Kiai Wahab dan Hari Pers Nasional
A
A
A
Ubaidillah
Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat
ADA yang menarik dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini. Perayaan yang jatuh pada 9 Februari itu dirayakan di Surabaya. Bila berbicara Surabaya, tidak lengkap apabila tidak melirik Nahdlatul Ulama dan salah satu tokoh pentingnya, KH Abdul Wahab Hasbullah.
Abdul Wahab Hasbullah adalah Pahlawan Nasional dari kalangan santri kelahiran Jombang. Bersama KH Hasyim Asy’ari dia menghimpun tokoh pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926. Ulama yang berpandangan modern ini juga dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar.
Musthafa Helmy dalam Peran Media Santri (2019) menjelaskan, Nahdlatul Ulama pertama kali menerbitkan berita dan kegiatan keorganisasian melalui majalah Swara Nahdlatoel Oelama yang terbit pada Muharram, sekitar pertengahan 1927, setahun setelah organisasi itu berdiri.
Aksara dalam majalah ini menggunakan Arab Melayu atau Arab Pegon. Ditulis menggunakan aksara tersebut tidak lepas karena NU merupakan organisasi yang di dalamnya adalah kiai dan para santri. Jangkauan serta beritanya pun masih sederhana, kendati sudah menggunakan prinsip dasar jurnalistik, yakni 5W 1H.
Kiai Wahab mendirikan Swara Nahdlatoel Ulama setelah diputuskan dalam kongres agar menerbitkan majalah berkala. Bahkan, Kiai Wahab membeli percetakan sendiri dengan alasan melepas ketergantungan pada jasa percetakan lain dan diletakkan di rumahnya, Kertopaten, Surabaya. Dalam perjalanannya, Kiai Wahab dibantu oleh Kiai Ahmad Dahlan bin Ahyad, Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz dan KH Ridwan bin Abdullah.
Narasi Islam Tradisionalis
Selain mewartakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama, Swara Nahdlatoel Oelama juga menjelaskan amaliah Nahdlatul Ulama. Pemberitaan tentang amaliah Nahdlatul Ulama tidak lepas dari kencangnya arus puritanisme Islam yang digembor-gemborkan oleh organisasi kemasyarakatan lain.
Berita-berita yang terbit dalam majalah Swara Nahdlatoel Oelama adalah perlawanan terhadap nilai-nilai berita yang menganggap amaliah Nahdlatul Ulama sebagai bidah. Bahkan juga memberitakan tentang bahaya gerakan dan paham Wahabi. Ini berkelindan dengan hangat-hangatnya kekuasaan Arab Saudi di bawah pimpinan Raja Abdul Aziz Al-Saud yang intim dengan aliran Wahabi.
Ditarik dari nilai dan dedikasinya, majalah ini mempunyai urgensi penting dalam aras sejarah dan hingga sekarang dalam aspek pers atau jurnalistik. Komitmen Nahdlatul Ulama, lebih spesifik media-media yang mempunyai afiliasi ideologis dengan Ahlussunnah Waljamaah, konsisten menyuarakan nilai-nilai Islam yang mengayomi kebudayaan dan kultur lokal, tanpa membenturkan dengan budaya Nusantara yang sudah mendahului eksis.
Keberadaan media Nahdlatul Ulama seperti NU Online, misalnya, mempunyai nyawa yang sama dengan majalah Swara Nahdlatoel Oelama. Bunyi beritanya adalah tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh jamiyyah Nahdlatul Ulama, amaliah, serta ketegasan melakukan counter terhadap media-media yang melulu menyerukan khilafah dan berbau radikal.
Relevansi
Melihat kondisi saat ini, nilai yang bisa diambil dalam pola-pola pemberitaan Swara Nahdlatoel Oelama adalah tentang kepekaannya terhadap realitas sosial, agama, dan politik ideologis. Terutama di media daring, kerap kita menemukan media-media yang terafiliasi dan semangat mentransformasikan nilai-nilai radikalisme.
Dalam catatan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, pada 2015 setidaknya terdapat 22 situs media daring yang sudah diblokir. Hal ini ditengarai karena media tersebut berbau radikalisme. Di luar media, berbagai konten yang disebarkan melalui sosial media juga tidak sedikit berbau radikalisme. Pada 2018 terdapat 3.195 konten radikalisme diblokir oleh Kementerian Kominfo.
Melihat data dan sumbernya, bisa dibilang bahwa beragam konten radikalisme tidak hanya bertabur melalui media daring, tetapi juga pengguna media sosial. Dengan begitu, tantangan dunia pers kian semakin besar dan membutuhkan kerja-kerja jurnalistik yang lebih bernas.
Tentu saja perayaan Hari Pers Nasional bakal menjadi momentum.
Sebab sangat disayangkan apabila hanya berlalu dengan kegiatan yang sifatnya seremonial. Tanggal 9 Februari harus menjadi pijakan refleksi untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang mengarah pada angin radikalisme, melakukan perlawanan terhadapnya. Pijakan Hari Pers Nasional perlu mendudukan persoalan radikalisme dan gerakan-gerakan antikeberagaman sebagai agenda yang perlu dipelototi dengan serius.
Tentu saja, perlu diingat bahwa penguatan profesionalisme mesti didukung oleh regulasi dan infrastruktur yang lain. Tapi, kita masih mendapati ketidakadilan terhadap pelaku pers, seperti wartawan yang mendapatkan intimidasi dan sebagainya.
Hari Pers Nasional, sekali lagi, menjadi momentum melakukan refleksi dan relevansi, serta melakukan transformasi nilai-nilai keislaman yang inklusif dan menguatkan para mujahid pers sebagai—dan sebenar-benarnya—menjadi pilar demokrasi.
Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat
ADA yang menarik dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini. Perayaan yang jatuh pada 9 Februari itu dirayakan di Surabaya. Bila berbicara Surabaya, tidak lengkap apabila tidak melirik Nahdlatul Ulama dan salah satu tokoh pentingnya, KH Abdul Wahab Hasbullah.
Abdul Wahab Hasbullah adalah Pahlawan Nasional dari kalangan santri kelahiran Jombang. Bersama KH Hasyim Asy’ari dia menghimpun tokoh pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926. Ulama yang berpandangan modern ini juga dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar.
Musthafa Helmy dalam Peran Media Santri (2019) menjelaskan, Nahdlatul Ulama pertama kali menerbitkan berita dan kegiatan keorganisasian melalui majalah Swara Nahdlatoel Oelama yang terbit pada Muharram, sekitar pertengahan 1927, setahun setelah organisasi itu berdiri.
Aksara dalam majalah ini menggunakan Arab Melayu atau Arab Pegon. Ditulis menggunakan aksara tersebut tidak lepas karena NU merupakan organisasi yang di dalamnya adalah kiai dan para santri. Jangkauan serta beritanya pun masih sederhana, kendati sudah menggunakan prinsip dasar jurnalistik, yakni 5W 1H.
Kiai Wahab mendirikan Swara Nahdlatoel Ulama setelah diputuskan dalam kongres agar menerbitkan majalah berkala. Bahkan, Kiai Wahab membeli percetakan sendiri dengan alasan melepas ketergantungan pada jasa percetakan lain dan diletakkan di rumahnya, Kertopaten, Surabaya. Dalam perjalanannya, Kiai Wahab dibantu oleh Kiai Ahmad Dahlan bin Ahyad, Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz dan KH Ridwan bin Abdullah.
Narasi Islam Tradisionalis
Selain mewartakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama, Swara Nahdlatoel Oelama juga menjelaskan amaliah Nahdlatul Ulama. Pemberitaan tentang amaliah Nahdlatul Ulama tidak lepas dari kencangnya arus puritanisme Islam yang digembor-gemborkan oleh organisasi kemasyarakatan lain.
Berita-berita yang terbit dalam majalah Swara Nahdlatoel Oelama adalah perlawanan terhadap nilai-nilai berita yang menganggap amaliah Nahdlatul Ulama sebagai bidah. Bahkan juga memberitakan tentang bahaya gerakan dan paham Wahabi. Ini berkelindan dengan hangat-hangatnya kekuasaan Arab Saudi di bawah pimpinan Raja Abdul Aziz Al-Saud yang intim dengan aliran Wahabi.
Ditarik dari nilai dan dedikasinya, majalah ini mempunyai urgensi penting dalam aras sejarah dan hingga sekarang dalam aspek pers atau jurnalistik. Komitmen Nahdlatul Ulama, lebih spesifik media-media yang mempunyai afiliasi ideologis dengan Ahlussunnah Waljamaah, konsisten menyuarakan nilai-nilai Islam yang mengayomi kebudayaan dan kultur lokal, tanpa membenturkan dengan budaya Nusantara yang sudah mendahului eksis.
Keberadaan media Nahdlatul Ulama seperti NU Online, misalnya, mempunyai nyawa yang sama dengan majalah Swara Nahdlatoel Oelama. Bunyi beritanya adalah tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh jamiyyah Nahdlatul Ulama, amaliah, serta ketegasan melakukan counter terhadap media-media yang melulu menyerukan khilafah dan berbau radikal.
Relevansi
Melihat kondisi saat ini, nilai yang bisa diambil dalam pola-pola pemberitaan Swara Nahdlatoel Oelama adalah tentang kepekaannya terhadap realitas sosial, agama, dan politik ideologis. Terutama di media daring, kerap kita menemukan media-media yang terafiliasi dan semangat mentransformasikan nilai-nilai radikalisme.
Dalam catatan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, pada 2015 setidaknya terdapat 22 situs media daring yang sudah diblokir. Hal ini ditengarai karena media tersebut berbau radikalisme. Di luar media, berbagai konten yang disebarkan melalui sosial media juga tidak sedikit berbau radikalisme. Pada 2018 terdapat 3.195 konten radikalisme diblokir oleh Kementerian Kominfo.
Melihat data dan sumbernya, bisa dibilang bahwa beragam konten radikalisme tidak hanya bertabur melalui media daring, tetapi juga pengguna media sosial. Dengan begitu, tantangan dunia pers kian semakin besar dan membutuhkan kerja-kerja jurnalistik yang lebih bernas.
Tentu saja perayaan Hari Pers Nasional bakal menjadi momentum.
Sebab sangat disayangkan apabila hanya berlalu dengan kegiatan yang sifatnya seremonial. Tanggal 9 Februari harus menjadi pijakan refleksi untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang mengarah pada angin radikalisme, melakukan perlawanan terhadapnya. Pijakan Hari Pers Nasional perlu mendudukan persoalan radikalisme dan gerakan-gerakan antikeberagaman sebagai agenda yang perlu dipelototi dengan serius.
Tentu saja, perlu diingat bahwa penguatan profesionalisme mesti didukung oleh regulasi dan infrastruktur yang lain. Tapi, kita masih mendapati ketidakadilan terhadap pelaku pers, seperti wartawan yang mendapatkan intimidasi dan sebagainya.
Hari Pers Nasional, sekali lagi, menjadi momentum melakukan refleksi dan relevansi, serta melakukan transformasi nilai-nilai keislaman yang inklusif dan menguatkan para mujahid pers sebagai—dan sebenar-benarnya—menjadi pilar demokrasi.
(pur)