Mengantisipasi Lonjakan Golput

Senin, 11 Februari 2019 - 05:52 WIB
Mengantisipasi Lonjakan Golput
Mengantisipasi Lonjakan Golput
A A A
ISU golput membayangi pelaksanaan Pemilu 2019. Sebagian calon pemilih menyebut tidak akan menggunakan hak pilihnya karena menilai dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) tidak mampu mewakili aspirasi mereka. Hasil survei sejumlah lembaga juga menyebut besarnya potensi golput ini.

Hasil survei Indikator pada Januari 2019 menunjukkan jumlah pemilih yang memutuskan golput ada 1,1%. Memang tampak belum signifikan, tetapi angka ini meningkat 0,2% bila dibandingkan dengan hasil survei Oktober 2018 sebesar 0,9%.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, potensi masyarakat yang golput paling sedikit mencapai 20%. Angka ini didapatkan dari jumlah orang yang telah memutuskan golput ditambah mereka yang belum menentukan pilihan (undecided voters ) dan massa yang masih bisa berubah pilihannya (swing voters).

Isu golput selalu memicu kekhawatiran karena berkaitan dengan partisipasi pemilih. Apalagi dalam dua pemilu terakhir angka partisipasi selalu turun, khususnya untuk pemilihan presiden (pilpres). Pada Pilpres 2014, angka partisipasi pemilih hanya 70,9%. Artinya masyarakat yang golput mencapai 29,1%. Lima tahun sebelumnya angka partisipasi Pilpres 2009 sedikit lebih tinggi, yakni 71,7%. Saat itu golput 28,3%.

Namun berbeda dengan pemilihan anggota legislatif (pileg), terjadi kenaikan partisipasi. Pada Pileg 2009 angka partisipasi pemilih sebanyak 70,7% dengan angka golput 29,3%. Namun pada Pileg 2014 angka partisipasi melonjak hingga 75,2% atau golput hanya 24,8%. Memang capaian ini belum berhasil memenuhi target Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 77,5%.

Pada pemilu yang akan digelar pada 17 April mendatang, KPU kembali menargetkan partisipasi di angka 77,5%. Ini tentu target yang cukup tinggi dan butuh kerja keras penyelenggara untuk memenuhinya.

Ada beberapa faktor penyebab seseorang memilih golput atau terpaksa harus golput. Pertama , karena masyarakat merasa tidak ada capres dan cawapres yang bisa memenuhi kepentingannya. Apalagi dengan kondisi jumlah capres yang terbatas, yakni hanya dua. Itu pun rematch pada posisi capres antara Jokowi dan Prabowo.

Untuk masalah ini, agenda debat capres mendatang diharapkan mampu mengubah persepsi pemilih. Jika capres mampu menyampaikan program dan visi misinya yang konkret dan meyakinkan, bukan tidak mungkin mereka yang tadinya golput atau belum menentukan pilihan akan mengubah sikapnya.

Kedua , minimnya informasi tentang pemilu. Di daerah pelosok khususnya, ada kemungkinan informasi soal pemilu tidak diperoleh secara memadai oleh masyarakat.

Ketiga , sulitnya mengurus surat pindah TPS. Banyak anggota masyarakat yang pindah domisili diharuskan mengurus kepindahan untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya. Namun mereka sering terhambat masalah teknis ini. Untuk pindah TPS calon pemilih harus mengurus formulir A5 yang harus dilakukan pada H-30 sebelum pencoblosan.

Keempat , pesimistis terhadap hasil pemilu. Banyak yang menganggap pemilu tidak penting karena tidak akan memberi dampak langsung kepada dirinya. Pesimisme seperti ini tak hanya menjangkiti pemilih di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Alasan untuk tidak memilih semakin diperkuat oleh persaingan pilpres yang sangat ketat hingga membuat kegaduhan.

Bisa dilihat betapa aksi saling serang dan menjelekkan kubu lawan terjadi di media sosial. Perdebatan oleh calon, termasuk oleh tim pemenangannya, kadang tidak substantif semisal membahas program-program kerakyatan yang akan dikerjakan ketika terpilih, hanya urusan remeh temeh, yakni menyangkut personal calon.

Kelima , merasa tidak diundang ke TPS karena hingga hari H pencoblosan belum mendapatkan surat undangan. Padahal tanpa undangan pun masyarakat bisa tetap mencoblos selama namanya masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Kelima hal ini harus menjadi perhatian KPU. Dengan mengantisipasi kecenderungan masyarakat untuk Golput, ada harapan angka partisipasi bisa naik atau minimal dipertahankan. Masih ada waktu sekitar dua bulan lebih untuk menggelar sosialisasi.

Memang di negara maju dengan demokrasi yang mapan pun angka partisipasi tidak akan jauh dari 70%. Namun dengan mengupayakan angka partisipasi lebih tinggi, ada harapan untuk melihat hasil pemilu, khusunya pilpres, yang lebih terlegitimasi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4312 seconds (0.1#10.140)