi tugas kelompok terdidik seperti politisi, akademisi, pemuka agama, ataupun awak media untuk menjadikan Pemilu 2019 sebagai pemilu yang cerdas. Pendewasaan demokrasi bangsa ini harus sudah mulai dituai, bukan lagi disemai.
(wib)