Pendekatan Baru Regulasi E-Kesehatan
A
A
A
Anis Fuad
Peneliti e-Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
TIDAK diragukan lagi, saat ini sektor kesehatan mulai memasuki era disrupsi. Kita dapat berkonsultasi dengan dokter melalui berbagai aplikasi seluler (app) . Layanan perawatan di rumah (homecare) , pemeriksaan laboratorium, maupun pemesanan obat, juga dapat dilakukan melalui app , terpadu dengan jasa transportasi daring. Jika sebelumnya pasien kesulitan mendapatkan informasi riwayat kunjungan di fasilitas kesehatan, tapi saat ini peserta program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bisa mengakses informasi tersebut melalui aplikasi mobile JKN.
Teknologi digital yang semakin maju juga sudah dimanfaatkan oleh fasilitas kesehatan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, serta peningkatan mutu pelayanan. Sistem komputasi awan dari BPJS Kesehatan memungkinkan fasilitas kesehatan tingkat pertama merujuk pasien ke tingkat lanjut secara daring. Beberapa rumah sakit telah menerapkan sistem pendukung keputusan elektronik yang terpadu dalam suatu rekam medis elektronik untuk membantu dokter dalam membuat keputusan terapi secara lebih tepat sesuai dengan pedoman klinis melalui peresepan elektronik (e-prescribing) .
Namun, belum lama ini kejadian efek samping pengguna layanan telekonsultasi kesehatan berbasis daring setelah minum obat yang direkomendasikan melalui app tersebut sempat beredar di media sosial. Oleh karena itu, muncul pertanyaan sejauh mana regulator kesehatan mempersiapkan ekosistem industri 4.0 untuk melindungi konsumen kesehatan. hal yang sempat diberitakan adalah rencana Kementerian Perindustrian untuk pengukuran kesiapan penerapan industri 4.0 atau Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (Indi 4.0) bagi pelaku industri.
Kompleksnya e-Kesehatan
Menyiapkan pelaku industri saja, tanpa regulasi, berpotensi mengganggu ekosistem. Kejadian demo transportasi daring mungkin tidak akan menginspirasi fasilitas kesehatan mendemo layanan app kesehatan. Namun, tanpa regulasi, publik akan mempertanyakan ketidakhadiran negara dalam melindungi konsumen maupun pelaku layanan e-Kesehatan. Tanpa regulasi, investor juga enggan terjun ke bisnis digital kesehatan. Padahal dengan masih tidak meratanya penyebaran tenaga dan fasilitas kesehatan, layanan ini berpotensi mengikis ketidakadilan akses tersebut.
Pelaku bisnis e-Kesehatan memang diharuskan tercatat sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Akan tetapi, secara teknis harus ada standar, pembinaan, dan pengawasan dari regulator kesehatan. Saat ini saja masyarakat bisa membeli obat aborsi di lapak e-Dagang. Demikian juga obat yang seharusnya hanya bisa dibeli berdasarkan resep dokter tersedia di situs e-Dagang ataupun direkomendasikan oleh layanan app kesehatan.
Pengawasan yang terus-menerus semestinya dilakukan selain program edukasi berkelanjutan untuk melindungi masyarakat. Konsumen yang menggunakan layanan konsultasi kesehatan juga memerlukan jaminan bahwa mereka berkonsultasi dengan dokter berlisensi dan memiliki izin praktik. Demikian juga dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja di layanan e-Kesehatan memerlukan pengakuan profesional.
Hal lebih kompleks lagi, bagaimana jika respons terhadap konsultasi kesehatan melalui layanan daring ditangani mesin kecerdasan buatan, bukan tenaga kesehatan profesional? Adakah standar dan jaminan mutu bahwa solusi dari kecerdasan buatan akan bebas dari kesalahan dan tidak berdampak negatif terhadap keselamatan pasien (patient safety) ?
Kompleksitas tersebut mungkin menjadi alasan lamban dan ragunya pemerintah dalam membuat regulasi e-Kesehatan. Sebenarnya Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46/2017 tentang Strategi e-Kesehatan Nasional. Layanan telemedicine bahkan disebutkan secara eksplisit pada Pasal 65 dalam Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. BPJS Kesehatan bisa memanfaatkan telemedicine sebagai kompensasi atau pemenuhan pelayanan pada daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan. Namun, aspek yang lebih teknis dan terinci belum tersedia. Ini mencakup keandalan model bisnis, standar layanan, alur kerja, keselamatan pasien, perlindungan data, jaminan mutu, pembinaan dan pengawasan aplikasi e-Kesehatan.
Pendekatan baru
Oleh karena itu, perlu pendekatan baru untuk mempercepat regulasi e-Kesehatan. Pendekatan lama (business as usual) dalam merumuskan regulasi kesehatan sudah tidak memadai lagi untuk mengikuti lincahnya (agile) pergerakan inovasi e-Kesehatan yang disruptif. Dalam pendekatan lama, regulator biasanya akan menyusun naskah akademik, menyelenggarakan diskusi melibatkan ahli, konsumen dan pihak terkait lainnya, penyusunan naskah regulasi baru, serta kemudian mengesahkannya. Namun, kelemahannya adalah terputusnya koneksi antara kenyataan teknis dalam implementasi terinci dengan muatan naskah regulasi. Selain itu, produk regulasi model lama sering kali tidak mampu mengejar cepatnya agilitas teknologi yang menghasilkan produk dan model bisnis baru.
Pendekatan baru yang diusulkan adalah "bak pasir regulasi" (regulatory sandbox) . Kerangka ini memberi kesempatan regulator dan pelaku pasar untuk mengeksplorasi bersama-sama model bisnis industri inovatif, menganalisis risiko terhadap konsumen, dan sekaligus menyusun muatan regulasinya. Dalam pengawasan regulator, perusahaan tetap bisa memberikan layanan kepada konsumen.
Tahun lalu, pendekatan ini pertama kalinya diterapkan untuk regulasi e-Kesehatan di Singapura. Kementerian Kesehatan Singapura menamakan inisiatif tersebut sebagai Program Ujicoba dan Adaptasi Perizinan (Licensing Experimentation and Adaptation Programme) . Program ini bertujuan untuk pengembangan secara aman model inovasi pelayanan kesehatan, khususnya telemedicine dan mobile medicine , yang diujicobakan di lingkungan terbatas.
Melalui kerangka tersebut, pemerintah mengajak perusahaan rintisan penyedia layanan telemedicine untuk berpartisipasi. Pada September 2018, terdapat lima perusahaan e-Kesehatan yang berbagi proses bisnis, standar pelayanan, dan risiko yang dihadapi. Hasil akhir dari kegiatan tersebut digunakan Kementerian Kesehatan Singapura untuk menyusun muatan regulasi. Perusahaan yang memenuhi kriteria regulasi sampai batas waktu uji coba berlangsung akan mendapatkan lisensi sebagai penyedia layanan telemedicine secara resmi.
Kerangka regulasi ini sejatinya dikembangkan pertama kali tahun 2015 di Inggris untuk meregulasikan disrupsi pada sektor keuangan. Selanjutnya pendekatan ini meluas ke lebih dari 20 negara di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk Indonesia. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menyusun regulasi teknologi finansial (tekfin) dengan melibatkan perusahaan rintisan dalam program yang disebut dengan "ruang uji coba terbatas".
Saat ini Kementerian Kesehatan memiliki rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Telemedicine yang disusun berdasarkan pengalaman uji coba aplikasi Telemedicine Indonesia (Temenin) untuk layanan teleradiologi, tele-EKG, dan tele-USG antarfasilitas kesehatan. Di sisi lain, beragam app dari sejumlah perusahaan memiliki model bisnis, standar layanan, dan risiko yang sangat berbeda dengan program Temenin pemerintah. Kementerian Kesehatan juga mengembangkan app yang menjembatani konsumen berkonsultasi dengan rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan, yaitu Sehatpedia, tentu dengan model bisnis dan tujuan layanan berbeda.
Kini opsi kebijakan ada di tangan Kementerian Kesehatan. Membuat regulasi yang hanya mengatur inovasi dilahirkan oleh pemerintah sendiri atau menggunakan model baru yang terbuka bagi para pelaku industri e-Kesehatan di luar pemerintah.
Peneliti e-Kesehatan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
TIDAK diragukan lagi, saat ini sektor kesehatan mulai memasuki era disrupsi. Kita dapat berkonsultasi dengan dokter melalui berbagai aplikasi seluler (app) . Layanan perawatan di rumah (homecare) , pemeriksaan laboratorium, maupun pemesanan obat, juga dapat dilakukan melalui app , terpadu dengan jasa transportasi daring. Jika sebelumnya pasien kesulitan mendapatkan informasi riwayat kunjungan di fasilitas kesehatan, tapi saat ini peserta program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bisa mengakses informasi tersebut melalui aplikasi mobile JKN.
Teknologi digital yang semakin maju juga sudah dimanfaatkan oleh fasilitas kesehatan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, serta peningkatan mutu pelayanan. Sistem komputasi awan dari BPJS Kesehatan memungkinkan fasilitas kesehatan tingkat pertama merujuk pasien ke tingkat lanjut secara daring. Beberapa rumah sakit telah menerapkan sistem pendukung keputusan elektronik yang terpadu dalam suatu rekam medis elektronik untuk membantu dokter dalam membuat keputusan terapi secara lebih tepat sesuai dengan pedoman klinis melalui peresepan elektronik (e-prescribing) .
Namun, belum lama ini kejadian efek samping pengguna layanan telekonsultasi kesehatan berbasis daring setelah minum obat yang direkomendasikan melalui app tersebut sempat beredar di media sosial. Oleh karena itu, muncul pertanyaan sejauh mana regulator kesehatan mempersiapkan ekosistem industri 4.0 untuk melindungi konsumen kesehatan. hal yang sempat diberitakan adalah rencana Kementerian Perindustrian untuk pengukuran kesiapan penerapan industri 4.0 atau Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (Indi 4.0) bagi pelaku industri.
Kompleksnya e-Kesehatan
Menyiapkan pelaku industri saja, tanpa regulasi, berpotensi mengganggu ekosistem. Kejadian demo transportasi daring mungkin tidak akan menginspirasi fasilitas kesehatan mendemo layanan app kesehatan. Namun, tanpa regulasi, publik akan mempertanyakan ketidakhadiran negara dalam melindungi konsumen maupun pelaku layanan e-Kesehatan. Tanpa regulasi, investor juga enggan terjun ke bisnis digital kesehatan. Padahal dengan masih tidak meratanya penyebaran tenaga dan fasilitas kesehatan, layanan ini berpotensi mengikis ketidakadilan akses tersebut.
Pelaku bisnis e-Kesehatan memang diharuskan tercatat sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Akan tetapi, secara teknis harus ada standar, pembinaan, dan pengawasan dari regulator kesehatan. Saat ini saja masyarakat bisa membeli obat aborsi di lapak e-Dagang. Demikian juga obat yang seharusnya hanya bisa dibeli berdasarkan resep dokter tersedia di situs e-Dagang ataupun direkomendasikan oleh layanan app kesehatan.
Pengawasan yang terus-menerus semestinya dilakukan selain program edukasi berkelanjutan untuk melindungi masyarakat. Konsumen yang menggunakan layanan konsultasi kesehatan juga memerlukan jaminan bahwa mereka berkonsultasi dengan dokter berlisensi dan memiliki izin praktik. Demikian juga dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja di layanan e-Kesehatan memerlukan pengakuan profesional.
Hal lebih kompleks lagi, bagaimana jika respons terhadap konsultasi kesehatan melalui layanan daring ditangani mesin kecerdasan buatan, bukan tenaga kesehatan profesional? Adakah standar dan jaminan mutu bahwa solusi dari kecerdasan buatan akan bebas dari kesalahan dan tidak berdampak negatif terhadap keselamatan pasien (patient safety) ?
Kompleksitas tersebut mungkin menjadi alasan lamban dan ragunya pemerintah dalam membuat regulasi e-Kesehatan. Sebenarnya Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46/2017 tentang Strategi e-Kesehatan Nasional. Layanan telemedicine bahkan disebutkan secara eksplisit pada Pasal 65 dalam Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. BPJS Kesehatan bisa memanfaatkan telemedicine sebagai kompensasi atau pemenuhan pelayanan pada daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan. Namun, aspek yang lebih teknis dan terinci belum tersedia. Ini mencakup keandalan model bisnis, standar layanan, alur kerja, keselamatan pasien, perlindungan data, jaminan mutu, pembinaan dan pengawasan aplikasi e-Kesehatan.
Pendekatan baru
Oleh karena itu, perlu pendekatan baru untuk mempercepat regulasi e-Kesehatan. Pendekatan lama (business as usual) dalam merumuskan regulasi kesehatan sudah tidak memadai lagi untuk mengikuti lincahnya (agile) pergerakan inovasi e-Kesehatan yang disruptif. Dalam pendekatan lama, regulator biasanya akan menyusun naskah akademik, menyelenggarakan diskusi melibatkan ahli, konsumen dan pihak terkait lainnya, penyusunan naskah regulasi baru, serta kemudian mengesahkannya. Namun, kelemahannya adalah terputusnya koneksi antara kenyataan teknis dalam implementasi terinci dengan muatan naskah regulasi. Selain itu, produk regulasi model lama sering kali tidak mampu mengejar cepatnya agilitas teknologi yang menghasilkan produk dan model bisnis baru.
Pendekatan baru yang diusulkan adalah "bak pasir regulasi" (regulatory sandbox) . Kerangka ini memberi kesempatan regulator dan pelaku pasar untuk mengeksplorasi bersama-sama model bisnis industri inovatif, menganalisis risiko terhadap konsumen, dan sekaligus menyusun muatan regulasinya. Dalam pengawasan regulator, perusahaan tetap bisa memberikan layanan kepada konsumen.
Tahun lalu, pendekatan ini pertama kalinya diterapkan untuk regulasi e-Kesehatan di Singapura. Kementerian Kesehatan Singapura menamakan inisiatif tersebut sebagai Program Ujicoba dan Adaptasi Perizinan (Licensing Experimentation and Adaptation Programme) . Program ini bertujuan untuk pengembangan secara aman model inovasi pelayanan kesehatan, khususnya telemedicine dan mobile medicine , yang diujicobakan di lingkungan terbatas.
Melalui kerangka tersebut, pemerintah mengajak perusahaan rintisan penyedia layanan telemedicine untuk berpartisipasi. Pada September 2018, terdapat lima perusahaan e-Kesehatan yang berbagi proses bisnis, standar pelayanan, dan risiko yang dihadapi. Hasil akhir dari kegiatan tersebut digunakan Kementerian Kesehatan Singapura untuk menyusun muatan regulasi. Perusahaan yang memenuhi kriteria regulasi sampai batas waktu uji coba berlangsung akan mendapatkan lisensi sebagai penyedia layanan telemedicine secara resmi.
Kerangka regulasi ini sejatinya dikembangkan pertama kali tahun 2015 di Inggris untuk meregulasikan disrupsi pada sektor keuangan. Selanjutnya pendekatan ini meluas ke lebih dari 20 negara di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk Indonesia. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menyusun regulasi teknologi finansial (tekfin) dengan melibatkan perusahaan rintisan dalam program yang disebut dengan "ruang uji coba terbatas".
Saat ini Kementerian Kesehatan memiliki rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Telemedicine yang disusun berdasarkan pengalaman uji coba aplikasi Telemedicine Indonesia (Temenin) untuk layanan teleradiologi, tele-EKG, dan tele-USG antarfasilitas kesehatan. Di sisi lain, beragam app dari sejumlah perusahaan memiliki model bisnis, standar layanan, dan risiko yang sangat berbeda dengan program Temenin pemerintah. Kementerian Kesehatan juga mengembangkan app yang menjembatani konsumen berkonsultasi dengan rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan, yaitu Sehatpedia, tentu dengan model bisnis dan tujuan layanan berbeda.
Kini opsi kebijakan ada di tangan Kementerian Kesehatan. Membuat regulasi yang hanya mengatur inovasi dilahirkan oleh pemerintah sendiri atau menggunakan model baru yang terbuka bagi para pelaku industri e-Kesehatan di luar pemerintah.
(pur)