Fintech Syariah dan Pemulihan Ekonomi Pascabencana

Selasa, 19 Februari 2019 - 07:31 WIB
Fintech Syariah dan...
Fintech Syariah dan Pemulihan Ekonomi Pascabencana
A A A
Muhammad Musa

Alumni Universitas Al-Azhar Kairo,

Dosen Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jakarta

PASTINYA semua manusia tidak menginginkan musibah menimpa diri, keluarga, dan lingkungannya, apakah itu berupa gempa bumi, banjir, tsunami, dan sebagainya. Namun, itu semua datang begitu cepat dan menghilangkan segala sesuatu yang dicintai kebanyakan manusia, baik keluarga, harta, maupun mata pencaharian. Masih teringat di benak kita semua musibah tsunami setinggi 30 meter telah memorak-porandakan Aceh di penghujung 2004. Sebelum terjadi tsunami, gempa hebat bermagnitudo 9,2 SR terjadi di dasar laut dengan kedalaman mencapai 30 km di bawah permukaan laut, yang tidak jauh dari Pulau Simeuleu. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tsunami yang terjadi di Aceh merupakan bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi dengan memakan korban sedikitnya 165.708 jiwa. Adapun kerugian secara materi, menurut catatan pemerintah waktu itu (era Presiden Susilo Bambang Yudoyono), memperkirakan total kerusakan dan kerugian akibat bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara mencapai Rp42,7 triliun. Jumlah ini mencapai 2,2% dari total produk domestik bruto Indonesia atau 97% PDB Aceh.

Gempa Lombok dan Palu

Tidak jauh berbeda dengan masyarakat Aceh pascabencana gempa dan tsunami, masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, juga mengalami trauma yang sama setelah mengalami gempa bermagnitudo 7 SR pada Minggu, 5 Agustus 2018. Dalam hal ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sempat mendeteksi ada potensi tsunami di sejumlah titik pesisir di sekitar Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dampak dari peristiwa itu, 460 jiwa meninggal dunia. Sedangkan jumlah korban luka-luka tercatat 7.773 orang.

Seperti di Aceh, di Sulawesi Tengah, tepatnya di tiga wilayah yaitu Palu, Donggala, dan Petobo, juga mengalami gempa yang diikuti dengan tsunami yang bermagnitudo 7,4. Gempa tersebut memakan korban jiwa 1.763 jiwa dan 1.755 jenazah telah dimakamkan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menaksir kerugian yang dialami masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya Palu dan Donggala, bisa lebih dari Rp10 triliun.
Fintech Dalam hal pemulihan pascabencana, peran fintech sangat diperlukan sebagai upaya percepatan pemulihan yang dimaksud.

National Digital Research Centre di Dublin, Irlandia mendefinisikan fintech sebagai: "innovation in financial services " atau "inovasi dalam layanan keuangan". Keberadaan fintech bertujuan untuk membuat masyarakat lebih mudah mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi, dan meningkatkan literasi keuangan.

Fintech di Indonesia memiliki banyak jenis, antara lain startup pembayaran, peminjaman (lending ), perencanaan keuangan (personal finance ), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding ), remitansi, riset keuangan, termasuk toko daring (e-commerce ), dan situs portal berita.
Dalam hal pemulihan pascabencana, peran fintech sangat diperlukan. Sebagai contoh crowdfunding , yaitu teknik pendanaan untuk proyek atau unit usaha yang melibatkan peran serta masyarakat secara luas. Konsep crowdfunding pertama kali muncul di Amerika Serikat pada 2003, yang ditandai dengan lahirnya sebuah situs bernama Artistshare. Situs tersebut dibidani oleh sekelompok musisi yang berusaha mencari dana dari para penggemarnya agar bisa memproduksi sebuah karya. Situs Artistshare menginspirasi munculnya situs-situs crowdfunding lainnya seperti Kickstarter yang berkecimpung di pendanaan industri kreatif pada 2009 dan Gofundme yang mengelola pendanaan berbagai acara dan bisnis pada 2010. Crowdfunding sendiri sudah cukup terkenal di dunia internasional dan diperkirakan berhasil mengumpulkan USD16,2 miliar pada 2014.
Crowdfunding dapat dibedakan berdasarkan menjadi empat macam, berdasarkan tujuannya, yaitu ada donation based , di mana para pendonor menyetorkan uangnya, namun tidak berharap untuk mendapatkan imbalan apa pun dari proyek yang diajukan. Biasanya donation based crowdfunding diperuntukkan bagi proyek-proyek sosial bersifat nonprofit seperti membangun panti asuhan, sekolah, dan sebagainya.
Kemudian ada Reward Based . Crowdfunding jenis ini biasanya diperuntukkan bagi proyek dari industri kreatif seperti games , di mana para donatur yang mendanai proyek tersebut akan diberikan fitur-fitur menarik dari games tersebut, tapi bukan berupa bagi hasil atau keuntungan yang didapat dari proyek tersebut. Berikutnya debt based. Crowdfunding jenis ini sama dengan pinjaman biasa. Para calon debitur akan mengajukan proposalnya dan para donatur atau kreditur akan menyetorkan modal yang dianggap sebagai pinjaman dengan imbal balik berupa bunga. Terakhir, equity based. Crowdfunding jenis ini konsepnya sama seperti saham, di mana uang yang disetorkan akan menjadi ekuitas atau bagian kepemilikan atas perusahaan dengan imbalan dividen.

Crowdfunding dan Gerakan Kemanusiaan

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh BNPB bahwa pemulihan tidak mungkin semuanya akan dibebankan pada pemerintah daerah. Sebagian besar pendanaan berasal dari pemerintah pusat.Namun, jika sebagian besar pendanaan pemulihan pascabencana dibebankan pada pemerintah pusat, pertanyaannya bersumber dari mana dana tersebut? Terutama pembangunan infrastruktur dalam mendukung perekonomian dan pemulihan ekonomi itu sendiri. Hal ini mempertimbangkan anggaran pemerintah yang terbatas, mengingat per Juli 2018 diperkirakan defisit APBN mencapai 46,4% atau sebesar Rp325,9 triliun.
Di Indonesia, crowdfunding jenis donation based , sudah cukup banyak bermunculan, antara lain ada kitabisa.com, ayopeduli.com, gandengtangan.org, wecare.id , dan sebagainya. Bahkan kini di masjid-masjid melakukan berbagai macam inovasi baru terkait kemudahan berinfak dan bersedekah sehingga tidak ada lagi alasan bagi jamaah masjid tersebut untuk tidak berinfak dengan alasan tidak membawa dompet sebab kini yang selalu dibawa oleh setiap orang dalam bepergian adalah smartphone. Cukup dengan sentuhan satu jari, setiap orang dapat menunjukkan kepeduliannya terhadap sesama. Kini berinfak semudah memainkan jari jemari kita.
Selanjutnya masih dengan crowdfunding , untuk pemulihan pascabencana, setiap kita dapat berempati melakukan penggalangan dana melalui program sosial kemanusiaan perusahaan startup tertentu seperti kitabisa.com, ayopeduli.com, dan sebagainya untuk disalurkan pada kegiatan usaha mikro dalam bentuk wakaf tunai berjangka. Memang masih belum terlalu populer, namun gerakan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi instrumen pengumpulan dana dalam upaya membangkitkan perekonomian masyarakat yang terkena bencana.
Prosesnya relatif mudah karena pastinya sudah berbasis internet sehingga dapat diakses oleh banyak orang. Dalam praktiknya, seseorang atau unit usaha yang membutuhkan pendanaan dapat mengajukan proposal beserta jumlah dana yang dibutuhkan ke perusahaan startup yang tentunya telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan kegiatan pembiayaan (crowdfunding ).
Selanjutnya perusahaan startup tersebut akan mempelajari proposal yang diajukan. Seandainya proyek tersebut dianggap menarik, dana yang terhimpun dari masyarakat berupa wakaf tunai berjangka dapat disalurkan untuk mendanai proyek yang dimaksud.
Akad yang digunakan dalam kegiatan pembiayaan berupa wakaf tunai berjangka ini bisa bersifat mudharabah sehingga ketika jatuh tempo dana-dana tersebut kembali kepada pihak donatur ditambah imbal hasil sesuai nominal pendonor yang disetorkan (nisbah). Kegiatan pembiayaan tersebut juga bisa bersifat qard , dalam artian pendonor hanya mengharapkan kembalian pokok dan pahala kebajikan semata tanpa mengharap imbal hasil.Selanjutnya produk usaha mikro yang dibiayai oleh perusahaan startup tersebut dapat diperdagangkan melalui perdagangan daring (e-commerce). Transaksi e-commerce di Indonesia sangat prospek dan memiliki masa depan cerah. Berdasarkan data yang dirilis oleh Katadata, pada 2014 transaksi perdagangan daring di Indonesia hanya berada di angka Rp25,1 triliun. Kemudian mengalami peningkatan pada 2016 yakni menyentuh angka Rp108,4 triliun. Pada 2018 nilai transaksi e-commerce sudah menyentuh angka Rp144,1 triliun.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1173 seconds (0.1#10.140)