Kiai Wahab dan Hari Pers Nasional

Sabtu, 09 Februari 2019 - 07:37 WIB
Kiai Wahab dan Hari Pers Nasional
Kiai Wahab dan Hari Pers Nasional
A A A
Ubaidillah

Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat

ADA yang menarik da­­lam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini. Perayaan yang jatuh pada 9 Fe­bruari itu dirayakan di Su­ra­baya. Bila berbicara Surabaya, tidak lengkap apabila tidak melirik Nahdlatul Ulama dan salah satu tokoh pentingnya, KH Abdul Wahab Hasbullah.

Abdul Wahab Hasbullah ada­lah Pahlawan Nasional dari ka­langan santri kelahiran Jom­bang. Bersama KH Hasyim Asy’ari dia menghimpun tokoh pe­santren dan keduanya men­di­rikan Nahdlatul Ulama pada 1926. Ulama yang berpan­da­ngan modern ini juga da­k­wah­nya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar.

Musthafa Helmy dalam Pe­ran Media Santri (2019) men­je­laskan, Nahdlatul Ulama per­tama kali menerbitkan berita dan kegiatan keorganisasian melalui majalah Swara Nah­dla­toel Oelama yang terbit pada Mu­harram, sekitar perteng­a­h­an 1927, setahun setelah or­ga­ni­sasi itu berdiri.

Aksara dalam majalah ini meng­gunakan Arab Melayu atau Arab Pegon. Ditulis meng­gunakan aksara tersebut tidak lepas karena NU merupakan or­ganisasi yang di dalamnya ada­lah kiai dan para santri. Jang­kauan serta beritanya pun ma­sih sederhana, kendati su­dah menggunakan prinsip da­sar jurnalistik, yakni 5W 1H.

Kiai Wahab mendirikan Swa­ra Nahdlatoel Ulama setelah di­putuskan dalam kongres agar menerbitkan majalah berkala. Bahkan, Kiai Wahab membeli per­cetakan sendiri dengan alas­an melepas ketergantungan pada jasa percetakan lain dan di­le­tak­kan di rumahnya, Ker­to­pa­ten, Surabaya. Dalam per­ja­lan­annya, Kiai Wahab dibantu oleh Kiai Ahmad Dahlan bin Ahyad, Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz dan KH Ridwan bin Abdullah.

Narasi Islam Tradisionalis

Selain mewartakan kegiat­an-kegiatan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama, Swara Nahdlatoel Oelama juga men­jelaskan amaliah Nahdlatul Ula­ma. Pemberitaan tentang ama­liah Nahdlatul Ulama tidak le­pas dari kencangnya arus pu­ri­tanisme Islam yang digembor-gemborkan oleh organisasi ke­masyarakatan lain.

Berita-berita yang terbit da­lam majalah Swara Nahdlatoel Oelama adalah perlawanan ter­ha­dap nilai-nilai berita yang menganggap amaliah Nah­dla­tul Ulama sebagai bidah. Bah­kan juga memberitakan ten­tang ba­haya gerakan dan paham Wa­habi. Ini berkelindan de­ngan hangat-hangatnya ke­kua­sa­an Arab Saudi di bawah pim­pinan Raja Abdul Aziz Al-Saud yang intim dengan aliran Wahabi.

Ditarik dari nilai dan de­di­kasinya, majalah ini mem­pu­nyai urgensi penting dalam aras sejarah dan hingga seka­rang dalam aspek pers atau jur­na­lis­tik. Komitmen Nahdlatul Ula­ma, lebih spesifik media-media yang mempunyai afiliasi ideo­logis dengan Ahlussunnah Wal­ja­maah, konsisten me­nyua­­ra­kan nilai-nilai Islam yang me­ngayomi kebudayaan dan kul­tur lokal, tanpa mem­benturkan dengan budaya Nu­santara yang sudah men­da­hu­lui eksis.

Keberadaan media Nah­dla­tul Ulama seperti NU Online, mi­salnya, mempunyai nyawa yang sama dengan majalah Swa­ra Nahdlatoel Oelama. Bunyi beritanya adalah tentang ke­giat­an-kegiatan yang dilakukan oleh jamiyyah Nahdlatul Ulama, amaliah, serta ketegasan mela­ku­kan counter terhadap media-me­dia yang melulu menye­ru­kan khilafah dan berbau radikal.

Relevansi

Melihat kondisi saat ini, nilai yang bisa diambil dalam pola-pola pemberitaan Swara Nah­dla­toel Oelama adalah tentang ke­pekaannya ter­ha­dap realitas so­sial, agama, dan politik ideo­logis. Terutama di media da­ring, kerap kita me­ne­mukan me­dia-media yang terafiliasi dan semangat men­transforma­si­kan nilai-nilai radikalisme.

Dalam catatan Kementerian Ko­munikasi dan Informasi RI, pada 2015 setidaknya terdapat 22 situs media daring yang su­dah diblokir. Hal ini ditengarai karena media tersebut berbau radikalisme. Di luar media, ber­bagai konten yang dise­bar­kan melalui sosial media juga tidak sedikit berbau radikalisme. Pada 2018 terdapat 3.195 ko­n­ten radikalisme diblokir oleh Kementerian Kominfo.

Melihat data dan sum­ber­nya, bisa dibilang bahwa be­ra­gam konten radikalisme tidak hanya bertabur melalui media daring, tetapi juga pengguna media sosial. Dengan begitu, tan­ta­ng­an dunia pers kian se­ma­kin besar dan mem­bu­tuh­kan kerja-kerja jurnalistik yang lebih bernas.

Tentu saja perayaan Hari Pers Nasional bakal menjadi momentum.

Sebab sangat di­sa­yangkan apabila hanya berlalu dengan kegiatan yang sifatnya seremonial. Tanggal 9 Februari harus menjadi pijakan refleksi untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang mengarah pada angin radikalisme, melakukan perlawanan terhadapnya. Pi­ja­kan Hari Pers Nasional perlu men­dudukan persoalan radi­ka­lis­me dan gerakan-ge­rak­an an­ti­keberagaman sebagai agenda yang perlu dipelototi dengan serius.

Tentu saja, perlu diingat bahwa pe­ngua­t­an pro­fe­sio­na­lisme mesti didukung oleh re­gulasi dan in­frastruktur yang lain. Tapi, kita masih mendapati ketidakadilan terhadap pelaku pers, seperti wartawan yang mendapatkan intimidasi dan sebagainya.

Hari Pers Nasional, sekali lagi, menjadi momentum me­la­kukan refleksi dan relevansi, serta melakukan transformasi nilai-nilai keislaman yang in­klusif dan menguatkan para mujahid pers sebagai—dan se­benar-benarnya—menjadi pilar demokrasi.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6054 seconds (0.1#10.140)